Ilham memungut selembar kertas yang telah diremas-remas sekaligus dibentuk bola di tempat sampah Kedai Roti Bakar 99—yang posisinya tak jauh dari tempatnya duduk. Seorang gadis berjilbab dan berkacamata yang tadi berada di meja sebelah baru saja membuangnya. Tentu Ilham tidak langsung mengambilnya. Dia menunggu gadis itu keluar kedai dan melihat situasi sekitar terlebih dahulu. Ketika kondisinya benar-benar mendukung, barulah dia memulai aksinya.
Sebenarnya Ilham bingung apa yang mendasarinya melakukan hal tersebut. Secara logika, dia bukanlah seorang pemulung dan untuk apa memungut sampah berbentuk selembar kertas? Biasanya yang dipungut dan dijual oleh para pemulung adalah sampah berjenis botol plastik. Namun, terlepas dari urusan pemulung yang jelas tidak ada sangkut pautnya ini, hatinya tadi seakan-akan tergerak atau terbit rasa penasaran sewaktu Ilham melihat cairan bening yang menetes dari mata gadis itu.
Ilham berusaha memulihkan bentuk kertas itu seperti semula. Saat dilihat sekilas, tulisannya masih dapat terbaca. Lalu, dia terkejut kala mendapati tulisan “Jurnal 16 Desember 2016” pada bagian pojok kanan atas. Ini berarti sudah empat tahun berlalu sejak teks itu dituliskan.
Hujan turun lagi malam ini sebagaimana malam kemarin. Bedanya, kini aku belum bisa tidur, sedangkan pada hari sebelumnya aku sudah terbaring nyenyak sejak pukul sembilan. Mengapa aku kini malah tidur tengkurap sambil memegang pulpen dan memandangi buku jurnal? Apakah aku mencoba menorehkan perasaanku saat mendengarkan musik yang kuputar di ponsel?
Aku mulai memejamkan mata dan terhanyut sama lagu yang tengah dimainkan: Beethoven – Ode to Joy. Tapi pada putaran selanjutnya, lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja dari Efek Rumah Kaca justru menghilangkan kantukku. Aku jadi membuka mata lagi, lalu merenungi perasaan cinta yang melekat dan menggebu-gebu ini.
“Ketika rindu menggebu-gebu, kita menunggu. Jatuh cinta itu biasa saja.”
Apakah aku sedang kangen seseorang?
Suara rintik hujan masih terdengar jelas walaupun aku sudah memasang earphone dengan volume yang lumayan kencang. Berbicara mengenai hujan, aku jadi teringat momen dua minggu silam sewaktu Julia, pacarku, mengambek karena aku telat menjemputnya. Aku saat itu rada kesal dengan dirinya yang tidak bisa mengerti keadaanku. Dia mengatakan aku orangnya tidak tepat waktu, padahal kenyataannya aku betul-betul berniat menjemputnya sehabis Magrib ketika dia meminta tolong sekaligus mengajakku makan malam.
Mana aku tahu kalau niat baikku itu tidak berjalan dengan lancar. Pertama, cuacanya sedang gerimis. Kedua, saat baru menyalakan motor, aku tersadar bahwa lampu depan motorku mati karena pecah oleh apalah itu, sehingga perlu ke bengkel terlebih dahulu untuk menggantinya demi keselamatanku ataupun orang lain. Begitu kukabari hal itu, dia lagi-lagi mengatakan aku hanya mencari-cari alasan.
“Kamu enggak usah mengarang cerita deh, Gas. Mending bilang aja sekarang kamu baru mau mandi. Iya, kan? Enggak apa-apa jemputnya rada telat, aku masih mau nunggu, kok. Tapi apa susahnya sih buat jujur?”
“Lah, aku kan memang lagi di bengkel. Buat apa coba aku bohong?”
“Kalau benar di bengkel, coba kamu kirim selfie.”
Aku memilih mendiamkan pesan itu. Kurang kerjaan amat memfoto diri sendiri demi membuktikan kebenarannya. Dia sepertinya bermaksud mengerjaiku karena dia tahu aku membenci hal narsis semacam itu. Dalam lima menit, masuk tiga pesan yang cuma berbentuk “Gas?”, “Sayang?”, “Kok enggak balas?”
Sekelarnya lampu dipasang dan sudah bersinar terang, aku lekas menuju ke Stasiun Manggarai, tempat pacarku menunggu. Ponselku bergetar saat masih di tengah jalan dan terdapat sebuah pesan darinya, “Aku pulang sendiri ajalah kalau kamu masih lama.” Aku pun hanya menanggapinya dengan tiga huruf: O, T, dan W.
Syukurlah, sesampainya aku di tempat tujuan, ternyata pacarku masih tetap menungguku di stasiun dan tidak memilih pulang sendirian naik ojek.
Curahan hati macam apa ini? pikir Ilham sembari tertawa, kemudian membalik kertas itu dan menerka-nerka bagaimana kelanjutan ceritanya.
Satu jam setelahnya kami berdua sudah berada di McDonalds kawasan Rawamangun. Kami berdua duduk berhadapan tanpa ada satu pun obrolan setelah tadi kuperlihatkan foto seorang montir sedang menangani motorku. Mungkin dia malu. Mungkin dia gengsi untuk meminta maaf. Kami pun sibuk dengan makanan dan pikiran masing-masing. Aku berhenti menguyah kentang goreng ketika dia tengah asyik menyendok es krim McFlurry. Aku memandangi wajahnya. Di area sekitar bibirnya terdapat noda-noda es krim. Aku tadinya ingin meledeknya bagaikan anak kecil yang makan es krim masih belepotan untuk memecah keheningan di antara kami. Anehnya, aku justru tersenyum, lalu muncul beberapa pertanyaan di kepalaku.
Kenapa perempuan di hadapanku ini sangat menarik di mataku? Dari sekian banyak perempuan manis yang kukenal di sekitarku, kenapa harus dia? Bukankah masih banyak yang lebih menarik, baik dalam segi penampilan ataupun pemikiran? Apa yang spesial dari dia, sih? Bukankah dia sebetulnya tidak masuk dalam kriteria ideal perempuan idamanku? Sedikit hal yang masuk ke dalam daftar sepertinya hanya karena dia memakai kacamata dan menyukai film Marvel. Dua itu saja.
Namun, dari semua pertanyaan itu, aku mulai memahami beberapa hal. Mungkin saja bagi dia aku bukanlah laki-laki yang baik. Penampilanku juga biasa saja. Karierku termasuk payah, bahkan pendidikan terakhirku masih pada tahap SMA, sebab ada berbagai alasan yang membuatku berhenti kuliah dan gagal sarjana. Lantas, kenapa dia mau sama aku? Kenapa dia bisa sayang sama aku? Dan yang lebih penting, kenapa dia percaya kalau cowok yang bernama Bagas Wibisono ini enggak akan menyakitinya, meninggalkannya, atau selingkuh dengan perempuan lain?
Oleh karena itu, aku pun tersadar bahwa kami berdua memang tidak sempurna, tapi kami berdua berusaha untuk saling mengerti dan menyayangi satu sama lain. Lalu untuk menutup tulisanku yang sok romantis ini, sepertinya lirik dari Efek Rumah Kaca ini sungguh cocok: “Kita berdua tak hanya menjalani cinta, tapi menghidupi.”
Tawa Ilham meletus seketika. Norak banget, ya Allah, pikirnya. Ilham menebak jurnal itu ditulis pada awal-awal mereka berpacaran. Usia hubungan mereka saat itu paling-paling masih di bawah enam bulan. Tapi, kenapa sang gadis berjilbab dan berkacamata yang belakangan diketahui bernama Julia itu tadi menangis? Apakah mereka kini sudah putus? Terasa lucu bagi Ilham kalau ada seseorang yang menangis cuma karena membaca kenangan lawas. Apalagi waktunya sudah jauh berlalu semenjak momen itu tercipta.
Meski begitu, rasa penasaran Ilham mendadak bertambah hingga dia spontan mengetikkan nama “Bagas Wibisono” di kolom pencarian Google maupun segala media sosial. Ada banyak sekali manusia yang memiliki nama itu. Kala itulah Ilham mulai tersadar bahwa dirinya sungguh kurang kerjaan. Ilham tak ingin repot-repot mengurusi hubungan orang lain yang sama sekali tidak dia kenalnya, sehingga langsung menghentikan tindakan bodohnya itu.
Sialnya, kini tanpa sadar Ilham mulai terpicu oleh memori tentang hubungan dia bersama mantan kekasihnya, yang bisa dibilang tak jauh berbeda dengan pasangan tersebut. Kurang lebih tiga tahunan silam, Ilham juga pernah melakukan hal yang mirip, bahkan mungkin terasa lebih menggelikan. Jadi, saat itu Ilham dan mantan pacarnya selalu bertukar buku jurnal saban sebulan sekali untuk dibaca masing-masing setiap kali mereka berjumpa. Terakhir yang Ilham ingat, bloknot miliknya masih dipegang oleh Rani setelah mereka memutuskan bubar. Ilham tak ingin memintanya balik sekalipun Rani sempat menawarkan diri buat mengembalikannya, baik itu secara langsung maupun menggunakan jasa kurir. Jika Ilham bersikap demikian dan seolah-olah tampak cuek, Rani justru memohon-mohon agar buku jurnal miliknya segera dikembalikan.
Ilham pun mendadak penasaran. Apa saja yang pernah dia torehkan dulu saat membicarakan relasi bersama kekasihnya itu? Dari sekian banyak catatan yang pernah Ilham tulis di bloknotnya, dia akhirnya teringat bahwa ada satu catatan yang sempat dia ketik ulang di memo ponselnya karena merasa itulah satu-satunya kenangan konyol bercampur manis dan menggemaskan bersama Rani yang rasa-rasanya tak ingin dia lupakan begitu saja.
Ilham segera mengambil ponsel dari saku celana sebelah kiri, membuka layar yang terkunci dengan memasukkan angka 2511–yang mana merupakan tanggal jadian bersama Rani dulu dan belum dia ganti, membuka aplikasi memo dan mengetikkan kata kunci: Dia Manis Sekali Hari Itu, lalu mulai membacanya.
Malam Jumat kemarin, kami berdua—aku dan pacarku—sedang bingung mau kencan ke mana. Entah karena aku sedang tidak bisa berpikir dengan jernih, atau memang mencoba berhemat, maka tempat yang kami tuju berikutnya sebelum pulang adalah sebuah kafe di dekat rumahnya yang harganya masih terjangkau buatku.
Aku hanya memesan minum, hazzelnut plus Oreo, sedangkan dia seperti biasa minuman favoritnya: soda gembira. Dia juga menambahkan kentang dan sosis goreng agar ada makanan yang bisa dijadikan camilan. Aku sengaja tidak memesan makanan, sebab sebelumnya baru mengajaknya makan Indomie Abang Adek yang terkenal dengan pedasnya itu. Perutku sudah terisi penuh dan enggan buat memesan makanan lagi.
Sore tadi, dia seperti biasa memesan mi goreng telur kornet, sedangkan aku mi rebus telur rasa soto. Kami berdua memilih level yang sama: level 2 atau pedas, yang cabainya sebanyak 25 buah.
Sambil menunggu pesanan itu datang, kami kemudian mengobrol apa pun yang bisa dibahas secara ringan. Sepuluh menit kemudian, seorang laki-laki berkaos polo warna hitam garis-garis merah pun menghampiri kami dan meletakkan menu yang kami pesan.
Setelah semua pesanan itu tersaji di meja kami, aku segera meminum pesananku karena memang sudah kehausan. Namun, lidahku seperti mengecap rasa yang aneh sekali. Entah memang menu minuman di kafe ini enggak enak atau lidahku yang sulit mengecap lantaran mati rasa akibat terlalu pedas makan Indomie tadi? Hm, tapi apa iya bisa sampai sebegitunya?
Aku langsung menyimpulkan kalau rasa minumannya yang aneh. Oreonya pun kentara palsu. Itu bukan merek Oreo, melainkan Woriorio.
Saking enggak enaknya minuman yang kupesan ini, aku mengajak bertukar minuman dengannya. “Gimana, enak?” tanyaku. Dia menggeleng dan langsung menolak pertukaran itu begitu mencicipinya. Aku pun dengan terpaksa meminumnya lagi karena masih sangat haus.
“Ini rasa minuman udah kayak tanah yang ditaburin gula doang,” ujarku begitu kesal.
“Ih, parah kamu!” katanya sembari tertawa.
Setelahnya aku malah semakin menjadi-jadi. Aku dengan seenak jidat berteriak, “Oreo palsu. Oreo palsu.”
Dia menunduk dan menutup wajahnya. Dia tampaknya bingung harus merespons bagaimana akan kelakuan pacarnya. Dia mungkin juga ingin pura-pura enggak kenal sama seseorang di hadapannya, lalu pindah ke meja lain.
Aku kembali mengejek minuman tersebut.
“Heh, jangan begitu! Kalau enggak suka, ya taruh aja. Jangan diminum lagi, jangan dihina.”
Aku spontan tertawa. Aku memang paling malas kalau dikecewakan soal makanan maupun minuman. Apalagi harganya enggak sepadan dengan rasanya. Nah, dengan mencaci rasanya yang buruk itu, paling tidak dapat menghilangkan keburukan di hatiku saat ini.
Tak terasa waktu berputar cepat sekali. Terlalu banyak keluhan yang terlontar dari mulutku, dan jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 kurang 15. Aku mesti mengantarkannya sampai rumah sebelum pukul setengah sepuluh karena sudah berjanji kepada orang tuanya ketika pamitan tadi siang.
Saat kami ingin menyudahi obrolan dan sudah berniat pengin pulang, tiba-tiba kafe itu memutar lagu Yangleks. Yang mana membuat suasana hatiku kian memburuk. Secara tidak langsung, kafe itu memang berniat mengusir kami.
Aku sengaja tidak menghabiskan minumannya agar pelayan atau siapa pun yang membuat minuman itu sadar kalau menu yang kupesan sungguh busuk. Aku memberikan uang sejumlah harga minuman yang kupesan kepada pacarku, menyuruh dia saja yang ke kasir untuk membayar lantaran aku sudah muak. Sekembalinya dia dari kasir, dia tiba-tiba menyuruhku untuk tidak langsung beranjak dan tetap duduk. Dia sekonyong-konyong mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya. Dia memberikanku sebuah cokelat berbentuk hati.
Aku masih enggak mengerti kenapa dia memberikanku cokelat, padahal hari Valentine juga sudah lewat dua hari. Jadilah kutanyakan kepadanya, “Kamu kok norak sih, Yang? Merayakan Valentine kan juga haram, tahu!” kataku sok suci yang bermaksud sarkas.
Dia lantas menjelaskan kalau enggak ada maksud seperti itu. Dia hanya ingin memberikanku cokelat. Itu saja. Lalu, aku meledeknya lagi, "Kamu sengaja mau nyakitin aku, ya? Bulan lalu kan gigiku baru ditambal, eh kamu malah kasih aku cokelat.”
Dia bergeming beberapa detik, setelah itu baru cengengesan.
“Ya udah, daripada gigiku sakit, nanti cokelatnya aku kasih ke cewek lain aja, ya?”
Dia tersenyum dan bilang, “Nah, iya. Kasih aja ke cewek lainnya, ya!”
Aku buruk sekali dalam bercanda. Aku pun menyesal telah berkata demikian. Aku sama saja tidak menghargai pemberiannya. Namun, aku juga enggak ada maksud begitu. Aku segera meminta maaf kepadanya. Dia bilang tak masalah. Dia tahu aku cuma berkelakar.
Baru saja terkejut akan tingkahnya dan meledek kalau dia norak dan segala hal, dia mengeluarkan lagi sebuah kotak berwarna merah muda dari tasnya dan hal itu pun menambah rasa heranku.
“Aduh, ini apaan lagi? Maksudmu apa, sih?”
“Bukan apa-apa, kok. Ya, aku kan cuma mau kasih kamu hadiah.”
“Ya, karena apa?”
“Karena aku sayang kamu,” ujarnya, lalu tertawa.
Aku segera menutup muka dengan kedua telapak tangan karena malu. Ekspresi wajahku pasti terasa konyol sekali.
“Dih, kamu kenapa tutup muka? Kamu malu? Atau karena bungkusnya pink, ya?”
Belum sempat aku berkata apa-apa, dia kembali melanjutkan kalimatnya, “Adanya warna itu doang. Udah ah, ini terima.”
“Kamu taruh tas dulu deh, Yang, aku malu kelihatan orang.”
"Ih, aku kan juga malu.”
Kami pun refleks tertawa serentak.
Aku telah mengantarkannya pulang tepat waktu. Aku enggak tahu kenapa dia bisa secepat itu mengubah perasaan kesalku. Jengkel karena minuman yang rasanya tak keruan menghilang begitu saja. Di sepanjang perjalanan pulang aku cengengesan mengingat kejadian di kafe barusan, sebab enggak menyangka akan menerima hadiah kejutan semacam itu.
Terus terang saja, seumur-umur pacaran aku tak pernah dikasih cokelat sama pacarku sebelumnya. Dia berarti orang pertama yang memberikanku. Aku juga suka sama kado satunya lagi, yaitu jam tangan. Jadi, terima kasih sudah bisa membuatku tersenyum ketika mengenang semua ini, sampai-sampai aku harus melukiskan perasaanku ke tulisan norak macam begini. Meskipun tulisannya acak-acakan dan jelek, paling enggak aku merasa bahagia. Aku tahu, dia sayang sama aku. Dan tentunya, aku juga sayang dia.
Saat aku lagi kesulitan keuangan alias kekurangan rezeki, dia tetap memaklumiku. Lagian, setelah kupikir lagi, rezeki bukan melulu soal uang. Aku merenung kalau diriku ini sebenarnya sudah diberikan banyak hal. Aku enggak merasa kekurangan rezeki lagi. Sehabis dipikir-pikir ulang, aku masih memiliki cinta. Aku masih punya beberapa teman yang peduli. Masih memiliki keluarga yang lengkap, ya walaupun tidak harmonis-harmonis amat. Pokoknya aku akan coba untuk tetap bersyukur atas semua yang Tuhan berikan kepadaku.
Aku bersyukur juga karena dia selalu mau jadi teman diskusiku, meskipun setiap kali berbeda pendapat kami seperti politikus yang sedang berdebat. Biar begitu, dia masih tetap mau mendengarkan ocehan sampahku ini. Ketika banyak orang yang meremehkan, dia tetap percaya kalau aku mampu. Aku pun jadi lebih bersemangat atas dukungannya.
Mungkin enggak banyak hal yang bisa aku lakukan kepadanya. Aku masih belum punya apa-apa. Cuma bisa menemani dan mencoba menuruti kemauannya ingin kulineran ke mana. Misalnya, ketika dia kepengin nasi bebek secara dadakan, aku berusaha untuk menyanggupinya. Atau seperti makan mi pedas yang bikin aku diare dua hari, aku pun tetap rela menemaninya. Karena yang terpenting: aku bisa membuatnya tersenyum, dan syukur-syukur juga bahagia. Rasa bahagia pada dirinya yang disebabkan oleh sikapku adalah kebahagiaan untukku juga.
Mungkin dia terkadang menyebalkan dan manja. Namun, aku juga sadar diri kalau aku jauh lebih menjengkelkan. Aku jarang menjemputnya bila ingin bepergian yang arah tujuannya lebih dekat dari rumahku. Sebenarnya bukan karena aku malas, melainkan aku cuma ingin dia bisa lebih mandiri. Ditambah lagi, aku juga sering meledek dia ini dan itu saat mengkritik sifatnya. Tapi maksudku supaya kami bisa sama-sama membenahi diri. Saling bertumbuh ke arah yang lebih baik.
Toh, dalam berhubungan itu memang saling, kan? Cewek enggak melulu menunggu, dan cowok juga enggak mesti memulai duluan. Ketika kangen silakan bilang sejujurnya atau tinggal mengajak bertemu. Sesimpel itu. Enggak perlu gengsi. Kan statusnya juga sudah pacar, bukan gebetan lagi.
Aku pun hanya ingin melakukan sesuatu yang memang kulakukan karena keinginanku. Bukan keterpaksaan. Setidaknya, aku telah jujur kepada diri sendiri. Juga jujur terhadapnya. Kalau beginilah diriku. Yang apa adanya ketika berbicara, tapi masih terus berusaha menjadi lebih baik. Jadi, untuk menutup tulisan ini... aku ingin bilang kepadanya:
“Tolong lebih bersabarlah dalam menghadapiku ya, Sayang. Maafkan segala kesalahan dan kekhilafanku. Memilih untuk bersama itu merupakan komitmen. Mempertahankan itu juga sulit sekali. Namun, kita pasti bisa, kan? Mari kita tumbuh dan hadapi segalanya bersama. Apa pun yang terjadi nanti, aku tak akan menyesalinya. Aku akan selalu mendoakanmu yang terbaik. Terima kasih untuk malam itu, ya. Kamu manis sekali hari itu.”
Jakarta, kamar tercinta, 21 Februari 2017, pukul 02.00.
Kini air mata Ilham juga menetes sebagaimana gadis berjilbab dan berkacamata yang sempat dia lihat tadi. Dada Ilham penuh dengan sesak akibat diaduk-aduk oleh kenangan manis itu. Sakitnya pun kian menjadi-jadi ketika dia menyadari bahwa Rani sudah menikah setahun yang lalu, bahkan sebulan silam juga baru saja melahirkan anak pertamanya. Anjing. Anjing. Anjing. Kenapa bukan aku yang jadi suaminya? Ilham menjerit dalam hati. Hujan di pipi Ilham pun turun semakin deras dalam seketika.
Ilham jelas malu bersedih di tempat umum begini. Berhubung sistem kedai roti bakar ini membayar pesanan di awal dan Ilham juga sudah memenuhi tagihan itu, dia pun bisa segera bangkit dari duduknya, lalu meninggalkan tempat ini atau memutuskan pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang, Ilham merenungi kejadian barusan dan seakan-akan dirinya habis terkena karma. Mulanya, Ilham mentertawakan gadis yang menangis hanya lantaran membaca catatan norak tentang percintaan, dan sementara itu dia sekarang ini tak jauh berbeda dengan gadis tersebut. Seandainya ada orang lain yang memperhatikan keduanya, apakah Ilham terlihat lebih nelangsa?
--
Sumber gambar: Pixabay.
6 Comments
Beruntungnya saya yang tidak pernah punya catatan atau jurnal soal hubungan yang dulu-dulu, jadi nggak harus membaca ulang lalu keingetan, lalu sedih, lalu merasa ingin ke waktu itu.
ReplyDeleteIni cerpen kayaknya colongan kisah asmara kau ya Yog?
Hahaha. Bagian yang mana colongannya?
DeleteKadang, sering terlambat untuk menyadari kebaikan dan usaha dari pasangan :). Aku pernah ngalamin mantan becanda soal cewe lain, dan berasa banget itusakit dengernya, walopun cuma candaan.
ReplyDeleteEh dulu aku pernah tuh pengen tukeran jurnal gitu Ama pacar. Tp seumur2 aku ga pernah dapet pasangan yg suka menulis Yog. Jadi ga kesampaian mulu. Yg ada, sesekali aku izinin dia baca tulisan harianku, supaya tau apa yg aku rasain, aku ga suka dll. Krn dari dulu aku LBH bisa describe perasaan lwt tulisan. Jd kayaknya LBH gampang di tulis supaya si mantan tau apa2 aja yg bikin aku ga suka :D.
Iya, sekalipun niatnya bercanda mah sakitnya tetap betulan.
DeleteTapi sebagian orang malah malu kan jurnalnya dibaca orang lain, padahal itu pacar. Haha. Mbak Fanny justru kepengin ya.
Niat Mbak Fanny biar pasangan mengerti apa-apa yang bikin Mbak enggak suka atau hal lainnya, kadang bisa disalahpahami juga, sih. Biasanya seakan-akan si pasangan protes, kenapa selama ini dia diomongin di buku jurnal, atau Tumblr, atau blog khusus. Kenapa enggak bisa bilang langsung? Semacam itu. Walaupun awalnya udah dijelasin kalau lebih bisa mengekspresikan diri lewat tulisan.
ciri khasnya yoga pasti ada kata es krim mc flurry ama lagu efek rumah kaca xixixixi
ReplyDeletebtw ilham kepooooo baaaanget ah nyampe ngesearch siapa itu yoga yang ditangisin si manis berjilbab itu ya Alloh taunya nasibnya jauh lebih nelangsa huahahah..karma done
Bukan ciri khas sih, itu semacam memasukkan unsur diri sendiri ke tokohnya sekalian rekomendasi sesuatu. Hahaha.
DeleteBiasanya memang begitu kan. Lihat seseorang dengan rasa kasihan atau mengejek, padahal diri sendiri lebih parah.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.