Ketika Pena Terasa Hambar

Arthur Schopenhauer bilang, ada dua motif dasar yang mendorong seseorang untuk menulis. Pertama, mereka yang menulis karena didorong oleh hasrat untuk menyampaikan sesuatu—gagasan, pengalaman, atau pemikiran yang terasa penting untuk dibagikan. Kedua, ada pula mereka yang menulis demi rupiah, dan menjadikan tulisan sebagai sarana mencari nafkah.

Golongan kedua ini, para penulis yang menulis demi uang, cenderung menunjukkan ciri-ciri tertentu. Ide-ide mereka seringkali terasa dipaksakan, samar-samar, dan bahkan masih mentah. Mereka kerap bermain di area abu-abu, seolah menyembunyikan jati diri asli mereka, yang pada akhirnya membuat tulisan mereka terasa kurang autentik dan enggak jernih. Cepat atau lambat, kau akan menyadari bahwa mereka hanya berusaha mengisi halaman, dan begitu kesadaran itu muncul, sebaiknya segera tinggalkan buku-buku tersebut. Waktu kita terlalu berharga buat disia-siakan.




Sebagaimana yang kita tahu, betapa rendahnya upah penulis, sedikitnya penghargaan terhadap penulis, bahkan lemahnya perlindungan hak cipta ini dapat menjadi pukulan telak bagi dunia literasi. Barangkali hanya mereka yang menulis murni karena panggilan jiwalah yang menghasilkan karya-karya bernilai. Seolah ada semacam kutukan: begitu seorang penulis mulai mengejar cuan, kualitas tulisannya cenderung menurun.

Jika kita menengok karya-karya agung dari para pemikir dan sastrawan besar, kita akan menemukan bahwa sebagian besar di antaranya lahir pada masa-masa di mana mereka menulis tanpa bayaran, atau dengan bayaran yang sangat minim. Ini mengingatkan kita pada pepatah Spanyol yang bijak: “Kehormatan dan keuntungan tak bisa bersatu dalam satu wadah.”

Saya sendiri bahkan tak mampu menempatkan salah satunya ke dalam wadah. Saya tak mendapatkan kehormatan dalam menulis, apalagi memperoleh cuan dari menulis. Saya sekarang berusia 30 tahun dan bekerja sebagai kurir dokumen. Bagaimana dengan impian masa muda saya untuk menjadi seorang penulis? Saya jelas sudah tak peduli dengan impian untuk bekerja di bidang tulis-menulis (dulu cita-cita atau harapan saya pada usia 17-25 adalah menjadi seorang penulis, atau lebih tepatnya seorang cerpenis, yang bisa benar-benar hidup dari berkarya).

Sejujurnya, saya sudah kesulitan dalam mengingat kapan terakhir kali jemari ini menari di atas tuts kibor dan merangkai sebuah cerpen utuh dari nol. Untuk sekadar menjaga denyut blog ini agar tidak mati suri, yang bisa saya lakukan hanyalah menerjemahkan tulisan orang lain atau mengutak-atik draf lawas dan memolesnya sedikit. Dorongan untuk menciptakan cerita baru rasanya sudah lama menguap entah ke mana, dan kalau saya memaksakan diri berarti akan melahirkan keputusasaan.

Jika meracau di jurnal yang mungkin terkesan “ecek-ecek” ini masih bisa disebut “menulis”, setidaknya saya mungkin sedang berusaha menjaga ritme. Meski hanya berupa catatan-catatan tak penting, coretan singkat, dan sejenis puisi prosa, atau lebih tepatnya disebut omong kosong belaka, di sinilah saya bisa benar-benar meluapkan isi hati dan kepala. Sebuah kelegaan yang entah mengapa tak lagi bisa saya temukan dalam menulis di blog. Ini sungguh menyedihkan, Kawan.

Sejak saya melempar jauh-jauh suatu angan untuk mencari nafkah dari menulis, atau ketika muak banget dengan hiruk-pikuk dunia literasi beserta dramanya dan beberapa alasan lain, saya merasa proses kreatif yang dulunya begitu mengasyikkan kini tiba-tiba berubah menjadi neraka. Setiap kata yang harusnya mengalir lancar, sekarang terasa seperti bebatuan berat yang harus diseret paksa.


Saya berjuang mati-matian untuk menemukan kembali percikan gairah masa muda itu. Dulu, saya suka menantang diri dengan menulis satu cerpen setiap minggunya. Namun, sekarang keinginan itu perlahan lenyap, seperti ruang kosong yang senyap. Mungkin karena saya mulai sadar, bahwa karya-karya saya memang biasa saja, apalagi yang saya jadikan buku digital dan komersialkan, barangkali hanya sejenis masturbasi diri sendiri, dan tentunya buku-buku itu tak lebih dari sekadar buih di lautan kata. 

Setelah direnungkan, itu berarti memaksakan diri saya untuk terus-menerus tetap menulis, rasanya seperti menggosok pecahan kaca ke kulit yang sudah lecet. Yang tololnya, saya kini masih saja menulis di sela-sela kesibukan menjalani hidup. Ketika ada waktu senggang selepas pulang kerja, atau saat akhir pekan saya memilih jeda buat tidak berjumpa sekaligus berkencan dengan kekasih, saya justru menghabiskan menit demi menit, bahkan jam demi jam untuk menulis. Anjinglah! Hidup ini penuh dengan ironi, bukan?

0 Comments