Barang Bernilai Sentimental

Dalam beberapa hari terakhir, adik saya tumben betah menonton televisi sampai larut malam, padahal biasanya dia sibuk main gim Cacing atau membuka Youtube atau menonton anime di laptop. Saya pun penasaran dan melihat sekilas layar TV yang lagi menayangkan serial Fast and Furious. Pantas saja dia anteng, ternyata ada film kesukaannya. Begitu saya balik lagi ke kamar, tiba-tiba pikiran saya meluncur ke momen Dominic Toretto (Vin Diesel) pada film Fast Five yang rela mempertaruhkan nyawanya dengan menyelinap masuk ke rumah seorang polwan hanya demi mengambil kalung salib perak miliknya yang terjatuh saat dikejar-kejar gerombolan polisi. Saya jadi bertanya-tanya, apakah benda mati semacam itu bisa lebih berharga daripada nyawa manusia?


 

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, saya malah teringat pada film lain, Pulp Fiction, ketika Butch Coolidge (Bruce Willis) sempat bertengkar dengan kekasihnya hanya lantaran jam tangan yang tertinggal di rumah lamanya. Pacarnya lupa memasukkan jam tersebut ke koper saat berkemas. Butch pun bimbang apakah harus kembali ke sana buat mengambil jam itu, sedangkan sekarang ini dirinya sedang menjadi buronan mafia karena baru saja melarikan diri selepas memenangkan pertandingan tinju. Apakah menang kala bertanding boksen merupakan suatu kesalahan? Tentu saja tidak. Masalahnya, beberapa hari sebelumnya Butch telah menerima uang sogokan dalam jumlah besar dari bos mafia untuk mengalah di pertandingan itu. Namun, Butch memilih menyelamatkan harga dirinya dengan menang sekaligus membawa kabur uang itu, sehingga otomatis membatalkan kerja samanya.


 

Mulanya, saya berpikir jika Butch habis menerima uang berjumlah banyak, bukankah dia kelak bisa membeli jam tangan baru yang lebih mahal? Kenapa harus repot-repot balik ke rumah lamanya demi sebuah arloji? Sampai akhirnya saya paham kalau jam itu adalah warisan dari ayahnya. Ada nilai sentimental pada barang tersebut. Begitu pula yang dilakukan Dom saat mengambil kalung salib miliknya. Barang itu teramat bermakna baginya, sebab kalung itulah yang mengingatkan Dom kepada Letty, kekasihnya yang tewas—sebelum dinyatakan selamat pada serial berikutnya.

Daftar ini bisa terus bertambah dengan merujuk film lainnya maupun buku yang pernah saya lahap, tapi saya kira dua itu sudah cukup menjadi bahan pertanyaan saya mengenai benda bernilai sentimental. Apakah saya juga punya benda-benda sejenis itu?

Sebagaimana orang-orang songong yang apatis, awalnya saya dengan lekas langsung menjawab: “Enggak ada, mana mungkin benda mati bisa bermakna. Orang-orang mah pada berlebihan.” Hingga akhir Februari kemarin, setelah saya merapikan perabotan di atas lemari yang dipindahkan karena banjir, saya mulai membuka satu per satu kardus berisi barang-barang lawas. Melihat harta karun di dalamnya seketika bikin saya sadar bahwa benda-benda tak bernyawa rupanya juga bisa memiliki arti penting dalam hidup saya. Ada dua benda di rumah yang saat melihatnya bikin saya merenung dan tanpa sadar mengetik begini: 

 

Lembaran hasil tes IQ

Kurang lebih delapan tahun silam, menjelang kelulusan SMK, sekolah saya mengadakan tes IQ untuk para murid kelas tiga. Mungkin pihak sekolah bermaksud mengetes potensi para muridnya yang kelak akan terjun ke dunia kerja. Di kelas saya, Pemasaran 2, IQ 119 yang saya peroleh ternyata menjadi nilai tertinggi. Di kertas itu tertulis penjelasan bahwa saya termasuk orang yang IQ-nya di atas rata-rata. Kurang satu angka lagi saya bakalan masuk ke golongan cerdas atau superior (120-129). Saya entah mengapa langsung mendapatkan pandangan sinis dari kawan-kawan yang IQ-nya di antara 80-100, padahal IQ mereka pun terhitung manusia normal. Lebih-lebih si Ana, teman yang merasa paling cerdas di kelas dan selalu mendapatkan peringkat 5 besar, tiba-tiba protes kepada saya hanya lantaran selisih satu angka, yakni 118. Saya tak habis pikir dengan persaingan dari hasil tes semacam itu. Setahu saya, kondisi fisik dan psikis kala mengerjakan tesnya cukup berpengaruh akan hasilnya. Jika mendapatkan hasil yang ala kadarnya, barangkali mereka lagi kurang fokus atau kurang sehat atau suasana hatinya sedang buruk. Tak perlu dijadikan patokan kecerdasan seseorang.

 


 

Terlepas dari hal-hal di atas, khususnya yang menyangkut angka jahanam, saya rasanya perlu berterima kasih dengan lembaran ini karena pada salah satu bagiannya tertulis kalau saya punya bakat khusus di bidang literasi. Semakin ke sini, saya sering sekali merasa tolol dan tak punya keahlian khusus dalam bidang apa pun. Saya sudah pasti mengabaikan bakat scientific dan musical yang tercantum. Mengingat saya agak payah di bidang Matematika dan IPA, sedangkan di musik jauh lebih kacau, kayaknya hasil tes itu kurang akurat.

Walaupun saya gemar mendengarkan musik, tapi jika memainkannya mah beda perkara. Dari sekian banyak alat musik aja saya cuma mampu memainkan seruling. Tentu hanya nada dasarnya. Lalu, bagaimana dengan bernyanyi? Saya akui diri ini pernah mendapatkan pujian dari seorang teman bahwa suara saya enak didengar, bahkan ada yang dengan konyolnya bilang: suaranya ganteng. Oh, itu jelas baru sebatas berbicara. Sementara itu, saat saya bernyanyi pastilah vokalnya dinilai sangat amburadul. Tololnya, sudah tahu suara jelek kok saya pernah iseng nge-band bareng kawan sekolah maupun kuliah dan bertugas sebagai vokalisnya. Apalagi zaman SMK, yang sok-sok-an scream dan growl, kemudian saya kapok karena tenggorokan sakit bukan main. Jadi, mungkinkah saya berkarier di bidang musik? Jika sampai kejadian, mungkin Kurt Cobain bakal menembak kepalanya lagi di alam sana.

Sekiranya saya memang mau mengacu ke kertas sialan itu, satu-satunya harapan saya berarti cuma literasi. Mundur jauh ke belakang, pekerjaan pertama saya sejujurnya tak ada hubungannya dengan kepenulisan. Saya dulu bekerja sebagai penginput data di kantor pajak yang mengharuskan saya berkutat dengan angka-angka. Beberapa pekerjaan lain yang saya ambil juga jarang berhubungan dengan tulis-menulis. Meskipun saya sempat bekerja di media, tugas saya kala itu hanya melakukan survey sekaligus mencari data lewat telepon maupun terjun ke lapangan untuk salah satu rubrik di koran. Bagi saya, pekerjaan itu bisa dibilang tak berhubungan dengan tulis-menulis karena divisi saya itu masuknya ke litbang alias penelitian dan pengembangan. Sekali-sekalinya saya bekerja di bidang literasi, selain menjadi bloger yang meliput acara, mungkin ketika saya menjadi tim kreatif dan kadang-kadang ikutan menulis skrip komedi situasi di salah satu TV swasta. Itu pun hitungannya sebagai pekerja lepas dan hanya berlangsung selama 3-4 bulan.

Lantas, kenapa saya bisa-bisanya tercemplung ke dunia tulis-menulis dan belum menyerah sampai hari ini? Mungkinkah  kegiatan membaca dan menulis yang akrab dalam lima tahun terakhir ini secara tak langsung adalah berkat alam bawah sadar saya akan hasil tes IQ keparat itu? Biarpun saat ini saya juga masih merasa medioker di bidang literasi, setidaknya saya ingin percaya suatu hari nanti bisa bertumbuh lebih baik. Toh, saya juga heran kenapa masih bertahan hingga hari ini ketika teman-teman di sekitar mulai vakum dan meninggalkannya. Bloger yang menulis untuk seru-seruan lama-lama semakin jarang saya temukan. Mayoritas sudah melek keuangan dan fokus memperbaiki blognya buat kepentingan komersial. Dengan kata lain: blog harus menghasilkan. Saya sendiri kenapa masih begini-begini aja? Entah karena sudah telanjur tenggelam, atau saya bersikap bodo amat dan cuma pengin menulis sesuka hati tanpa memikirkan untung ataupun rugi, atau tak ada pilihan lain yang sanggup membuat saya tetap merasa hidup selain jalan sunyi ini.

BlackBery Gemini alias Curve 8520, beserta foto percakapan bersama Gadis Gemini

Alasan saya tak mau menjual dan masih menyimpan BlackBerry yang berzodiak sama dengan saya ini tentu saja karena memiliki nilai bersejarah. Berhubung ini ponsel pertama yang saya beli sepenuhnya dengan gaji sendiri saat bulan kedua bekerja, sampai-sampai rela enggak jajan di luar selama sebulan demi mengikuti tren anak gaul, saya kira momen tolol itu perlu saya ingat terus dengan tetap menyimpannya di kardus agar sewaktu-waktu dapat dikenang kembali. Terasa mustahil bagi saya untuk membuangnya sekalipun benda itu kini sudah benar-benar tak berfungsi lagi.


 

Apalagi sewaktu saya memindahkan kartu memori di BlackBerry ke ponsel yang sekarang, lalu menemukan gambar percakapan berikut ini.

 


Mengapa saya masih menyimpannya selama bertahun-tahun? Percakapan itu telah terjadi kira-kira sewindu yang lalu. Saya otomatis terkenang akan setiap momen bersama Si Gadis Gemini yang namanya tertera di gambar. Walaupun kami pada hari itu gagal memilih bersama dan sepertinya dia kini sudah menikah dengan pria lain, dia tetaplah cinta remaja saya yang aduhai buat dikenang. Sosok yang cukup berkesan bagi seorang Yoga, sebab dia telah membuat saya—pada masa remaja—percaya kalau hati yang hancur pasti bisa tersembuhkan lewat jatuh cinta lagi. Ditambah lagi saya jadi sadar, bahwa masih ada perempuan yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi menghargai perasaan perempuan lain. Ya Allah, May sungguh baik sekali. Dia tidak seberengsek mantan saya yang telah berkhianat dua kali, yang lucunya pada kemudian hari justru mengemis minta balikan, serta bisa-bisanya merusak kedekatan saya dan May.

Saya kini ingin mendoakan dan mengucapkan terima kasih kepadanya: Semoga sehat dan bahagia selalu pokoknya buat May di mana pun dia berada saat ini. Nuhun pisan telah menerangi masa remaja saya yang sempat ditelan kegelapan.



Maret 2020

--

Sumber gambar: SS film, https://karalamb.wordpress.com/2015/01/24/no-gold-watch/, dan dokumentasi pribadi.

Barang bernilai sentimental lainnya sempat saya tuliskan di Efek Rumah Kebanjiran.

18 Comments

  1. Hi mas Yoga, apa kabar? 😁

    Bicara soal barang bernilai sentimental, saya punya beberapa (banyak sebenarnya 😂), tapi kalau sampai harus mempertaruhkan nyawa seperti dua tokoh di atas, kayaknya belum ke tahapan sana hehehehehe. Mungkin karena sentimentalnya nggak terlalu deep kali, ya. Jadi kalaupun hilang nggak masalah 🙈 Sebab mostly yang masih saya keep berupa paper, seperti boarding pass pesawat, dan surat-surat 😅

    By the way, saya senyam-senyum baca cerita duo gemini, dan setuju perihal cara mengobati patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi hihihi. Karena it works for me. Saya turut mendoakan, semoga mba Maya yang pernah mengisi hati mas Yoga, selalu sehat dan bahagia. Begitu pula mas Yoga ~ happy holiday, mas! 🥳

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah baik, Mbak Eno. Mbak sendiri gimana? Semoga baik juga ya.

      Iya, saya pikir yang sampai segitunya pasti jarang. Contoh barang sentimental saya justru perangkatnya yang udah tewas tapi tetap dikoleksi, bukan saya yang mengorbankan diri buat mati. Haha.

      Aamiin. Terima kasih. :D

      Delete
  2. Tenang Yog, masih ada aku yg sampe matipun kayaknya bakal trus ngejadiin blog buat sarana having fun :D. Ga bakal utk cari duit :p

    Btw, tulisanmu lgs bikin aku mikir keras, apa barang yg kira2 bakal aku sayangin sampe segitunya Yog. Tapi setelah aku pikir keras, kok ga ada yaaaa....

    Aku memang cinta mati Ama buku. Tapi seandainya hilangpun, aku LBH kepikiran utk beli baru drpd nyari susah2 yg sudah hilang ato ketinggalan di manaaaa gitu. Walopun mungkin itu pemberian dr irang tersayang, buatku ttp bisa dibeli aja utk ganti.

    Barang lainnya pun, kayak dulu aku kehilangan gelang emas pemberian suami pas nikah. Berkesan pastilah. Tapi lagi2 aku LBH milih utk beli baru buat ganti, yg modelnya sebisa mungkin sama. Toh yg penting buatku, aku akan ttp inget itu BRG dr suami walopun itu BRG pengganti :D

    Mungkin Krn aku terbiasa mikir logika kali yaaa, ga sentimentil dan ga romantis juga wkwkwkwkwk ... jadi ya gituu deh, buatku barang berharga pasti ada, tapi ga pernah sampe segitu berharganya utk ngorbanin waktu dan nyawa kayak yg dilakuin si dom :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Fanny malah yang tentunya mengeluarkan uang demi terciptanya tulisan ya kan. :D

      Memang jarang banget yang sampai mempertaruhkan nyawa, Mbak. Itu contoh saya cuma sentimental yang biasa banget. Haha.

      Wah, sayang banget itu sampai hilang ya. Syukur suami Mbak pengertian dan enggak keberatan. Lagi pula namanya juga hilang, enggak tahu di mana tempat lenyapnya.

      Saya sendiri sebetulnya enggak tahu sampai kapan akan mempertahankan dua barang tersebut. Secara logika kan BB-nya udah rongsokan, enggak mau nyala lagi, terus buat apa disimpan? Tapi saat ini melihatnya tuh masih kayak terkenang bahwa saya pernah beli ponsel anak gaul pada masanya pakai gaji awal-awal dari pekerjaan pertama saya. Mungkin nanti pemikirannya bakal bergeser. Lalu yang kertas hasil tes mungkin akan tetap disimpan bersama dokumen lainnya.

      Delete
  3. Saya jadi cari barang-barang yang berharga buat diri sendiri juga. Ternyata agak susah.
    Sepertinya di versi saya, lebih ke hadiah dari temen-temen. Apalagi kalau dalam bentuk karyanya sendiri, saya usahain selalu simpen. Selain itu, mungkin lebih ke mengingat momen-momennya, yang bisa lebih diingatkan lagi ketika melihat barang tersebut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pemberian teman biasanya juga bernilai sentimental, Han. Semacam artwork gitu, ya? Saya belum pernah dapat sejenis itu sih, selain pembatas buku yang teman saya lukis sendiri. Haha.

      Delete
  4. Haloo Mas Yoga, salam kenal. Ini pertama kali saya berkunjung ke blog ini.

    Tulisannya menarik, sangat mudah difahami untuk dibaca. Saya jadi kepikiran nih, adakah punya barang-barang yang seperti itu yaaak? 😅

    Kemudian, 8 tahun yang lalu, berarti mas Yoga tamat sekolahnya tahun 2012 kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal, Mas Dodo. Terima kasih sudah bilang tulisan saya menarik.

      Benar, saya lulus SMK tahun segitu.

      Delete
  5. pas aku tes kepribadian tentang karir dan kehidupan beberapa waktu lalu yang pernah aku posting di blog, kayaknya IQ engga begitu menjamin deh mas

    di tes itu aku malah dapat pengetahuan kalau pas dewasa ternyata karir yang dianggap sesuai dengan diri kita bisa berubah 6 bulan sekali
    jadi kalau kadang engga nyambung sama jurusan atau apalah ya itu masih wajar sih. ini kata psikolognya gitu.

    aku engga pernah pakai black berry karena aku amat miskin waktu itu jadi hPku masih nokia mas hehe
    sekarang masih ada si tapi engga bisa nyala
    ada banyak kenangan juga pas damprat mantan di depan selingkuhannya
    pas tak fotoin ada di HP itu hahahah ya allah

    kalau blog yang menghasilkan herannya kalau pas dibodoamatin eh malah ada rezeki tapi begitu dipikirin malah anyep
    jadi sekarang saya lebih memilih bodo amat siapa tahu ada rezeki nomplok hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya pikir enggak menjamin, makanya saya bilang itu angka jahanam. Haha. Oh, jadi tentang minat atau bakat dari hasil tes itu enggak berpengaruh sama karier ke depannya, ya? Aneh juga sih kalau saya betulan jadi ilmuwan atau musikus cuma karena lembaran kertas itu.

      Ya Allah, sempet-sempetnya motret si Mas Ikrom. XD

      Iya, ketika nothing to lose justru ada aja penghasilan lewat blog. :)

      Delete
  6. Wah gila sih itu tes iq lhoo. Gue kayaknya terakhir ngetes jaman smp deh dan hasilnya kalo gak salah "kecerdasanmu setera terong mentah."

    itu tapi kertasnya masih mantep banget yog gak kuning2 gitu lo nyimpennya keren bener weeey.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tai, mana ada hasil tesnya disamakan dengan sayur gitu. Terus kalau yang cerdas jenisnya wortel mateng, Di?

      Iya, gue taruh kayak di amplop gitu soalnya. Haha.

      Delete
  7. Kayaknya saya belum pernah tes IQ atau pernah saya lupa haha. Ngomongin BB mah emang exist banget di jamannya, even saya nggak punya wkwk. Tapi temen-temen pada punya 😂😂.

    Then, saya ketawa baca bagian mantan pacarmu yang khianat dua kali, nggak tahu lucunya dimana, tapi kayaknya kamu lumayan sering deh cerita tentang dia.

    Well, apapun itu selamat bulan January di tahun 2021 Yogaaa, semoga berani bermimpi lagi, semakin bodo amat lagi nulis disini, pokoknya yang baik-baik aja. Cheers!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu BB satu-satunya, dan setelahnya malah ganti Android dan iPhone. Haha. Ujungnya balik ke Android lagi.

      Dikhianati dua kali memang lucu kok buat saya. Bisa-bisanya sebego itu. Sekali aja udah sakit, ini dua kali. Ya Allah, saya zaman remaja terlalu bucin.

      Terima kasih, Sov. Begitu juga denganmu ya. Sehat-sehat dan jaga diri.

      Delete
  8. Aku gak inget punya barang bernilai sentimental apa engga, karena aku suka beres2 barang jadi ketika tahu itu ada barang yang sudah tidak berfungsi atau bahkan gak dipake, akhirnya dibuang begitu aja. Karena ngerasa kenangan akan selalu ada di tempatnya, ada barangnya ataupun engga, jadi yauda~~

    Oiya yog, kadang hasil test bisa berubah sesuai keadaan dan pandangan. Jadi mungkin test yang 8 tahun lalu itu udah gak valid, atau validnya cuma di beberapa bagian aja. Aku sendiri walau dari lulusan psikologi, gak terlalu terpaku sama hasil test. Bahkan kadang lupa hasil test sendiri, takut terpaku soalnya. Kamu test lagi aja yog! (Sianjir kenapa nyuruh hahahaha).

    Hadeh aku udah lama gak bw, sekalinya bw bacot banget. Dah ah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sebetulnya tanpa ada barang itu pun kenangannya mah bakal tetap ada, Teh. Sepertinya ini saya cukup gemar mengoleksi benda-benda yang memang punya nilai sentimental.

      Hm, saya kira memang ada perubahan. Contohnya, itu dulu tipe belajarnya visual, padahal belakangan ini lebih sering belajar lewat membaca. Satu-satunya yang belum berubah emang di bidang literasi aja, sih. Entah itu ke depannya gimana. Saya sesungguhnya juga malas terpaku sama hasil tes. Makanya malas kalau sampai mesti tes lagi cuma buat mencari tahu karier mana yang cocok buat saya. Kurang kerjaan amat gitu. Sekarang saya jalanin aja apa yang saya bisa deh. Wahaha.

      Delete
  9. Ketika mengatakan saya orangnya cukup sentimentil, belajar hidup minimalis adalah problem yang serius. Perkaranya, selain pola pikir, saya mesti membuang barang-barang di sekitar saya.

    Saya tidak begitu mengerti dengan definisi barang sentimental. Saya hanya menyimpan barang yang menurut saya punya hubungan yang personal. Saya menyimpan earphone bekar yang jumlahnya belasan. Saya menyimpan kertas pembagian tempat duduk saat UN SMA. Saya menyimpan undangan teman SMA pertama. Saya tidak tahu alasannya, tapi ketika melihat kembali, saya merasa ada kedekatakan yang begitu kuat. Kayaknya orang-orang seperti saya, adalah orang yang susah lepas dari kehidpan dimasa lalu, hidup untuk masa lalu, matipun untuk masa lalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Earphone bekas sampai belasan? Wah, kamu ini memang punya pengoleksi benda-benda personal gitu, Hul?

      Segitunya amat hidup dan mati buat masa lalu. Saya sepertinya belum segitunya. Ini aja lagi berusaha membuang yang udah pada rongsok. Pengin terbebas dari jeratan kenangan gitu.

      Apalagi jika benda yang disimpan ada sangkut pautnya sama perempuan di masa lalu, kadang pasangan yang sekarang bisa marah besar kan.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.