Terkurung: Merintih atau Berlatih?

Menengok sembilan bulan ke belakang, persisnya saat pandemi di Indonesia bermula dan pemerintah pun mengimbau para masyarakat untuk tetap berada di rumah saja, kebanyakan orang mulai mempelajari hal-hal baru atau mengembangkan kemampuan mereka demi bisa mengusir kebosanan selama terkurung di rumah. Namun, saya seolah-olah tidak menjadi bagian dari golongan manusia yang mencoba produktif itu, melainkan cuma bermalas-malasan.
 
Ketika orang-orang menyibukkan diri dengan belajar bahasa asing, memasak, memainkan alat musik, bahasa pemrograman (coding), bahkan berkebun, sementara saya justru banyak menyia-nyiakan waktu. Pada enam bulan pertama masa pagebluk, saya lebih sering bersedih dan cemas dalam menjalani hidup. Sekalinya mental perlahan membaik, saya lebih senang leyeh-leyeh dengan membuka Youtube, menonton anime, atau bermain gim. Sedikit hal berguna yang mungkin bisa saya lakukan paling-paling sebatas menerbitkan tulisan di blog dan membaca buku.
 
Saya tak tahu kenapa rasa inferioritas ini kerap muncul di dalam diri. Tak bisakah saya mencoba menghargai usaha diri sendiri yang telah bertahan hidup sampai sejauh ini? Jadilah saya mencoba melihat diri sendiri dengan cermin yang lebih jernih, agar bisa menemukan sisi positifnya. Setelah mencoba mengingat-ingat, membuka buku jurnal, dan merenung, saya akhirnya berhasil menemukan hal-hal yang saya coba kembangkan—baik secara sadar, setengah sadar, ataupun tak sadar—untuk memperbaiki diri. Terlepas orang lain bakal percaya atau tidak, inilah daftar kecakapan yang saya coba kembangkan pada diri saya. Bukti bahwa saat terkurung saya tak hanya merintih, tapi juga berusaha berlatih.
 
 
Memasak
 
Jauh sebelum saya berusia 17 tahun, saya berpikir memasak adalah tugas seorang perempuan. Pemikiran itu akhirnya bergeser ketika saya kelas 3 SMK dan lagi di rumah sendirian karena ditinggal oleh orang tua dan adik yang pulang kampung. Uang yang orang tua saya berikan untuk hidup seminggu malah saya habiskan dalam tiga hari buat bermain warnet, sehingga pada hari keempat saya bingung harus memakan apa.
 
Di tengah kebingungan itu, syukurlah di rumah masih tersisa beras, telur, dan mi instan. Bisa dibilang saya cukup beruntung karena ibu saya sempat memarahi saya habis-habisan pada zaman kelas 1 SMP untuk belajar memasak nasi, menggoreng telur, sosis, nugget ayam—atau aneka makanan cepat saji lainnya, serta merebus mi instan.
 
Jika tak salah ingat, cerita belajar memasak ini bermula sewaktu saya lagi minta dibikinkan mi instan, sementara ibu saya kondisinya lagi repot mencuci pakaian. Saya lupa apa yang saya katakan saat itu hingga bikin beliau murka, tapi yang jelas ibu saya langsung mencerocos tentang banyak koki berjenis kelamin cowok. Intinya, sih, beliau menyuruh saya buat mencoba latihan memasak sendiri. Jangan manja. Jangan pernah mencari-cari alasan cowok enggak bisa memasak sebab bukan kodratnya di dapur.
 
Singkat cerita, ibu saya tetap membuatkan mi instan pada hari itu setelah puas merongseng. Saya baru memberanikan diri buat latihan memasak pada beberapa minggu kemudian. Percobaan pertama saya memasak mi instan: masih ada bagian mi yang kurang matang. Percobaaan berikutnya: mi terlalu lembek. Sampai belasan kali memasak barulah saya merasa bikinan sendiri enak juga.
 
Begitu pun dalam proses menggoreng sosis, nugget, dan sejenisnya. Butuh banyak kegagalan sebelum saya berhasil menggoreng dengan baik. Awal-awal menggoreng pasti sosisnya terlalu banyak minyak lantaran saya menceburkannya ketika minyak belum panas. Pernah juga bagian luarnya terlalu kering, sedangkan di dalamnya masih rada mentah, yang menandakan api kompornya terlalu besar. Kala menggoreng telur dadar maupun ceplok juga demikian. Sebelum mendapatkan hasil yang sesuai, saya kudu merasakan betapa hambarnya telur itu, keasinan, dan sedikit gosong. Memasak nasi juga tak jauh berbeda. Ada masanya saya bikin lembek seperti bubur, terlalu pera karena kekurangan air, dan tentu saja kecerobohan belum memencet tombolnya alias lupa dijetrekin.
 
Selepas lulus SMK dan bekerja, saya akhirnya mulai mahir dalam memasak makanan-makanan remeh itu. Nyaris tak pernah ada kesalahan lagi dalam memasak. Saya yang mulanya selalu takut saat menggoreng ayam hingga mundur-mundur, lama-lama bisa lebih berani. Tak khawatir bakal kecipratan minyak lagi. Saya juga mulai membantu ibu saya menyiapkan dagangan dengan bikin adonan tempe dan bakwan, kemudian menggorengnya dengan tingkat kematangan yang pas. Sedikit-sedikit saya juga berlatih bikin adonan donat. Tapi sayang, sampai hari ini saya masih terlalu payah untuk membentuknya. Sulit sekali mengolah adonan menjadi bentuk bola sebelum akhirnya dilubangi bagian tengahnya. Kata ibu saya, cara saya membentuknya dengan memutar-mutar adonan menggunakan telapak tangan itu keliru. Saya harus memakai jari. Apesnya, hasil belajar saya tetap tak membaik. Jadi, daripada kelamaan dan adonan keburu mengembang, mendingan saya menyerah. Menyerahkan tugas itu kepada ayah atau ibu saya aja. Biarlah tugas saya di bagian menggorengnya.
 
Terlepas dari kemampuan memasak yang amatir itu, saya entah kenapa terlalu nyaman dan tak pernah lagi belajar memasak dengan menu baru. Apalagi sejak menghasilkan uang sendiri, saya pikir tinggal beli saja makanan yang sesuai selera. Tak usah repot-repot memasak. Hingga tibalah waktu di mana saya berhenti dari pekerjaan, cuma berstatus pekerja serabutan, kondisi finansial sangat pas-pasan, dan terlebih lagi wabah Corona muncul. Di situasi yang memble begini, keseringan jajan di luar adalah tindakan yang kurang bijak. Oleh karena itulah, saya jadi iseng lagi membaca resep-resep makanan praktis di internet.
 
 

 
Dari berbagai resep makanan yang saya coba praktikkan, baru satu inilah yang terbilang berhasil saya buat dengan rasa enak. Iya, saya tahu itu cuma telur cah tomat, tapi tolong jangan ditertawakan. Bagi saya enggak semudah itu bikinnya, sih. Saya perlu bikin telur orak-arik terlebih dahulu, setelahnya baru memasukkan setengah sampai segelas air, kemudian 1-2 buah tomat yang telah dipotong-potong, lalu garam dan gula sesuai takaran hati (maksud saya, dikira-kira aja pakai perasaan karena malas menggunakan kata ‘secukupnya’), dan aduk-aduk hingga merata. Terakhir, saya menekan buah tomatnya sampai hancur menggunakan sodet hingga kuah berwarna kemerahan.
 
Entah kalau makanan itu dicicipi oleh orang lain bakal terasa enak atau tidak, yang saya tahu, sih, selama masih cocok di lidah sendiri itu berarti sudah menjadi awal yang bagus dalam belajar memasak.
 
 
Menggambar digital
 
Melihat beberapa kawan memamerkan hasil gambaran mereka (baik itu menggambar secara manual maupun digital) di media sosial, otomatis menggoda saya untuk ikutan berkreasi. Saya pun iseng bertanya kepada mereka, menggambarnya pakai aplikasi apa, lalu memperoleh jawaban: IbisPaint dan Autodesk SketchBook.
 
Pendek cerita, saya sudah mengunduh dan mencoba keduanya. Sayangnya, IbisPaint iklannya terasa cukup mengganggu dan aplikasi itu pun saya hapus tak sampai sehari, sedangkan Autodesk agak berat buat ponsel saya yang RAM-nya hanya 2 GB. Saya katakan berat karena terkadang aplikasinya tiba-tiba tertutup sendiri. Meski begitu, saya mencoba mempertahankannya lebih lama (sekitar tiga hari) dan berhasil membuat gambar-gambar berikut.
 




Terus terang saja, dalam menggambar digital saya baru bisa menjiplak alias tracing. Masih belum berani bikin karakter sendiri lantaran tak kunjung ketemu gaya menggambarnya. Saya enggak bermaksud merendahkan diri sendiri, tapi selalu sadar kalau diri ini mulai mencicipi desain dan menggambar digital sejak 2015. Dalam waktu lima tahunan itu, tak ada progres yang terasa signifikan.
 
Selama ini saya sengaja mengosongkan wajahnya karena belum mampu menggambar dengan benar, dan setiap kali mencoba hasilnya kerap aneh. Saya tak berani merusak ciptaan Tuhan dengan gambaran ampas saya. Saya juga masih tak paham dengan shading dan blending. Saya pun kerap bingung dalam menentukan warna. Ejekan terhadap diri sendiri ini sebenarnya bisa terus berlanjut, tapi saya kira itu sudah cukup sebagai contoh.
 
Sementara ini menggambar hanyalah bentuk pelarian, ketika saya lagi jenuh sama aktivitas membaca dan menulis. Saya tak peduli apakah gambar saya jelek atau bagus di mata orang, sebab yang terpenting bisa mengusir rasa jenuh sekaligus menyuguhkan kegembiraan bagi diri sendiri. Berhubung saya juga belum memiliki keinginan buat mengomersialkannya, saya tentu bisa menggambar dengan santai, tak perlu merasa terbebani apa pun.
 
Sialnya, saya segera menyadari bahwa tak akan pernah berkembang jika terus-menerus takut menggambar wajah. Jadilah saya mencoba latihan menggambar wajah karakter anime sebagai latihan awal. Saya pikir, tak ada salahnya meniru karakter yang sudah ada sebagai metode latihan, lalu memodifikasinya sesuka hati. Selama bukan untuk kepentingan komersial, saya kira sah-sah aja.
 
 




Begitu saya melihat hasilnya, ternyata tak terlalu buruk untuk seorang pemula. Mungkin ke depannya saya bisa menantang diri lagi biar bisa menciptakan karakter sendiri. Syukur-syukur dengan latihan itu saya juga bisa berhasil menemukan gaya menggambar yang sreg.
 
 
Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris
 
Jika saya tadi sempat bilang bahwa kerjaannya cuma leyeh-leyeh menghabiskan waktu dengan menonton Youtube atau anime, sebetulnya secara tak langsung saya sedang melatih kemampuan bahasa Inggris. Tanpa perlu membohongi diri, sampai hari ini saya jelas lebih suka menonton video atau film luar negeri dengan subtitle bahasa Indonesia. Masalahnya, ada beberapa anime yang tak tersedia terjemahan bahasa Indonesia-nya. Saya mau tak mau jadi terpaksa menonton yang versi bahasa Inggris. Lucunya, dari keterpaksaan itu malah muncul hasrat untuk belajar mencerna kata-kata asing. Oleh karena itu, saya terkadang menonton yang subtitle-nya Inggris sekalian belajar. Lagi pula, saya jadi sadar kalau diri ini enggak bego-bego amat. Seandainya ada kosakata yang belum saya ketahui, rupanya dengan melihat gambarnya dan memperhatikan konteks cerita bisa bikin saya menebak-nebak apa arti dari kata tersebut, dan biasanya tebakan saya tepat. Andaikan salah pun, pada akhirnya saya jadi mengecek kamus dan mempelajari kata baru.
 
Begitu pula dengan bermain gim. Saat saya memainkan gim online yang berjenis MMORPG (massively multiplayer online role player game), terutama gim Penyelamat Jiwa yang pernah saya ceritakan, saya jarang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan di sana. Alasan awalnya: saya malas bertemu pemain dari negara sendiri yang bermental pengemis atau berpura-pura miskin dengan meminta uang atau memohon supaya dibantu naik level. Tanpa sadar saya justru keterusan menggunakannya biarpun lagi mengobrol bersama orang Indonesia yang levelnya setingkat dan sudah berkawan baik di gim.
 
Walaupun saya tahu kemampuan berbahasa Inggris ini sangat amburadul, setidaknya saya bisa lebih percaya diri dan tak usah memusingkan grammar lagi di sana. Tak akan ada yang mengejek “Ah, sok Inggris lu!”, karena mereka juga paham bahwa bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu. Kami sama-sama belajar. Yang terpenting lawan bicara dapat memahami maksud perkataan saya. Toh, beberapa kawan saya juga mayoritas ialah orang Singapura, Thailand, dan Vietnam. Tak mungkin saya membatasi diri cuma berteman dengan pemain asal Indonesia, kan?
 
 
Menerjemahkan atau menyadur tulisan
 
Lanjutan dari belajar bahasa Inggris pada poin sebelumnya, dalam tiga tahun terakhir ini saya juga berusaha membaca buku-buku, khususnya fiksi, berbahasa Inggris. Berawal dari rasa jengkel dan ingin protes (kenapa buku-buku yang bisa diakses secara gratis dan legal itu kebanyakan berbahasa Inggris?), saya pun mulai mengakrabkan diri dengan bahasa itu demi bisa berhemat dan tetap membaca buku.
 
Sebelum iPusnas hadir sebagai oase, para pencinta buku gratisan seperti saya kudu meminjam atau mengunduh buku di Open Library, Gutenberg, Many Books, dan sejenisnya. Tapi adakalanya saya capek serta kepala mumet sewaktu mengonsumsi bacaan berbahasa asing, sehingga mencoba cara alternatif dengan membaca tulisan-tulisan hasil terjemahan yang beredar di internet. Kala itulah rasa kecewa dalam diri muncul lantaran menemukan beberapa tulisan yang saat dibaca terasa sangat kaku dan ketahuan hasil Google Translate tanpa perbaikan atau penyesuaian.
 
Motivasi untuk belajar bahasa Inggris di dalam diri ini akhirnya muncul lagi, bahkan terdapat sedikit keinginan buat menerjemahkannya atau menyadur atau mengisahkan ulang dengan versi sendiri agar memudahkan orang lain yang juga membutuhkan bacaan sebagaimana saya saat itu.
 
Meskipun kemampuan saya masih payah sekaligus minder dengan hasil terjemahan yang jauh dari kata bagus, dan lebih sering menyimpannya untuk konsumsi pribadi, saya kemudian berusaha menampilkannya di blog beberapa kali sebagai ajang latihan. Saya pikir, daripada memendamnya sendirian dan saya tak tahu di mana letak kesalahannya, lebih baik tampilkan aja di blog. Dengan begitu, saya bisa berbagi referensi bacaan sekalian berharap ada pembaca yang berkenan mengoreksi terjemahan saya.
 
Dari komentar-komentar yang masuk pun terbukti ada yang berbaik hati menjelaskan kekeliruannya serta memberikan saran seputar terjemahan. Itu bikin saya ingin terus mengasah kemampuan mengalihbahasakan tulisan. Dengan niat baik berbagi bacaan dengan menerjemahkan cerita seperti itu, siapa sangka bisa menjadi tempat bertukar referensi dengan pembaca lain. Selain itu, perihal menerjemahkan ini rupanya juga bikin saya sadar bahwa perbendaharaan kata saya dalam bahasa Indonesia masih termasuk payah. Saya belum sebagus itu menggunakan bahasa sendiri dalam bercerita. Maka, dengan ini saya akan semakin giat berlatih lagi dalam mempelajari bahasa Indonesia supaya hasil terjemahan saya semakin apik.
 
 
Memasarkan produk sendiri
 
Saya sejujurnya masih tak menyangka blog ini telah dipercaya berulang kali oleh klien sebagai wadah memasarkan produk mereka. Gimana mengatakannya, ya? Saya ini termasuk seorang pemasar yang belum memenuhi standar. Saya sempat kuliah Ekonomi dan mengambil Jurusan Manajemen Pemasaran, tapi tak banyak mengingat hal-hal yang telah saya pelajari. Saya juga belum pernah bekerja sebagai seorang pemasar. Namun, mengapa ada klien yang memercayakan produknya untuk dipromosikan di blog ini? Apakah karena statistik blog ini terhitung bagus? Apakah kualitas tulisan di sini patut diperhitungkan? Apakah cara saya mengiklan sudah cukup ciamik? 
 
Saya tak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, melainkan malah ingin bertanya kepada diri sendiri begini: Kenapa kamu berani memasarkan produk orang lain, tapi kerap takut buat memasarkan produk sendiri?
 
Bagi yang belum tahu, saya telah membuat beberapa produk tulisan berbentuk buku digital di halaman Produk Semenjana. Itu adalah halaman tempat saya memajang karya yang terhimpun dan telah melewati proses seleksi oleh diri sendiri. Kalau kamu membuka blog ini via laptop, di sebelah kanan tulisan juga ada widget yang menampilkan produk saya. Sialnya, baru sebatas itu saja cara saya dalam memasarkan produk sendiri.
 
 

 
Saya suka malu ataupun minder untuk mempromosikan produk sendiri. Sekalipun saya sudah sering mendengar nasihat bahwa penulis juga harus belajar memasarkan bukunya, saya entah kenapa tak bisa menerapkannya begitu saja. Saya ternyata tak sepercaya diri itu sebagai seorang penulis. Berbeda sekali dengan beberapa orang yang saya ketahui. Tanpa perlu menyebut namanya (lagi pula dia bukanlah kalangan bloger), saya pernah punya kenalan seseorang yang memasarkan buku puisinya yang diterbitkan secara indie di Instagram. Di caption itu dia mengajak orang-orang untuk membeli bukunya. 
 
Kala saya membaca cuplikan puisinya, saya spontan tertawa karena merasa itu jelek banget. Walaupun saya paham bahwa puisi itu memiliki bentuk dan nilai yang berbeda ketimbang prosa, serta setiap orang punya tafsirnya sendiri, tapi saya jelas tahu ukuran jelek dan bagus setelah membaca aneka sajak.
 
Dari segi kemampuan berbahasa Indonesia yang dia tampilkan di buku itu, seumpama ada editor yang melihatnya, saya kira sang editor bakal mencak-mencak. Anehnya, kenapa dia bisa berani dan percaya diri banget? Lebih-lebih sampai punya keberanian untuk mencetak naskahnya menjadi buku? Sementara saya, kerap takut membuat pohon-pohon yang ditebang dan kemudian menjadi kertas, lalu kertasnya itu justru berisikan tulisan yang tak penting.
 
Saya pun akhirnya bikin konklusi begini: Ada perbedaan besar antara berhasil bikin buku sendiri dengan bikin buku bagus. Semua orang kini bisa menerbitkan bukunya sendiri selama punya uang di beberapa penerbitan indie. Bedanya menerbitkan buku sendiri dengan terbit di penerbit mayor atau indie khusus yang menyeleksi naskah para penulis, mereka jelas ada banyak pertimbangan. Apakah buku yang mau diterbitkan itu sudah sesuai dengan target pasarnya (buat remaja sampai dewasa muda, misalnya), kualitas tulisannya mencapai standar minimal, serta ada peluang laku di pasaran.
 
Saat ini, saya cukup sadar diri kalau belum mencapai tahap itu. Pembaca tulisan saya belum luas. Yang berminat membelinya saya yakin tak lebih dari seratus orang, bahkan sepertinya kurang dari itu. Saya juga menyuntingnya sendiri, yang mana berarti ukuran layaknya jelas tidak objektif. Naskah itu belum ditangani oleh editor yang lebih kompeten. Tapi yang tidak bisa saya pahami, kenapa kenalan saya itu (yang sepertinya lebih sedikit pembacanya dan kualitasnya teramat buruk) benar-benar punya keberanian untuk mencetak bukunya?
 
Aduh, kenapa saya tiba-tiba gibah, ya? Baiklah, lupakan orang itu, lalu fokuslah pada masalah diri sendiri.
 
Sebelum mencari solusi atas masalah ini, saya ingin memberi tahu bahwa pada malam tahun baru kemarin saya merilis dua buku digital (satunya saya bagikan gratis kepada pembaca blog ini, satunya lagi saya berikan harga—meski bisa juga didapatkan dengan cara lain tanpa perlu membayar) di halaman produk yang saya maksud tadi. Entah saya terlalu malas atau rasa inferior ini masih menyelimuti diri, sehingga saya belum berani mempromosikannya, yang jelas saya kian sadar untuk segera memasarkan produk sendiri supaya orang-orang lekas mengetahuinya.
 
Saya semestinya bisa lebih menghargai diri sendiri yang sudah menulis sekaligus menyunting sebaik-baiknya dengan berhenti bersikap rendah diri. Tapi, saya sendiri bingung, kenapa rasa bedebah ini tak kunjung lenyap. Saya tak bermaksud merendah untuk meroket. Sama sekali tidak. Saya benar-benar merasa masih seorang pecundang di hutan belantara kepenulisan ini. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari.
 
Sebetulnya, sehabis menuliskan kalimat barusan yang seakan-akan mengejek diri sendiri, saya semakin sadar kalau rasa rendah diri ini bisa saya alihkan dengan pikiran semacam ini: Saat saya merasa karya saya belum sebagus itu, saya bisa terus belajar mengasah kemampuan dan memperbaikinya di tulisan berikutnya. Dengan kata lain: saya bisa terus belajar, selalu merasa lapar akan ilmu, dan tak pernah merasa cukup. Bodohnya, itu bukan berarti saya lupa untuk memasarkan produk yang telah saya buat semaksimal mungkin.
 
Roberto Bolano, dalam salah satu esainya yang terhimpun di buku Between Parentheses, pernah bilang begini: “Pengecut tidak menerbitkan pemberani”. Jadi, selepas tulisan ini terbit, saya sedikit-sedikit akan mencoba membuang sisi pengecut itu. Saya akan memberanikan diri untuk memasarkan produk yang saya telah saya bikin sepenuh hati itu, bukan malah menelantarkannya. Jika sebagian orang sering menganalogikan sebuah buku atau karya tulis sebagai seorang anak, mungkin saya juga bisa menganggapnya demikian. Biar bagaimanapun ia telah lahir dari buah pikiran dan olah batin saya. Saya akan terus menyayanginya sekalipun terkadang benci juga. Tapi, sebagai orang tua yang baik, tak mungkin saya membiarkannya telantar, kan? 
 
--
 
Referensi gambar dari anime: Tamaki, Enen no Shouboutai; Charmy, Black Clover; Watashi dan Akashi, The Tatami Galaxy.

16 Comments

  1. layak juara nih, jujur kesan pertama pas buka post ini aku malah langsung terbawa buat komenin gambarnya hahahha

    gambar digitalnya bagus banget yoga...
    gw sampai ternganga sumpah deh

    soalnya selama ini cuma ngeliat yang ga pernah dipakein mata...e sekarang baru ngliat yang ada mata dan oerintilan lainnya lebih nampak gitu jadi dapat pandangan dari sisi gambar yang komplet

    apapun itu semoga saja apa yang sedang ditingkatkan saat ini sih prosesnya lancar jaya ya dan you bisa level up ke arah yang lebih baik lagi fan semoga bisa ngedapetin hadiah 1 jutanya xixixixiix


    gw uda mbatin...pasti dia ikutan di detik detik erakhir...semangat yogg...gw dukung luh hahahha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi gambaran saya masih menyontek gambar yang udah ada, Mbak. Belum sebaik Mbak Nita menggambarnya. Yang jelas sudah sering berkreasi sendiri. Lebih kawaii juga.

      Alhamdulillah, enggak menyangka bakal menang. Terima kasih ya. :D Anaknya memang suka banget dikejar-kejar deadline nih. Haha.

      Delete
  2. Gambarnya bagus bangeeettttt 🤩 btw aku auto install sketchbook huhu udah lama banget nggak coret-coret.

    Ini mah produktif banget mulai dari masak, gambar, sampe bisa bikin buku sendiri 👏 semoga aku bisa segera nyusul tahun ini hihu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah memuji bagus, Mbak. Semoga bisa semakin membaik ini gambarnya. :D

      Kalau tentang buku ini mungkin lebih cocok mengumpulkan naskah-naskah lawas. Saya termasuk kurang kerjaan, jadinya pengin coba sibuk. Haha.

      Aamiin, semoga lancar ya prosesnya, Mbak.

      Delete
  3. Selamat yaaa Yog, bisa menang juara 1 di lomba mba Eno. Dr awal baca tulisanmu, aku lgs suka :). Khas yoga banget, menyihir baca sampe habis :).

    Trus diminta 2 skill, kamu malah tulis lebih. Poin plus sih jadinya :). Tapi buatku, gaya penulisanmu yang kayak bercerita, bikin ga bosen untuk dibaca, sepanjang apapun tulisannya.

    :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya, Mbak Fanny. :D Baru tahu saya kalau Mbak Fanny dipilih sebagai juri bareng Mas Anton dan dua juri rahasia.

      Saya tadinya juga pengin mengikuti syarat, tapi enggak tau kenapa tertulis semua apa yang saya coba pelajari saat pandemi dan pengin terus mengembangkannya. Jadi, sayang aja gitu kalau yang lainnya dibuang. Enggak nyangka seandainya itu jadi poin plus, dan benar-benar menang. Alhamdulillah.

      Delete
  4. First of all, selamaaat Mas Yoga sudah memenangkan juara pertama untuk CR Challenge #1 :D jujur ini sepertinya pertama kali deh saya main ke sini *ke mana aja elu*, dan saya langsung suka dengan gaya menulisnya Mas Yoga (:

    Keren bangettt Mas Yoga bisa menggali potensi yang ada dalam diri selama pandemi ini. Mulai dari masak, menggambar sampai menerjemahkan bahasa 🙌 sebetulnya memang kadang kita tuh butuh dorongan dari dalam aja yaa, bukan dari luar. Buktinya hasilnya bisa sekeren ini. Btw, tomat telur itu favorit saya banget di kala nggak tahu masak apa. Kesukaan suami dan anak (: sedikit tipss, Mas hahahaha mungkin next time telur dan tomatnya dimasak terpisah deh. Untuk tomatnya bisa ditambahkan saos tomat biar makin nendang dan gula, terus setelah rasanya oke baru gabungkan telur orak-ariknya. Metode ini saya belajar dari channel TheMEATMen di Youtube :D

    Tetap semangat menulis dan berbagi ya, Mas Yoga. Sukses selalu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Mbak Jane, salam kenal ya. Selamat datang di blog saya buat pertama kalinya. Mungkin karena beda lingkaran bloger kali, ya? Akhir-akhir ini saya juga jarang terlihat meninggalkan komentar di blog orang lain, sih. Haha. Terima kasih atas ucapannya, dan makasih pula sudah suka sama tulisan saya. Semoga enggak kapok berkunjung kemari.

      Iya, alhamdulillah akhirnya bisa cukup produktif. Saya mencoba sibuk dan mengalihkan energinya untuk hal yang lebih bermanfaat daripada sedih-sedihan terus.

      Wah, belum kepikiran nih kalau masaknya dipisah gitu. Yowes, nanti bakal saya coba kreasi lagi dan sekalian tonton rekomendasinya. Sekali lagi, makasih ya. Sukses juga untuk Mbak Jane.

      Delete
  5. Selamat mas, tulisannya menarik dan inspiratif. Semoga sukses dengan semua rencana pengembangan potensinya ya,mas.

    Saya dulu juga beranggapan, bahwa memasak adalah pekerjaan perempuan. Sampai akhirnya saya mencoba memasak sendiri. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa memasak bisa juga dilakukan laki-laki, kecuali saya. Sebab saya akhirnya cuma sukses memasak mie instan, dengan telur ceplok dan sosis. Sudah, cuma itu.

    Sekali lagi selamat mas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya, Mas Agung. Aamiin. Akan coba diupayakan semaksimal mungkin.

      Itu pun menurut saya sudah cukup baik, Mas. Cowok mau ke dapur. Mau mencoba memasak. Mungkin lain kali enggak ada salahnya coba-coba lagi. Siapa tahu bisa berkembang sedikit-sedikit, dan bisa memasak yang lain.

      Delete
  6. Soal masak mie instan kamu lebih jago dikit, hahaha. Soalnya saya dulu pertama kali masak mie instan itu direndam, pake air dingin hahahahaha. Saya masih ingat mie nya masih keras kriuk-kriuk gitu, hahaha. Moral of the story-nya adalah jangan sotoy, tetap baca petunjuk kalau belum mahir hahaha. Sampai sekarang saya masih mundur-mundur kalau menggoreng.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hah? Kok direndam air dingin? Ada-ada aja kamu, Sov. XD

      Hm, sebetulnya kita mundur-mundur karena apa, sih? Takut kena minyak panasnya aja, kan? Enggak tahu kenapa sekarang biasa aja. Apa karena saya udah terbiasa kecipratan minyak kali, ya? Meski tetap sakit, tapi lumayan tahan panas. Haha.

      Delete
  7. Positifnya pandemi ini adalah keluar nya bakat bakat yang gak pernah terpikirkan dari dulu, menjadikan kita sebagai manusia yang lebih produktif..

    Congrats ya kak, tulisannya keren
    Sedang saya nulis sekedar penghibur dikala gak ada kerjaan biar orang orang beranggapan saya bekerja atau sebagai tempat bagi saya buat menghabiskan waktu biar gak cuma nonton instagram atau buka aplikasi marketplace doang



    Minta di lukiskan boleh? Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, hal baiknya di situ. Orang-orang mulai mencari cara bagaimana tetap berkembang di situasi yang sulit.

      Terima kasih udah bilang keren. Apa pun alasan kamu menulis, siapa tahu ke depannya bisa lebih serius, Kak. Saya sebelum seserius ini (walau tetap berusaha bermain-main dan eksperimen), dulu juga cuma niatnya pengin curhat aja karena sulit menemukan teman yang bisa jadi pendengar. Siapa sangka malah jadi hobi yang sulit untuk ditinggalkan. Pengin terus berlatih.

      Yah, sayangnya saya masih belum berani menerima pesanan buat menggambar orang lain nih. Hehe. Maaf ya.

      Delete
  8. Halo mas Yoga salam kenal!

    Gambarnya bagus-bagus ih. Keren. Anime dan games emang sangat memengaruhi kamu dalam menggambar yak. Ketahuan banget dari bentuk gambarnya.

    Semangat ya untuk harapannya. Semoga terwujud dan terus berkembang kemampuannya, baik gambar, berbahasa Inggris, juga masak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Mbak Dini. Salam kenal juga!

      Terima kasih sudah memuji gambaran saya. Iya, terlihat jelas dari sana pengaruhnya.

      Aamiin. Semoga proses mengembangkan diri ataupun urusan-urusan Mbak Dini bisa lancar juga.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.