Ambivalensi

“Katakanlah, jika aku Israel, kau Palestina. Jika aku Amerika, kau seluruh dunia. Jika aku miskin, kau negara. Jika aku mati, kau kematian lainnya,” ujar Pelacur Melankolis pada lagunya yang berjudul 7 Hari Menuju Semesta.

--


I


Segelintir manusia mengirimkan isyarat
dan aku membaca tanda-tanda itu dengan
mengulurkan tangan, tapi kenapa
mereka justru menjatuhkanku
ke dalam jurang tanpa batas?

Tanpa batas bukan berarti tiada akhir,
puisi ini cuma bingung memoles diksi
yang tepat untuk mempercantik diri.

Aku tak pernah bisa menghitung
atau membuat estimasi, berapa
lama lagi diriku mencapai dasar.

Aku terombang-ambing dalam
ruang ketidakpastian. Barangkali
aku tak akan pernah tiba di titik itu,
sebab dasar membutuhkan sadar.

Sementara aku berada di antara
arus sadar dan tidak sadar, seperti
suatu hologram berwarna pudar
yang dikutuk agar tak bisa modar.




II

Di kegelapan itu muncul tanganmu
yang berusaha menarik, kemudian
mengangkatku dari jurang nista.
Kau pun membersihkan noda-noda
serta dosa-dosa di sekujur tubuhku
dengan daya pikat senyuman magismu.

Bermula dari ketakutan
lantas kini terjadi letupan
pada hati yang hampir mati.

Hati itu tampaknya ingin hidup kembali.
Ia menyerap energi-energi yang terpancar
dari proses fotosintesismu, setiap kali
aku mulai kehilangan tenaga dan ingin
pulang saja ke jurang laknat nan penat.

Namun, kala itulah aku mengerti
bahwa kita tak mampu mencipta
cinta dari sosok yang tak memiliki
entitas, atau seseorang yang masa
lalunya masih belum tuntas.

Lagi pula, puisi ini terlalu payah dalam
mencari satu kata yang sanggup
menggambarkan suatu kondisi dari
hubungan kita yang terlalu absurd.

Sebelum kita memutuskan berpisah,
aku maupun kau sama-sama ingin
bertanya kepada puisi tolol ini:

“Kita yang membenci kata,
atau kata yang membenci kita?”

/2021

Sumber gambar: animeshinobi.com, itu merupakan potongan anime NHK ni Youkosou.

0 Comments