Kemurkaan Teguh

Teguh ingin sekali bilang kepada segelintir kawannya yang reseknya kebangetan untuk berhenti menanyakan hal-hal pribadi yang sebenarnya sudah mereka ketahui. Teguh tahu betul mereka cuma ingin meledek. Meskipun Teguh termasuk orang yang jarang sekali marah dan asyik setiap kali diajak bercanda, tapi adakalanya dia mulai muak dengan guyonan atau ejekan yang semakin lama kelewat batas dan terlalu sering diulang-ulang. 

Daftar pertanyaan dalam satu tahun terakhir yang kerap Teguh terima di antaranya begini:

1. Kau masih suka cewek enggak, sih? Enggak bosan apa sendiri terus, Guh? Kapan nikahnya kalau kelamaan menyendiri begitu?

2. Kau sudah hampir 30 tahun kok enggak ada niat cari kerja tetap lagi? Apa iya mau kerja serabutan melulu?

3. Kau setiap ada uang berlebih kenapa masih doyan jajan buku? Memangnya bakal apaan lagi? Bukannya di rakmu sudah banyak? Mending mah ditabung buat beli mobil, kredit rumah, atau biaya nikah nanti.




Setelah Teguh menjadi sangat murka akan hal itu, maka beginilah tanggapan dia lewat status Facebook demi bisa mengeluarkan unek-unek yang selama ini terpendam. Teguh terpaksa memberi jawaban sesuka hati yang rasanya tak pantas dibaca oleh siapa pun. Meski begitu, Teguh hanya bermaksud membalas sekaligus bertanya balik kepada mereka.

*


—Untuk kawan-kawan yang merasa telah mengacaukan hidupku

1. Tentang melajang

Sebagai manusia normal, aku jelas masih memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Jika aku akhir-akhir ini menutup diri dengan lawan jenis, aku mungkin belum siap membuka hati lagi. Sekalipun aku telah naksir kepada seorang perempuan, itu pun bukan urusanmu, kan? Aku tentu tak mau berbagi cerita denganmu jika sedang masa pendekatan dengan seorang gadis.

Lagi pula, apa yang salah dengan status lajang? Apa ada larangan buatku dalam menikmati kesendirian? Apakah dengan tidak memiliki pasangan itu membuatmu malu atau risih? Apa kau malu menjadi temanku? Ya, mending kau cari saja teman lain. Ini yang menjalani hidup sebetulnya siapa, sih? Kok repot amat membahas urusan romansaku? Kalau kau memang berniat peduli, aku menyarankan agar diam saja dan tak perlu bertanya, lebih bagus lagi bantu doakan.

Apakah kau memiliki maksud ingin mengenalkanku kepada teman-teman perempuanmu? Sebelumnya, terima kasih seandainya benar begitu. Tapi maaf saja, aku sejauh ini sering enggak cocok dengan proses comblang-mencomblangi begitu. Aku takutnya teman perempuanmu itu malah kecewa ketika aku tidak merespons dengan baik, atau aku terlalu buruk kalau bersanding dengannya. Jadi, biarlah kutemukan sendiri kekasihku yang kelak menjadi jodoh itu.

Terkait apa aku tidak bosan sendiri, aku sungguh biasa saja, sih. Aku selalu punya cara buat menghibur diri sendiri. Aku sejujurnya hanya bosan dengan pertanyaanmu yang kayak tai.


2. Tentang pekerjaan

Sekiranya punya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan minatku dan gajinya oke, silakan beri tahu aku ketimbang kau bertanya begitu. Tak tahukah kau betapa susahnya aku mencoba mencari pekerjaan yang benar-benar cocok? Apakah aku harus bilang-bilang sewaktu aku gagal berulang kali? Apa aku harus mengemis pekerjaan kepadamu? Biar kau tahu aku sudah berusaha mencarinya? 

Kalau sementara ini jalanku masih lewat kerja freelance alias serabutan, ya apa boleh buat? Daripada enggak ada pemasukan sama sekali, kan? Terlebih lagi, aku termasuk tipe orang yang enggak suka bertanya kepada kawan di sekitar perihal lowongan pekerjaan karena aku paham minat kita itu pasti berbeda. Sebagaimana urusan romansa, aku juga sesungguhnya lebih senang mencarinya sendiri. Maka, lupakan saja kalimat pembuka tentang kau ingin menawarkan pekerjaan dalam jawaban suka-suka cenderung sinting ini.


3. Tentang buku

Aku membeli buku, ya, bakal dibacalah. Memangnya boleh buat menghantam kepalamu? Aku membelinya sekalian buat investasi juga. Buku itu kan sumber ilmu dan wawasan. Masa kau tidak tahu? Apalagi sebagai orang yang menyukai dunia cerita, buku-buku fiksi jelas menjadi kebahagiaanku. Toh, Hemingway, seorang penulis yang pernah menerima Penghargaan Nobel Sastra, sempat bilang bahwa tak ada teman yang sesetia buku. Ia (buku) terbukti lebih banyak menemani kesepianku. Aku juga tak pernah memintamu buat menemaniku kala sedang dalam keadaan sepi dan duka. Selama ini, setiap kali bersedih, bahkan terpuruk dalam hidup, yang membantuku bangkit justru kata-kata di dalam buku yang pernah kubaca. Kata-kata dari mulutmu, alih-alih membuatku bangkit, justru bikin segalanya kian runyam.

Jika pada akhirnya aku memilih diam saja setiap kali diledek, atau justru bacot di status Facebook begini, sebab aku sudah malas berdebat dengan teman bedebah sepertimu. Mending kau sekalian menjauh saja daripada ketika dekat denganku atau mengajakku main dan nongkrong ke sesuatu tempat cuma basa-basi tai anjing biar enggak dianggap sombong. Toh, sekalinya kita bertemu, topiknya juga tak penting, kan? 

Saat kita berjumpa, kau lebih banyak memandangi ponselmu (biasanya bermain gim Mobile Legend atau PUBG sialan itu) daripada mengobrol. Sekalinya ada pembicaraan, palingan tak jauh dari meledek teman-teman lain yang kau anggap gagal, yang kebetulan tidak ikut menongkrong. Singkat kata, kau hanya mengajak bergibah. Jadi, aku bisa menebak suatu hari ketika aku tidak ikut nongkrong, aku pasti juga bakalan dibicarakan di belakang seperti itu.

Lebih baik aku tak punya teman dan menyendiri di rumah ketimbang harus menghabiskan waktu cuma untuk mendengar aib orang lain. Kini, aku sudah tak peduli jika temanku kian berkurang kalau orang-orangnya sepertimu. Apa gunanya teman jika kehadirannya bagaikan parasit?

Kau bilang, jika aku tak mau bergaul, nanti sewaktu aku mati tak akan ada yang sudi menggotong mayatku. Maka, biarkan saja jasadku itu sampai membusuk. Abaikan saja kematianku. Itu pun jika tak ada tetangga yang protes menghirup aroma busuknya.

Kita hidup terlalu singkat di dunia ini, dan kau bisa-bisanya menzalimiku, mengatakan berbagai hal yang tidak-tidak kepada teman yang lain, yang kukira jatuhnya itu fitnah, bahkan melapor kepada orang tuaku terkait masalah sepele yang akhirnya mereka besar-besarkan, sampai terlintas di benakku untuk memperpendek usia saja daripada terus menderita di lingkungan beracun seperti ini. Bagaimana mungkin aku terus dipaksa sehat di wilayah yang sakit? Kau tahu, aku bisa gila!

Namun, itu semua tak apa-apa. Akan aku tanggung segalanya meskipun terasa berat, sebab namaku Teguh dan itu berarti amat kokoh. Aku yakin diriku adalah orang yang kuat. Apalagi aku juga telah berjanji kepada seorang perempuan yang kucintai, bahwa aku akan terus bertahan hidup demi mendapatkan cinta dan dirinya, apa pun yang terjadi.

Salam,

Teguh Nugroho

--

Gambar saya ambil dari komik Gintama, tokoh Sakata Gintoki.

Draf Oktober 2021

0 Comments