Membunuh Para Pelacur

Sebuah cerpen terjemahan karya Roberto Bolaño. Dialihbahasakan dari bahasa Spanyol ke Inggris oleh Chris Andrews, dan dari Inggris ke Indonesia oleh penerjemah gadungan.
 



--
 
“Aku melihatmu di televisi, Max, dan kupikir, Itulah priaku.”
 
(Pria itu dengan keras kepala menyentakkan kepalanya, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi dia tidak bisa.)
 
“Aku melihatmu bersama grupmu. Apakah itu sebutanmu? Mungkin kau mengatakan geng, atau kru, tetapi bukan, aku pikir kau mengatakan grup: itu kata yang sederhana dan kau adalah orang yang sederhana. Kau telah melepas kausmu dan kau bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh mudamu: dada dan bisep yang kuat, meskipun kalian semua ingin memiliki lebih banyak otot, sebagian besar dada tak berbulu, tetapi aku tidak benar-benar memperhatikan ke dada atau tubuh lain, hanya milikmu, sesuatu tentangmu mengejutkanku, wajahmu, matamu menatap ke arah kamera (walaupun kau mungkin enggak menyadari bahwa kau sedang direkam dan disorot ke ruang keluarga kita), kedalaman terlihat di matamu, berbeda dari penampilan mereka sekarang, sangat berbeda dari penampilan mereka di masa depan, mata yang tertuju pada kemuliaan dan kebahagiaan, keinginan dan kemenangan yang terpuaskan, hal-hal yang hanya bisa terjadi di kerajaan masa depan, hal-hal yang lebih baik tak usah diharapkan karena mereka tidak pernah datang.
 
(Pria itu menyentakkan kepalanya dari kiri ke kanan, masih berusaha bernapas dan berkeringat.)
 
“Sebenarnya, melihatmu di televisi itu bagai sebuah undangan. Bayangkan sejenak bahwa aku seorang putri, menunggu. Putri yang enggak sabaran. Suatu malam aku melihatmu, dan alasanku melihatmu adalah karena aku, dalam arti tertentu, telah mencari, bukan untukmu secara pribadi melainkan karena kau seorang pangeran, dan apa yang diwakili oleh pangeran itu. Kau dan teman-temanmu menari dengan kaus yang diikatkan di leher atau pinggang kalian. Diikat atau mungkin digulung, sebuah kata yang menurut orang tua rewel mengacu pada layar saat mereka digulung dan diikat ke halaman atau sebuah rantai, tetapi dengan caraku sendiri yang muda dan jengkel, aku menggunakannya untuk merujuk pada pakaian yang digulung ke leher atau dada atau pinggang. Si tua dan aku berpisah, seperti yang sudah kauduga sekarang. Tapi jangan lupakan apa yang benar-benar menarik bagi kita. Kau dan grupmu masih muda, dan kalian semua mempersembahkan himne kalian pada malam hari; beberapa dari kalian, para pemimpin, mengacungkan bendera. Penyiar, bajingan malang, terkesan dengan tarian suku yang kalian ikuti. Dia menunjukkannya kepada wartawan lainnya. Mereka menari, katanya, dengan suaranya yang serak, seolah-olah kami, para penonton di rumah, di depan televisi kami, tidak menyadarinya. Ya, mereka bersenang-senang, kata wartawan lainnya. Setidaknya, mereka tampaknya menikmati tarian kalian. Itu hanya conga*, sungguh. Di garis depan ada delapan atau sembilan. Yang kedua ada sepuluh. Yang ketiga ada tujuh atau delapan. Yang keempat ada lima belas. Disatukan oleh warna tim dan semi-telanjang (kaus yang diikat atau digulung di sekitar pinggang atau leher kalian, atau gaya serban di sekitar kepala kalian) dan tarian (jika aku bisa menyebutnya begitu) saat bergerak melalui area ketika kau telah diisolasi. Tarianmu seperti sambaran petir pada malam musim semi. Sang wartawan, para wartawan, lelah tapi masih bisa mengumpulkan semangat, salut dengan inisiatifmu. Kau bekerja melintasi tangga semen dari kanan ke kiri, dan ketika kau mencapai pagar kawat, kau kembali ke arah lain. Orang-orang di depan setiap barisan membawa bendera, bendera tim atau bendera Spanyol; kalian semua, termasuk yang di ujung, mengibarkan bendera yang jauh lebih kecil, atau syal, atau kaos yang kalian lepas sebelumnya. Ini adalah malam musim semi, tetapi masih dingin, dan pada akhirnya itu memberikan semacam gerakan kekuatan yang kalian inginkan, kekuatan yang pantas untuknya. Kemudian barisan terputus, kalian mulai melantunkan lagu kalian, beberapa dari kalian mengangkat tangan dan memberi hormat Romawi. Apakah kalian tahu apa artinya salam itu? Kalian harus mengangkat tangan, dan jika tidak, kalian bisa mengira-ngira. Di bawah langit malam kotaku, kau memberi hormat ke arah kamera televisi, dan aku menonton di rumah melihatmu dan memutuskan untuk memberi hormat, sebagai tanggapan atas salammu.”
 
(Pria itu menggelengkan kepalanya, matanya tampak berlinang air mata, bahunya bergetar. Apakah ada cinta dalam tatapannya? Apakah tubuhnya merasakan apa yang pasti akan terjadi, sedangkan pikirannya masih tertinggal? Baik fenomena, air mata maupun gemetar, bisa jadi hasil dari usaha yang dia lakukan saat ini, sia-sia, atau dari penyesalan yang tulus merobek semua sarafnya.)
 
“Jadi, aku melepas pakaianku, aku melepas celanaku, aku melepas behaku, aku mandi, aku memakai parfum, aku memakai celana bersih, aku memakai beha bersih, aku memakai atasan sutra hitam, aku memakai jins terbaikku, aku memakai kaus kaki putih, aku memakai sepatu botku, aku memakai jaket terbaik yang kumiliki, dan aku pergi ke taman, sebab untuk keluar ke jalan, pertama aku harus menyeberangi taman gelap itu, yang sangat kausukai. Semuanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit; biasanya aku tidak begitu cepat. Katakanlah tarianmu yang mempercepat gerakanku. Sementara aku berpakaian, kau menari. Di beberapa dimensi lain. Dimensi lain dan waktu lain, seperti seorang pangeran dan seorang putri, seperti seruan hewan yang bergandengan tangan pada musim semi, aku berpakaian, sementara di dalam televisi kau menari dengan liar dengan mata tertuju pada sesuatu yang mungkin merupakan keabadian atau kunci keabadian, kecuali matamu saat menari datar dan kosong dan enggak ekspresif.
 
(Pria itu mengangguk berulang kali. Isyarat penyangkalan atau keputusasaan diubah menjadi isyarat penegasan, seolah-olah dia tiba-tiba ditangkap oleh sebuah ide, atau gagasan baru saja muncul di benaknya.)
 
“Akhirnya, meskipun aku tak punya waktu untuk melihat diriku di cermin dan memeriksa apakah pakaianku sudah benar, dan sebenarnya aku mungkin tak ingin melihat bayanganku meskipun aku punya waktu (sebab apa yang kau dan aku lakukan merupakan rahasia), aku keluar, membiarkan lampu teras menyala, naik ke sepeda motorku dan melewati jalan-jalan di mana orang-orang yang lebih asing darimu atau aku berangkat untuk menikmati Sabtu malam mereka, Sabtu yang sesuai dengan harapan mereka, Sabtu yang menyedihkan, dengan kata lain, yang tak akan pernah menghidupkan apa yang telah mereka impikan dan rencanakan dengan cermat, Sabtu seperti yang lainnya, agresif dan bersyukur, kekar dan ramah, sesat dan sedih. Kata sifat mengerikan yang sama sekali bukan gayaku, membuatku menolak, tetapi seperti biasa, pada akhirnya aku membiarkannya berdiri, sebagai isyarat perpisahan. Sepeda motorku dan aku melaju di antara lampu-lampu itu, persiapan-persiapan Kristiani itu, harapan-harapan tak berdasar itu, dan kami keluar di depan stadion, di Gran Avenida, yang masih kosong, dan kami berhenti di bawah lengkungan jembatan yang menuju ke gerbang masuk, dan ini adalah bagian yang sangat aneh: ketika kami berhenti, aku bisa merasakan di kakiku bahwa dunia masih bergerak, seperti yang aku kira kau ketahui, bumi bergerak di bawah kakiku, di bawah roda sepeda motorku, dan untuk sesaat, sepersekian detik, apakah aku bisa menemukanmu atau tidak, bukanlah masalah, kau dapat pergi dengan teman-temanmu, kau bisa pergi dan mabuk atau naik bus kembali ke kota asalmu. Tapi perasaan ditinggalkan, seolah-olah aku disetubuhi oleh sesosok malaikat, tanpa penetrasi—atau sebenarnya tidak, menembus sampai ke inti—singkat, dan sewaktu aku mulai meragukan atau menganalisisnya dengan takjub, gerbang terbuka dan orang-orang mulai keluar dari stadion: sekawanan burung nasar, sekawanan burung gagak.”
 
(Pria itu menggantung kepalanya. Mengangkatnya. Matanya mencoba tersenyum. Otot-otot wajahnya dicengkeram oleh sebuah kejang atau serangkaian kejang yang bisa berarti banyak hal berbeda: Kita ditakdirkan untuk satu sama lain, Pikirkan masa depan, Hidup itu indah, Jangan lakukan hal bodoh, Aku tidak bersalah, Aturan Spanyol.)
 
“Menemukanmu adalah sebuah masalah. Apakah kau akan melihat jarak yang sama seperti yang kaulakukan di TV? Tinggi badanmu adalah masalah: Aku tak tahu apakah kau tinggi atau sedang (kau enggak pendek, aku tahu itu). Pakaianmu adalah masalah: sekarang mulai dingin, dan tubuhmu serta tubuh teman-temanmu sekali lagi terbungkus kaos atau bahkan jaket; ada yang keluar dari stadion dengan selendang yang digulung (seperti layar) di lehernya dan bahkan ada yang menggunakan selendangnya untuk menutupi mulut dan pipinya. Langkah kakiku di atas semen diterangi cahaya bulan vertikal. Aku mencarimu dengan sabar, namun pada saat yang sama aku cemas seperti sang putri merenungkan bingkai kosong saat senyum sang pangeran seharusnya bersinar. Teman-temanmu adalah masalah yang diperparah: mereka adalah godaan. Aku melihat mereka dan dilihat oleh mereka, aku diinginkan, aku tahu mereka akan melepas jinsku tanpa berpikir dua kali; beberapa enggak diragukan lagi pantas mendapatkan perhatianku setidaknya sama sepertimu, tapi pada akhirnya aku menolak, aku tetap setia. Akhirnya kau muncul, dikelilingi oleh penari conga, melantunkan kata-kata himne yang menggambarkan pertemuan kita, dengan ekspresi serius di wajahmu, diisi dengan kepentingan yang tak dapat diukur dan dihargai oleh siapa pun kecuali engkau; kau tinggi, jauh lebih tinggi dariku, dan lenganmu panjang, seperti yang aku bayangkan setelah melihatmu di TV, dan ketika aku tersenyum kepadamu, saat aku berkata, Hai, Max, kau tak tahu harus berkata apa, pada awalnya kau tak tahu harus berkata apa, kau hanya tertawa, enggak sekeras teman-temanmu, tapi kau tertawa, pangeran mesin waktuku, kau tertawa dan berhenti berjalan.
 
(Pria itu memandangnya, menyipitkan matanya, mencoba menenangkan napasnya, dan kala napasnya menjadi lebih teratur, dia tampaknya berpikir: tarik napas, embuskan napas, pikirkan, tarik napas, embuskan, pikirkan...)
 
“Lalu, alih-alih mengatakan, Aku bukan Max, kau mencoba mengejar grupmu, dan untuk sesaat aku dilanda kepanikan, kepanikan yang jika dipikir-pikir lebih mirip dengan tawa ketimbang ketakutan. Aku mengikutimu tanpa gagasan yang jelas tentang apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Tapi kau dan tiga orang lainnya berhenti dan berbalik dan menilaiku dengan mata dingin, dan aku berkata, Max, kita harus bicara, dan kemudian kau berkata, Aku bukan Max, itu bukan namaku, apa-apaan ini, apakah kau bercanda, apakah kau membuatku terlihat mirip dengan seseorang atau apa, dan kemudian aku berkata, Maaf, kau benar-benar mirip Max, dan aku berkata, aku ingin berbicara denganmu, Bagaimana kalau membahas tentang Max, dan kemudian kau tersenyum, dan kau akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal dan membiarkan teman-temanmu pergi; mereka meneriakkan nama bar tempat kau akan bertemu untuk berangkat pulang, Tak masalah, katamu, sampai jumpa di sana, dan teman-temanmu menyusut seperti stadion di belakang kita saat aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan penuh, dengan percaya diri, dan Gran Avenida hampir kosong pada malam seperti ini, hanya ada orang-orang yang meninggalkan stadion, dan kau duduk di belakangku dengan tangan melingkari pinggangku, aku merasakan tubuhmu di punggungku seperti moluska menempel di batu, dan itu benar bahwa udara di jalan itu dingin dan padat seperti ombak yang mendorong dan menarik moluska; kau melekat kepadaku secara alami, Max, seperti seseorang yang merasakan bahwa laut bukan hanya elemen yang tak ramah melainkan juga terowongan waktu, kau melingkarkan dirimu di pinggangku seperti kausmu dililitkan di lehermu, tapi sekarang conga menari melalui udara yang mengalir seperti semburan ke tabung bergaris-garis yaitu Gran Avenida, dan kau tertawa atau meneriakkan sesuatu, mungkin kau melihat beberapa teman di antara orang-orang meluncur lewat di bawah kanopi pohon, mungkin kau hanya meneriakkan hinaan pada orang asing, oh Max, kau tidak meneriakkan Selamat tinggal atau Hai atau Sampai jumpa, kau meneriakkan slogan-slogan yang lebih tua dari darah, tapi tentunya tidak lebih tua dari batu tempat kau berpegangan, senang merasakan ombak, itu arus bawah laut pada malam hari, yakinlah bahwa kau tak akan tersapu.”
 
(Pria itu menggumamkan sesuatu yang tak dapat dipahami. Sepertinya air liur menetes dari dagunya, meskipun mungkin itu hanya keringat. Bagaimanapun, napasnya telah tenang.)
 
“Jadi kita tiba di rumahku di pinggiran kota, aman dan tenteram. Kau melepas helmmu, kau menyentuh bijimu, kau meletakkan tanganmu di bahuku. Gerakan itu menunjukkan tingkat kelembutan dan ketakutan yang mengejutkan. Tapi matamu masih belum cukup lembut dan pemalu. Kau menyukai rumahku. Kau menyukai gambarku. Kau bertanya kepadaku tentang tokoh-tokoh yang muncul di dalamnya. Pangeran dan Putri, jawabku. Mereka terlihat seperti Raja Katolik, katamu. Ya, pikiran itu kadang-kadang muncul di benakku juga, Raja Katolik dalam batas-batas kerajaan mereka, Raja Katolik saling memata-matai dalam kepanikan yang terus-menerus, kekhidmatan yang terus-menerus, tetapi bagiku, untuk orang sepertiku setidaknya lima belas jam sehari, mereka adalah seorang pangeran dan seorang putri, seorang pengantin yang melakukan perjalanan selama bertahun-tahun, dan terluka, tertusuk panah, yang kehilangan kudanya dalam perburuan, atau bahkan tak pernah memiliki kuda dan harus melarikan diri dengan berjalan kaki, hanya dengan mata mereka untuk membimbing mereka, dan kemauan bodoh, yang sebagian disebut kebaikan dan yang lain sifat baik, seolah-olah alam dapat memenuhi syarat, baik atau buruk, liar atau jinak, alam adalah alam, Max, itulah fakta yang harus kauhadapi, dan itu akan selalu terjadi, seperti misteri yang tak terpecahkan, dan aku tidak berbicara tentang hutan yang terbakar melainkan neuron dan belahan otak kiri atau kanan yang terbakar dan berkobar selama berabad-abad. Namun, jiwamu yang diberkati, kaupikir rumahku cantik, dan kau bahkan bertanya apakah aku sendirian dan kemudian kau terkejut ketika aku tertawa. Apakah kau pikir aku akan mengundangmu ke sini jika aku tidak sendirian? Apakah kaupikir aku akan berkendara melintasi kota dengan sepeda motorku, dengan kau menekan punggungku, seperti moluska yang menempel di batu, sementara kepalaku (atau figur kepalaku) terjun melalui waktu, dengan satu-satunya tujuan membawamu kembali aman dan tenteram ke tempat perlindungan ini, batu karang asli, batu karang yang muncul secara ajaib dari fondasinya dan menghancurkan permukaannya, menurutmu apakah aku akan melakukan semua itu jika aku tidak sendirian? Dan hanya pada tingkat praktis, menurutmu apakah aku akan mengambil helm ekstra, helm untuk melindungi wajahmu dari pengintaian, jika niatku bukan untuk membawamu kembali ke sini, ke dalam kesendirianku yang paling murni?”
 
(Pria itu menundukkan kepalanya dan mengangguk, matanya mengamati dinding ruangan sampai ke celah yang paling halus. Keringatnya mulai mengalir lagi seperti sungai yang berubah-ubah—atau apakah ada ketegaran waktu?—dan tetesan air berkumpul di alisnya dan menggantung tak menyenangkan di atas matanya.)
 
“Kau tidak tahu apa-apa tentang melukis, Max, tapi aku merasa kau tahu banyak tentang kesendirian. Kau menyukai Raja Katolik-ku, kau menyukai bir, kau menyukai negaramu, kau menyukai rasa hormat, kau menyukai tim sepak bolamu, kau menyukai teman atau kawan karib atau sahabatmu, geng atau grup atau kru, kelompok yang melihatmu tetap tinggal untuk berbicara dengan cewek seksi yang tidak kaukenal, kau tak suka kekacauan, kau tidak suka orang kulit hitam, kau tak suka orang homo, kau tak suka diperlakukan dengan tidak hormat, kau enggak suka disingkirkan. Ada begitu banyak hal yang tidak kausukai, dengan cara itu kau sangat mirip denganku. Kita saling mendekat, kau dan aku, dari ujung terowongan yang berlawanan, dan meskipun yang bisa kita lihat hanyalah siluet satu sama lain, kita tetap berjalan dengan mantap menuju titik pertemuan kita. Di tengah terowongan, lengan kita akhirnya akan dapat terjalin, dan meskipun kegelapan di sana akan menjadi lengkap, membuat wajah kita tak terlihat, aku tahu bahwa kita akan melangkah maju tanpa rasa takut dan saling menyentuh wajah (hal pertama yang akan kausentuh adalah pantatku, tetapi itu juga merupakan bagian dari keinginanmu untuk mengetahui wajahku), kita akan merasakan mata satu sama lain dan mungkin mengucapkan satu atau dua kata pengakuan. Maka akan menjadi jelas (akan menjadi jelas bagiku) bahwa kau tak tahu apa-apa tentang melukis, tetapi kau tahu tentang kesendirian, yang hampir sama. Suatu hari nanti kita akan bertemu di tengah terowongan itu, Max, dan aku akan merasakan wajahmu, hidungmu, mulutmu—yang secara umum mengekspresikan kebodohanmu lebih baik daripada orang lain—mata kosongmu, lipatan kecil yang terbentuk di pipimu saat kau tersenyum, ketegasan palsu wajahmu kala kau serius, sewaktu kau menyanyikan himnemu, himne yang tidak kau mengerti, dagumu yang terkadang seperti batu, tapi lebih sering, aku kira, bagai sayuran, dagu itu milikmu, Max, yang sangat tipikal, sangat tipikal sehingga sekarang aku curiga dagumu yang membawamu ke sini, itulah kejatuhanmu. Dan kemudian kau dan aku akan dapat berbicara lagi, atau kita akan berbicara untuk pertama kalinya, tetapi sebelum itu kita harus berguling, melepas pakaian kita dan menggulungnya di leher kita, atau di leher orang mati—mereka yang tinggal di dalam gulungan yang tak bergerak.”
 
(Pria itu menangis, dan sepertinya dia mencoba untuk berbicara, tapi sebenarnya dia hanya merintih: gerakan pipinya dan bibirnya yang tertutup adalah kejang yang dihasilkan oleh tangisannya).
 
“Seperti yang dikatakan para gangster, ini bukan masalah personal, Max. Tentu saja, pernyataan itu mengandung unsur kebenaran dan unsur kepalsuan. Itu selalu sesuatu yang personal. Kita telah melewati terowongan waktu tanpa cedera karena ini adalah sesuatu yang personal. Aku memilihmu karena itu sesuatu yang personal. Tentu saja aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kau tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakitiku secara personal. Kau mengatakan itu untuk menenangkan pikiranmu. Kau tidak pernah memperkosaku. Kau tak pernah memperkosa siapa pun yang kukenal. Bahkan mungkin kau tidak pernah memperkosa siapa pun sama sekali. Itu bukan sesuatu yang personal. Mungkin aku sakit. Mungkin semua ini adalah mimpi buruk yang bukan kau maupun aku alami, meskipun itu menyakitimu, walaupun rasa sakit itu nyata dan personal. Namun aku curiga bahwa akhirnya tidak akan bersifat personal. Akhir: kepunahan, isyarat yang akan mengakhiri semua ini tanpa dapat diperbaiki. Dan secara personal atau impersonal, kau dan aku akan memasuki rumahku lagi, dan melihat fotoku (Pangeran dan Putri), minum bir dan menanggalkan pakaian, dan aku akan merasakan tanganmu lagi dengan kikuk membelai punggung, pantat, selangkanganku, mencari klitorisku mungkin, tapi tidak tahu persis di mana itu, aku akan menanggalkan pakaianmu lagi, dan memegang penismu di kedua tangan dan berkata, Punyamu begitu besar, padahal sebenarnya kepunyaanmu tidak begitu besar, Max, dan itu adalah sesuatu yang harus kau ketahui sekarang, dan aku akan memasukkannya ke dalam mulutku lagi, dan mengisapmu seolah aku yakin kau belum pernah dikulum sebelumnya, dan kemudian aku akan melepas semua pakaianmu dan membiarkanmu melepas pakaianku, satu tangan sibuk dengan kancingku, segelas wiski di tangan lainnya, dan aku akan menatap matamu, mata yang kulihat di televisi (dan akan melihat lagi dalam mimpi), mata yang kupilih untukmu, dan sekali lagi akan kuberitahukan padamu, akan kuberi tahu memori elektrikmu yang memuakkan bahwa ini bukan masalah personal, dan bahkan kemudian aku akan ragu, aku akan merasa kedinginan seperti sekarang, aku akan mencoba mengingat kata-kata yang kau ucapkan, bahkan yang paling enggak penting, tapi tak ada satu pun dari mereka yang akan menjadi penghiburan.
 
(Pria itu menyentakkan kepalanya lagi, mengangguk. Apa yang dia coba katakan? Tidak mungkin untuk mengatakannya. Tubuhnya, atau lebih tepatnya kakinya, tunduk pada fenomena yang aneh: kadang-kadang ditutupi dengan keringat sebanyak keringat di dahinya, terutama di bagian dalam, terkadang kulit tampak dingin, dari selangkangan hingga lutut, dan teksturnya bergelombang, jika tidak disentuh setidaknya jatuh ke mata).
 
“Kata-katamu, aku akui, baik. Namun demikian, aku khawatir kau tidak cukup memikirkan apa yang kaukatakan. Dan bahkan lebih sedikit dari apa yang kukatakan. Kau harus selalu mendengarkan baik-baik, Max, apa yang dikatakan wanita saat mereka sedang bercinta. Jika mereka tidak berbicara, baiklah, tak ada yang perlu didengarkan, dan kau mungkin tidak memiliki apa pun untuk dipikirkan, tetapi jika mereka melakukannya, meskipun cuma gumaman, dengarkan kata-kata mereka dan pikirkan tentang mereka, pikirkan tentang artinya, pikirkan tentang apa yang mereka ungkapkan dan biarkan tidak terekspresikan, cobalah untuk memahami apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Para wanita membunuh para pelacur, Max, mereka monyet yang kaku kedinginan mengawasi cakrawala dari pohon yang sakit, mereka putri yang mencarimu dalam kegelapan, menangis, memeriksa kata-kata yang tak akan pernah bisa mereka ucapkan. Dalam kesalahpahaman kita hidup dan merencanakan siklus hidup kita. Untuk teman-temanmu, Max, di stadion itu, yang menyusut dalam ingatanmu sekarang bagai simbol mimpi buruk, aku hanyalah pelacur aneh, tontonan demi tontonan, disediakan untuk beberapa penonton yang menari conga dengan T-shirt mereka tergulung di leher atau pinggang mereka. Tapi untukmu aku adalah seorang putri di Gran Avenida, kini hancur oleh angin dan ketakutan (sehingga dalam pikiranmu jalan itu telah menjadi terowongan waktu), trofi yang disediakan khusus untukmu setelah malam keajaiban kolektif. Bagi polisi, aku akan menjadi halaman kosong. Tak ada yang akan mengerti kata-kata cintaku. Dan kau, Max, apa kau ingat sesuatu yang kukatakan saat kau meniduriku?” 
 
(Pria itu menggerakkan kepalanya, dengan jelas menandakan persetujuan, dan matanya yang lembab, bahunya yang tegang, perutnya, kakinya yang tersentak dan tersentak setiap kali dia memalingkan muka, berjuang untuk melepaskan diri, urat lehernya yang berdenyut, semuanya mengatakan iya.) 
 
“Apakah kau ingat aku mengatakan angin? Apakah kau ingat aku mengatakan jalan-jalan bawah tanah? Apakah kau ingat aku mengatakan kau adalah fotografer? Tidak, kau benar-benar tak ingat, bukan? Kau terlalu mabuk dan terlalu sibuk dengan tetek dan pantatku. Dan kau tak tahu, jika tidak pada kesempatan pertama kau akan keluar dari sini seperti tembakan. Kau ingin keluar dari sini sekarang, bukan, Max? Bayanganmu, kembaranmu, berlari melintasi taman, melompati pagar, menghilang di jalan, melangkah pergi seperti pelari jarak menengah, masih setengah telanjang, menyenandungkan salah satu himnemu untuk meningkatkan keberanianmu, dan kemudian, setelah berlari selama dua puluh menit, muncul dengan terengah-engah di bar tempat grup atau klub atau regu atau gengmu yang lain atau apa pun namanya sedang menunggumu, minum segelas bir dan berkata, Teman-teman, kau tidak akan pernah percaya apa yang terjadi kepadaku, aku hampir terbunuh oleh pelacur sialan dari pinggiran kota, dari sisi jauh kota dan waktu, pelacur yang melihatku di TV (kita ada di TV!) dan membawaku pulang dengan sepeda motornya dan mengisap kontolku dan melebarkan kakinya untukku dan mengatakan kata-kata yang misterius pada awalnya tapi kemudian aku memahaminya, tidak, aku merasakannya, pelacur ini mengatakan kata-kata yang bisa kurasakan di liver dan bijiku, pada awalnya terdengar tak berdosa atau seperti dia bergairah untukku atau merintih karena aku menghajarnya dengan keras, tapi suatu hal, teman-teman, setelah beberapa saat dia tak terdengar begitu polos, yang aku maksud adalah, dia tidak berhenti bergumam atau berbisik saat aku menungganginya, dan itu normal, bukan, tapi ini tidak normal, di sana terdapat ketidaknormalan tentangnya, pelacur yang berbisik saat dia sedang dientot, oke, tapi kemudian aku mendengar apa yang dia katakan, aku mendengar kata-katanya membajak seperti perahu melalui lautan testosteron, dan aku memberitahu kalian, bahwa suara supranatural membuat lautan air mani bergidik dan menyusut, laut menghilang, meninggalkan dasar laut terbuka dan semua pantai kering, hanya batu dan gunung, tebing, pegunungan, celah-celah gelap lembab karena ketakutan, perahu berlayar di atas kekosongan itu, dan aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri, tiga mataku sendiri, dan aku berkata, Enggak apa-apa, tak apa-apa, Sayang, frustrasi, ketakutan, dan lantas aku berdiri, berusaha terlihat normal, semuanya gelisah tapi berusaha untuk menyembunyikannya, dan berkata aku akan pergi ke kamar mandi untuk kencing atau berak, dan dia menatapku seolah aku telah membaca John Donne, teman-teman, atau Ovid atau semacamnya, dan aku berjalan mundur sambil terus menatapnya, masih melihat perahu itu berlayar tanpa gangguan melalui lautan ketiadaan dan listrik, seolah-olah planet Bumi sedang dilahirkan kembali dan aku adalah satu-satunya saksi hidupnya, tapi untuk siapa aku menyaksikan, bintang-bintang kukira, dan ketika aku sampai di koridor, di luar jangkauan tatapan dan keinginannya, alih-alih membuka pintu kamar mandi, aku merayap ke pintu depan dan melintasi taman, mengucapkan doa hening, dan melompati tembok dan mulai berlari di jalan seperti pelari terakhir dari maraton, membawa berita bukan tentang kemenangan melainkan tentang kekalahan, sang pelari yang tak ada yang mendengarkan atau memberi selamat atau menyapanya dengan semangkuk air, tetapi dia hidup sampai di sana, teman-teman, dan pelajarilah pelajarannya: Jangan memasuki kastil itu, Jangan ikuti jalan itu, Jangan masuk ke wilayah itu. Bahkan jika kau dipilih. Bahkan jika segalanya melawanmu.”
 
(Pria itu menganggukkan kepalanya. Jelas bahwa dia ingin menyatakan persetujuannya. Upaya itu membuat wajahnya memerah; pembuluh darahnya membengkak, matanya melotot.)
 
“Tapi kau tidak mendengarkan kata-kataku, kau tak bisa membedakannya dari rintihanku, kata-kata terakhir itu, yang mungkin bisa menyelamatkanmu. Aku memilihmu dengan baik. Televisi enggak berbohong, itu satu-satunya kebajikan (itu dan film-film lama yang mereka tayangkan pada jam-jam dini hari), dan melihat wajahmu, di pagar kawat, setelah conga yang semua orang bersorak, membayangkan sebelumnya (dan mempercepat) akhir yang tak terelakkan. Aku membawamu pulang dengan sepeda motorku, aku melepas pakaianmu, aku meninggalkanmu tak sadarkan diri, aku mengikat tangan dan kakimu ke kursi tua, aku menempelkan plester yang menempel di mulutmu, bukan karena aku takut tangisanmu akan mengingatkan seseorang, melainkan karena aku tak ingin mendengarmu memohon, aku tak ingin mendengar permintaan maaf gagapmu yang menyedihkan, desakan lemahmu bahwa kau enggak seperti itu, bahwa itu semua adalah permainan, bahwa akulah yang sepenuhnya salah. Mungkin aku salah paham. Mungkin itu semua permainan. Mungkin kau tak seperti itu. Tapi masalahnya, Max, enggak ada yang seperti itu. Aku juga enggak seperti itu. Aku tak akan memberi tahumu tentang rasa sakitku, bukan seolah-olah kau yang menyebabkannya; sebaliknya, kau memberikanku orgasme. Kau adalah pangeran yang hilang yang memberiku orgasme; kau bisa bangga pada dirimu sendiri. Dan aku memberimu kesempatan untuk melarikan diri, tapi kau juga adalah pangeran tuli. Sekarang sudah terlambat, hari mulai terang; kakimu pasti mati rasa dan kram, pergelangan tanganmu bengkak; kau seharusnya tak terlalu berjuang, aku memperingatkanmu ketika kita mulai, Max, ini pasti akan terjadi. Kau harus melakukan yang terbaik. Sekarang bukan waktunya untuk menangis, atau mengingat kalimat conga, ancaman atau pemukulan; saatnya untuk melihat ke dalam diri sendiri dan mencoba untuk memahami bahwa terkadang, secara tak terduga, orang-orang pergi begitu saja. Kau telanjang di kamar hororku, Max, dan matamu mengikuti pisauku yang berayun, seolah-olah itu pendulum jam kukuk. Tutup matamu, Max, tak perlu terus mencari; pikirkan sesuatu yang baik, pikirkan sekeras mungkin...”
 
(Matanya, alih-alih menutup, terbuka dengan liar, dan semua ototnya merenggut dalam satu upaya terakhir yang putus asa: guncangannya begitu keras sehingga kursi yang mengikatnya dengan aman jatuh. Dia membenturkan kepala dan pinggulnya ke tanah, dia kehilangan kendali atas sfingter anus dan kantong kemihnya; dia kejang-kejang; debu dan kotoran dari batu ubin menempel di kulitnya yang basah.)
 
“Aku tak akan menjemputmu, Max, kau baik-baik saja seperti itu. Buka atau tutup matamu, tak masalah; memikirkan sesuatu yang baik atau enggak berpikir sama sekali. Sudah mulai terang tetapi, seperti yang terjadi, mungkin juga akan menjadi gelap. Kau adalah pangeran dan kau tiba pada waktu yang tepat. Kau disambut kapan pun kau datang dan dari mana pun kau berasal, apakah kau datang dengan sepeda motor atau berjalan kaki, apakah kau tahu apa yang menantimu atau tidak, apakah kau ditipu atau datang dengan mengetahui bahwa kau akan menemui takdirmu di sini. Wajahmu, yang sampai saat ini hanya bisa mengungkapkan kebodohan atau kemarahan atau kebencian, sekarang dikonfigurasi ulang dan dapat mengungkapkan apa yang hanya bisa ditebak di dalam terowongan ketika waktu fisik dan waktu verbal mengalir satu sama lain dan berbaur. Kau melangkah dengan tegas melalui koridor istanaku, hampir tak berhenti selama beberapa detik yang diperlukan untuk melihat foto-foto Raja Katolik, untuk minum segelas air sebening kristal, untuk menyentuh air raksa cermin dengan ujung jarimu. Kastil sepertinya sepi, Max. Terkadang kau berpikir dirimu sendirian, tapi jauh di lubuk hatimu tahu bahwa kau tak sendirian. Tanganmu terangkat untuk memberi hormat, tubuh telanjangmu, kaus tergulung di pinggangmu, himne pejuangmu tentang kemurnian dan masa depan, kau meninggalkan semua itu. Kastil ini adalah gunungmu, dan kau harus mengerahkan seluruh kekuatanmu untuk mendaki dan menjelajahinya, sebab setelah itu tak akan ada lagi; gunung dan pendakian akan menuntut harga tertinggi yang bisa kaubayar. Sekarang pikirkan tentang apa yang kautinggalkan, apa yang kau bisa dan harus tinggalkan, dan pikirkan tentang kebetulan, penjahat terbesar yang pernah hidup di bumi. Bebaskan dirimu dari rasa takut dan penyesalan, Max, sebab kau sudah berada di dalam kastil, dan di sini hanya ada gerakan yang akan membawamu ke pelukanku. Sekarang kau berada di dalam kastil dan kau mendengar pintu menutup di belakangmu. Jauh di dalam mimpi kau berjalan melalui lorong-lorong dan kamar-kamar dari batu hampa. Senjata apa yang kaubawa, Max? Hanya kesendirianmu. Kau tahu bahwa di suatu tempat aku menunggumu. Kau tahu bahwa aku juga telanjang. Kadang-kadang kau merasakan air mataku, kau melihat air mataku mengalir di atas batu yang gelap dan kau pikir dirimu telah menemukanku, tetapi ruangan itu kosong, yang membuatmu sedih dan pada saat yang sama menggairahkanmu. Terus mendaki, Max. Kamar sebelah kotor dan sepertinya bukan milik kastil. Ada TV lama yang tak berfungsi dan tempat tidur lipat dengan dua kasur di atasnya. Seseorang menangis di suatu tempat. Kau melihat gambar anak-anak, pakaian tua yang berjamur, darah kering, dan debu. Kau membuka pintu lain. Kau menelepon seseorang. Kau memberitahu mereka untuk tidak menangis. Langkah kakimu terlihat di debu di lantai lorong. Air mata terkadang tampak menetes dari langit-langit. Itu tidak masalah. Seperti apa adanya, mereka mungkin juga akan menyemburkan ujung penismu. Terkadang semua ruangan tampak sama, ruangan yang sama hancur oleh waktu. Jika kau melihat ke langit-langit, kau akan membayangkan kau dapat melihat bintang atau komet atau jam kukuk berlayar melalui ruang yang memisahkan bibir pangeran dari bibir sang putri. Terkadang semuanya kembali seperti dulu. Kastil itu gelap, besar, dingin, dan kau sendirian. Tapi kau tahu ada orang lain yang tersembunyi di suatu tempat, kau merasakan air mata, kau merasakan ketelanjangannya. Kedamaian dan kehangatan menunggumu di pelukan orang itu, jadi kau terus berjalan, ditarik oleh harapan, melangkahi kotak penuh kenangan yang tak akan pernah dilihat lagi oleh siapa pun, koper penuh pakaian lama yang dilupakan atau tak diinginkan seseorang untuk dibuang, dan dari waktu ke waktu kau memanggilnya, putrimu—di mana dia?—tubuhmu kaku karena kedinginan, gigimu gemeletuk, tepat di tengah terowongan, tersenyum dalam kegelapan, bebas dari rasa takut untuk yang pertama kali mungkin, dan tanpa niat menginspirasi rasa takut, bersemangat, gembira, penuh kehidupan, merasakan jalanmu melalui kegelapan, membuka pintu, mengikuti lorong yang membawamu lebih dekat ke air mata, dalam kegelapan, hanya dipandu oleh kebutuhan tubuhmu untuk tubuh lain, jatuh dan bangun lagi, dan akhirnya kau tiba di ruang tengah, dan akhirnya kau melihatku dan berteriak. Aku tetap diam dan tak tahu tangisan alamiahmu. Yang aku tahu adalah bahwa kita akhirnya bersatu, bahwa kau adalah pangeran yang bersemangat dan aku adalah putri tanpa belas kasihan. 
 
-- 
 
*) Conga: Tarian asal Amerika Latin yang awalnya dilakukan sebagai bagian dari perayaan suatu karnaval.

Walau saya tak terlalu paham apa maksud dari cerpen ini, saya entah kenapa sangat suka monolog seorang wanita yang sepanjang cerita hanya menyiksa seorang pemain sepak bola Spanyol dan akhirnya membunuh pria itu.

0 Comments