Catatan Lima Hari Kerja

Senin 
 
Hariku terbuat dari ketergesa-gesaan. Aku tidak datang terlambat ke kantor, tapi waktu selalu memburu jantungku. Banyaknya tugas membuatku lupa akan hal-hal sepele seperti: menempelkan jari di mesin pemindai, membawa jas hujan, serta gagasan tentang hidup yang hanya mampir minum.
 
Mengapa aku kurang fokus dan lebih cemas, padahal aku hanya ingin menjalani hidup hari ini dengan gembira dan sebaik-baiknya? Pertanyaan itu kaujawab dengan lagu yang bercerita tentang kehampaan. Aku tiba-tiba merasa kosong dan aku ingin senyummu di akhir pekan dapat mengisinya. Namun, hari kemarin sudah terbenam. Maukah kau menerbitkan senyum untukku lagi?
 



Secangkir es krim Oreo dan batuk adalah kombinasi yang lucu. Aku memang tidak tertawa, tapi seakan memperoleh  tambahan sembilan nyawa.
 
Selasa 
 
Mengantar dokumen tanpa nomor telepon dan petugas pos malah meminta nomorku. Apa aku boleh menyebutkan deretan angka yang mengandung banyak tujuh, tapi tak berkawan baik dengan keberuntungan?
 

 
 
Oh, rupanya nomorku tujuhnya bukan tiga kali, melainkan ada empat, dan dalam tradisi China itu juga berarti kematian. Jadi, apakah itu artinya aku sedang mengirimkan kesialan kepada seseorang di suatu tempat?
 
 
Rabu
 
Tambahan uang mudah datang dan pergi. Aku tidak mengatakan apa yang mestinya telah menjadi milikku. Aku cuma harus ikhlas dan diam-diam berharap agar Dia menggantinya dengan tubuh, pikiran, dan mental yang selalu sehat. Namun, tak ada orang yang tidak sakit. Mereka hanya pandai menyembunyikan gejala. Meskipun itu harus terus belanja atau menguras tabungan dari sisa-sisa gaji agar tidak gila.
 
 
Kamis
 
Terkutuklah orang-orang yang gemar mengirimkan beban berat ke pundak orang lain. Melimpahkan apa pun yang tidak semestinya, bahkan mengubah rapat menjadi repot, atau begitu pun sebaliknya. Tapi aku tak bisa mengeluh. Aku hanya bisa menghela napas sejenak, dan kembali melakukan tugasku sembari bersenandung: “Salahkah 'ku, hinakah 'ku? Berkata pun 'ku tak mampu. Salahkah 'ku, maafkanku, 'ku hanya mampu bertumpu dan berharap pada tangan hampa dan kaki telanjang.*”
 
Jumat
 
Masih menjadi rahasia. Satu-satunya bocoran yang aku dengar: Mayoritas manusia telah mengimpikan akhir pekan sejak jam makan siang. Mereka sudah tak fokus bekerja. Mereka mengabaikan peran dan laporan, sebab pikiran mereka telah berangkat liburan, tubuh mereka sudah haus hiburan, lidah mereka telah migrasi ke restoran, atau mungkin hati mereka sedang kasmaran.
 
Aku sendiri tak mau berharap banyak. Aku hanya ingin pekerjaan terasa lebih ringan, dan Kiamat tidak perlu datang terburu-buru.



--

 

 
 

 

*) Lirik Tigapagi - Tangan Hampa Kaki Telanjang.

0 Comments