Kombinasi Rasa pada Malam Tahun Baru

Selamat tahun baru!
 
 

 
Tulisan berikut ini adalah salah satu potongan cerita yang terhimpun dalam buku digital Fragmen Penghancur Diri Sendiri dan sekarang saya coba modifikasi sedikit demi menyesuaikan momen malam tahun baru, sebab saya belum sanggup bikin kaleidoskop 2021. Apalagi mengenang segala hal yang terjadi dalam setahun ini rasanya teramat pahit. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menulis cerita lantaran mendadak terkena sindrom Bartleby (baru dugaan awal, sih). Yang jelas, saya akhir-akhir ini semakin sepakat dengan ujaran BolaƱo, Borges, atau siapalah penulis lain yang menggaungkan gagasan “Saya lebih senang membaca ketimbang menulis.” Ini benar-benar terbukti karena lebih dari 50% tulisan blog saya sepanjang 2021 merupakan draf 2017-2020 dan sebagian lainnya hasil menerjemahkan tulisan orang lain.
 
--
 
“Nodus Tollens, Liberosis, dan Altschmerz. Yang kurasakan saat ini seperti kombinasi dari ketiganya, Dam,” ujar Eva kepada Irdam via telepon.
 
“Kau merasakannya sejak kapan?”
 
Irdam mulanya sempat menanggapi pertanyaan Eva tentang perasaan campur aduk sekaligus kacau balau di dalam diri yang sulit untuk dimengerti dengan jawaban asal-asalan, lalu kini Irdam merasa menyesal akan perbuatannya setelah Eva tiba-tiba merajuk dan menutup teleponnya. Irdam berusaha meminta maaf dengan mengirimkan pesan maupun gantian menelepon, tapi tak ada respons sama sekali. Ketika Irdam menemukan suatu artikel di internet yang membahas beberapa istilah mengenai perasaan ganjil dan sejenisnya, lantas mengirimkan tautan itu, serta mulai memosisikan diri sebagai penyimak yang baik, barulah Eva kembali menelepon kawan baiknya itu dan membahas perasaan yang tengah dia maksud.
 
“Kalau enggak salah saat malam tahun baru,” kata Eva.
 
“Berarti selama tiga minggu ini kau dirundung perasaan kacau itu?”
 
“Kadang-kadang hilang, sih. Aku enggak begitu ingat munculnya kapan. Paling parah sewaktu ta­hun baru. Aku memikirkan banyak hal dalam hi­dupku pada malam pergantian tahun itu. Nah, aku baru merasakannya lagi tadi dan langsung meneleponmu, Dam.”
 
“Kayaknya itu wajar deh, Va. Memasuki pergan­tian tahun kebanyakan orang pasti mau mengevaluasi dirinya sendiri. Ingin berusaha menjadi lebih baik buat tahun depan.”
 
“Kalau itu wajar, terus kenapa tadi saat kutanya kau malah bilang belum pernah? Mana kau juga jawabnya bodo amat gitu.”
 
“Aku bilang ‘kayaknya belum pernah’ ke­pada­mu,” ujar Irdam, yang setelahnya berusaha meminta maaf lagi.
 
Eva protes dan berusaha menyudutkan Irdam. Irdam kembali menegaskan kata kayaknya agar dia mengerti bahwa dirinya benar-benar lupa dan tidak yakin ketika menjawab demikian.
 
“Ya udah, lupakan soal kayaknya,” kata Eva. “Aku cuma enggak ngerti, kenapa kau bisa lupa sama pera­saan serumit itu.”
 
“Aku udah lama enggak merasakan yang sema­cam itu, Va.”
 
“Emang waktu malam tahun baru kau enggak me­renung dan evaluasi diri, Dam?”
 
“Aku aja tidur dari jam sembilan.”
 
Eva tertawa sambil mengolok-olok Irdam bagaikan anak TK yang jam segitu sudah nyenyak. Katanya, tumben tukang begadang bisa tidur secepat itu. Dia lan­tas berpendapat, masih mendinglah tidur daripada menyalakan petasan alias bakar-bakar duit. Eva me­ngeluhkan perayaan tahun baru yang lebay seperti itu. Tahun sudah mau berganti, tapi bagaimana kalau tidak ada yang berubah di dalam diri? Semestinya malam ta­hun baru bisa untuk berkontemplasi, menyiapkan re­so­lusi, atau mengumpulkan semangat demi mewujudkan visi dan misi.
 
“Setiap orang bebas dan punya hak masing-masing buat merayakan tahun baru, Va. Mau main kembang api, silakan. Merenung, ya terserah. Tidur juga boleh.”
 
“Di usia kita yang sudah 25 tahun lebih ini, apa­kah wajar buang-buang duit segampang itu, Dam? Banyak loh orang-orang yang habis berjuta-juta buat beli petasan pada malam tahun baru. Mending uangnya ditabung atau pakai buat keperluan lain, kan?”
 
Irdam diam saja. Tidak berusaha membantah maupun menyetujui. Dia beberapa tahun lalu juga pernah berpikiran hal yang sama. Irdam mengira tahun baru itu memang tidak perlu dirayakan. Barangkali dia memang benci dengan perayaan. Sama bencinya dengan perayaan ulang ta­hun atau pengulangan hari jadi bersama kekasih.
 
Tapi saat tanggal 31 Desember dan menunggu menit-menit pergantian tanggal menjadi 1 Januari itu tiba, anehnya tetap saja ada sedikit kebahagiaan yang Irdam rasakan sewaktu melihat wajah-wajah gembira orang lain. Begitu juga saat teman dan kekasih meng­ucapkan happy birthday, memberikan kue atau kado ulang tahun kepadanya. Irdam jelas merasakan kegembiraan-kegembiraan kecil itu. Mungkin yang awal­nya dia merasa benci dengan perayaan itu keliru. Te­pat­nya, dia cuma kurang suka dengan perayaan besar-besaran yang terasa mubazir. Namun, standar setiap orang soal mubazir itu tentu saja berbeda-beda. Tak ada kebenaran absolut akan hal itu, dan jika ingin memperdebatkannya jelas hanya menguras energi.
 
Irdam kini tidak mau menghina keyakinan atau kesenangan mereka dengan mengatakan hal itu salah. Seperti beli petasan itu cuma buang-buang uang dan pemborosan. Apalagi ada yang mengatakan bahwa meniup terompet itu budaya orang kafir. Bukankah saat kia­mat nanti Israfil juga punya tugas meniup terompet? Apa jangan-jangan dia akan dianggap kafir juga?
 
Irdam berpikir kita semua punya cara masing-masing untuk menyambut sesuatu hal. Sebagaimana sebagian orang Islam yang merayakan maulid, ada juga go­longan Islam lain yang tidak. Terus, manakah yang benar? Irdam sendiri tak tahu jawabannya. Mungkin jika dia coba bertanya kepada ustaz yang bijak, sang ustaz akan bilang: Keduanya sama-sama benar. Ikuti saja yang sesuai nu­ranimu.
 
Tapi terlepas dari hal itu, Irdam pun semakin bi­ngung, kira-kira ustaz mana yang masih amanah dan bisa menjawab kalem saat disodorkan pertanyaan-per­tanyaan semacam itu? Mengingat belakangan ini ba­nyak ceramah yang disertai ujaran kebencian. Mereka merasa paling benar dalam beragama maupun ber­ibadah, serta gampang memberi label kafir kepada se­samanya. Yang paling buruk: menyelundupkan kam­panye politik di khotbahnya.
 
Sial, kenapa aku jadi melantur begini? Lebih baik aku melupakan persoalan itu dan kembali memikirkan perasaan ganjil saat perayaan tahun baru.
 
Jika Eva menganggap perayaan tahun baru seba­gai malam pembakaran uang, Irdam malah sadar bahwa dirinyalah yang kurang tajir. Makanya selalu berpikir lebih baik uangnya dipakai untuk keperluan lain. La­gian, dia sesungguhnya selalu merasa nyaman saat memperhatikan para bocah yang he­boh sendiri melihat ledakan warna-warni di langit. Berhubung Irdam sendiri sudah lupa dengan ke­nangan masa kecilnya, entah kenapa dia seolah-olah se­dang me­nyaksi­kan dirinya sendiri pada masa kanak-kanak yang juga seperti itu. Ada binar di mata mereka saat melihat petasan. Dia tidak akan pernah tega merampas kebahagiaan mereka. 
 
“Kok diam?” tanya Eva yang seketika itu langsung membuyarkan la­mu­nan Irdam.
 
“Aku tiba-tiba memikirkan tentang istilah-istilah itu, Va,” Irdam sengaja berbohong terkait perenungannya barusan.
 
“Tadi katanya enggak peduli? Bodo amat? Kok sekarang jadi mikirin gitu?” Eva tertawa dengan nada meledek. “Me­mangnya kombinasi apa yang pernah kaurasakan, Dam?”
 
Celaka, pertanyaannya sulit. Seharusnya Irdam tadi tidak perlu berdusta. Tapi jagung telah menjadi pop corn dan meletup-letup. Irdam hanya perlu menjawab jujur kali ini. Dia pun mulai membuka lemari arsip di da­lam kepalanya satu per satu.
 
Dua tahun silam pada malam perayaan tahun baru, terkadang pada malam-malam lainnya, Irdam juga per­nah beberapa kali merasakan kombinasi rasa semacam itu. Mu­lanya dia mengantuk, lalu merebahkan diri, tapi entah kenapa tak kunjung tidur. Pikiran-pikiran di ke­palanya seakan-akan tidak ada lelahnya untuk terus-te­rusan bekerja. Alhasil, muncul rasa aneh dalam men­jalani kehidupan ini. Lalu datang juga suatu pertanyaan, apakah pola tidur yang kacau begini dapat merembet ke hal lain dan membuat semuanya berantakan?
 
Irdam tidak ingin menghiraukan permasa­lahan ti­dur, karier, asmara, dan sebagainya. Namun tanpa dia sadari, Irdam tetap saja sangat peduli de­ngannya. Mau bagai­mana lagi, itu kan hidupnya. Lama-lama dia pun jadi cemas dengan kehi­dupan itu sendiri. Sudah berulang kali dia mem­per­baiki diri dan gaya hidup, tapi ujung-ujungnya tetap membawanya pada hidup yang stagnan, atau justru se­makin membosan­kan.
 
Itu semua merupakan gabungan dari Rubatosis, Nodus Tollens, Liberosis, dan Altschmerz. 
 
--
 
Gambar dicomot dari Pixabay.

4 Comments

  1. tiap tahun baru adalah kecemasan baru
    aku juga sering gitu maunya bobo manja eh malah kepikiran kok cepet banget si ganti taun
    walhasil ga tidur sampe subuh bukan untuk merayakan tapi karena penuh pikiran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suram banget memang pikiran yang terus-terusan bekerja dan menolak tidur.

      Delete
  2. Yg dirasain Irdam, kayaknya aku banget. Di satu sisi aku suka loh ngeliat petasan kembang api pas perayaan. Rasanya seneng kok ngeliat petasan warna warni di udara. Tapi kalo ditanya secara pribadi, bakal mau ga ngeluarin duit banyak hanya utk perasan TD? Jawabnya ga Sudi šŸ¤£šŸ¤£. Mending uangnya buat traveling.

    Prioritas orang beda2 sih. Level mubazirnya juga beda. Buatku yg begitu mubazir, Krn prioritasku memang ga ke perayaan. Tapi sekedar menikmati buat hati seneng, ga ada salahnya. Yg penting bukan aku yg biayai šŸ˜„.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, selama menikmatinya tanpa perlu keluar duit mah oke aja. XD

      Lucunya, kebanyakan yang ngeluarin duit tuh takut megang petasan tembaknya. Jadi yang megang malah orang lain, biasanya yang enggak beli ataupun patungan. Saya ada satu teman yang begitu. Berani modal, tapi takut nyalain. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.