Selamat Tinggal

—Hasil modifikasi tulisan Oktober 2019 yang isinya cocok dengan keadaan saya pada akhir Juli kemarin.

--



Dua bulan terakhir ini saya lagi senang-senangnya mendengarkan Nasadira menyanyikan sajak Chairil Anwar (saya kurang suka dengan sebutan musikalisasi puisi), Selamat Tinggal. Suara Sky, sang vokalis, terasa aduhai di telinga saya. Dari semua liriknya, saya sungguh menyukai bagian ini:

Kudengar seru-menderu
dalam hatiku.
Apa hanya angin lalu?

Lagu itu pula,
menggelepar
tengah malam buta.


Saya enggak tahu apa makna yang tersirat dalam puisi tersebut, tapi saya mencoba menafsirkan sesukanya bahwa itu tentang suasana hati yang rasanya ingin menjerit sekencang-kencangnya ketika lagi dirundung banyak problem. Kemudian muncul juga bunyi-bunyi berisik lain di kepala pada tengah malam sewaktu saya ingin memejamkan mata dan merehatkan tubuh, yang akhirnya malah bikin susah tidur sebab pikiran saya kian berkelana ke sana-kemari.

Seperti tiga hari belakangan ini, setiap malam saya selalu heran dengan diri sendiri. Kenapa suasana hati dan pikiran buruk ini begitu mengacaukan keseharian sampai-sampai saya tak berminat menjalani hidup? Saya enggan berjumpa dengan manusia lain. Saya pun malas membuka media sosial dan blog, apalagi menorehkan keresahan di sana. Saya bagaikan sedang menarik diri dari dunia nyata maupun maya.

Kala masalah hidup datang, saya memang mulai berusaha mengontrol diri untuk tidak memperlihatkannya. Untuk tidak memberi tahu siapa-siapa. Terlebih lagi agar tidak meminta bantuan, karena setiap orang tentu memiliki masalahnya masing-masing, dan saya tak ingin menambah beban mereka.

Mungkin pada akhirnya saya tetap butuh bercerita karena tak sanggup menyimpannya sendirian. Masalahnya, saya tak tahu harus memercayai siapa akhir-akhir ini. Orang-orang yang saya anggap dekat dan berada di sekitar justru yang paling memicu stres dan depresi. Sialnya lagi, pandemi ini terus memaksa saya untuk lebih baik di rumah saja. Betapa sulitnya keluyuran tanpa merasa cemas. Terasa riskan juga jika saya nekat berjumpa dengan kawan baik yang rumahnya jauh.

Kalau begitu, sementara ini mending kau cerita saja kepada temanmu yang jauh itu lewat WhatsApp atau telepon, pikir saya.

Memang, ada sebagian teman yang saya kenal lewat media sosial atau blog lalu pernah bertemu dan sebenarnya dapat dipercaya. Tapi di era digital yang serba screenshot dan terasa berengsek ini tentu membuat saya tetap khawatir. Mereka kan juga punya kesibukan masing-masing. Lagi pula, saya benar-benar ingin bercerita secara langsung saja.

Jadi, ketika saya sungguh tak kuat lagi memendamnya sendirian, pilihan saya satu-satunya hanya menulis di blog lain yang jarang pengunjungnya. Itu pun saya tak berharap ada yang membacanya. Saya cuma kepengin lega. Saya ingin kenestapaan ini lekas berlalu.

Yang saya bingung dari semua ini, apakah saat lagi ada masalah gawat kita memang sulit buat tampak baik-baik saja? Mungkin di dunia nyata saya mampu. Tak akan ada yang tahu bagaimana saya menyembunyikan kesedihan dalam diri ini. Sementara itu, saya pasti butuh pelarian ke dunia maya atau mencari eskapisme. Lalu, begitu saya mengingat perkataan seseorang (entah siapa, saya lupa), bahwa curhat tentang masalah atau bersedih di dunia maya bisa-bisa cuma jadi tertawaan netizen, kadang-kadang kok sialan juga, ya?

Meskipun selama ini saya kurang peduli bakal mendapatkan respons apa pun dari apa yang telah saya tulis atau curahkan, toh itu sudah menjadi konsekuensi, tapi kali ini saya betul-betul memikirkannya. Khususnya akhir-akhir ini saya jadi kian kepikiran karena terlalu banyak membuang air mata lewat tulisan. Menyiasatinya dalam bentuk fiksi juga terlihat percuma. Seakan-akan nasib malang tiap karakternya itu selalu menunjukkan betapa sedih atau kesepiannya diri saya.

Enggak perlu mengelak kalau semakin ke sini saya mulai merasa kesepian. Saya rasanya sudah kehilangan semua kawan yang sebelumnya bisa diajak berbagi. Dan yang lebih bajingan daripada itu, saya bagaikan melihat dunia dari ujung teleskop yang salah. Saya sendirian. Tak punya siapa-siapa lagi.

Sejak tak punya lagi tempat khusus buat berbagi cerita (seorang pacar maupun sahabat), saya pun selalu menjadikan blog seperti kawan sejati yang tak pernah meninggalkan saya. Namun, saya lama-lama merenung sekaligus membayangkan ia capek mendengarkan segala limbah ataupun omong kosong yang keluar dari hati dan pikiran saya. Seandainya ia makhluk hidup, mungkinkah ia muak? Bagaimana jika ia juga tak sanggup lagi menampung keluh kesah ini, kemudian pergi meninggalkan saya?

Saya kayaknya harus lebih menahan diri lagi. Sebenarnya sih bagus banyak menghasilkan teks dan jadi terlihat rajin, tapi paling enggak jangan terlalu sering menunjukkan sisi muramnya. Ada masanya saya perlu mengerem. Berikan batasan waktu sebagaimana minum obat dengan anjuran dokter. Biar saya enggak overdosis.

Tapi, mampukah saya bersikap baik-baik saja, padahal sedang kenapa-kenapa? Apakah ini tandanya saya sudah ketergantungan? Saya merasa sakau dan kacau jika belum membuang kesedihan itu lewat tulisan? Kalau saya tidak lagi mencari pelarian lewat menulis, adakah metode lain yang seampuh terapi jiwa ini? Lantas, bagaimana caranya bisa terlihat normal di dunia nyata maupun maya sewaktu dirimu sangat butuh tempat persembunyian untuk menutupi nelangsa? Memakai topeng senyum sebagaimana manusia digital yang semakin terbiasa dengan kepalsuan? Saya sudah malas berpura-pura. Saya tak ingin membohongi diri, lebih-lebih menyiksa diri, lebih dari ini.

Entahlah. Persetan dengan kesedihan! Persetan dengan gangguan kecemasan! Corona tai anjing. Pemerintah konyol (huruf 'Y' dan 'T' ini bersebelahan, hampir saja tipo).

Saya saat ini sih hanya ingin memodifikasi lirik Selamat Tinggal itu. Dari “Aku berkaca bukan untuk mereka. Ini muka penuh luka. Siapa punya?” menjadi “Aku menulis bukan untuk mereka. Blog ini penuh duka. Siapa peduli?”

Setidaknya, jika sementara ini cuma menulis yang bisa saya lakukan untuk menyembuhkan diri, saya berarti tinggal bersikap masa bodoh dengan cap “cengeng”, “lemah”, “payah”, “cari perhatian”, dan sebagainya. Toh, seandainya tulisan itu terpublikasi di blog ataupun media sosial, itu tandanya kesedihan saya telah berlalu. Saya menerbitkannya hanya buat pengingat bahwa perasaan terasing dan terdampar ini pernah saya lalui sebelumnya, supaya pada kemudian hari saya tidak kaget lagi. Bisa dibilang itu juga proses saya dalam berdamai dengan diri sendiri.

Bagaimana perasaanmu sewaktu tidak mengenali dirimu sendiri? Tepatnya seperti yang terukir pada penutup sajak Chairil, Segala menebal, segala mengental. Segala tak ku kenal. Selamat tinggal.

Berhubung saya sendiri baru saja mengalaminya, saya kala itu benar-benar ketakutan. Apakah saya memang pecundang tolol yang gampang berputus asa saat dihantam kepahitan hidup? Saya betul-betul tak tahu. Saya mendadak benci sama manusia. Saya muak dengan segalanya. Saya cuma bisa mengutuk kondisi busuk ini sembari menyalahkan keadaan.

Setelahnya, saya pun malu dan benci kepada diri sendiri. Masa sih saya pernah semengerikan dan sejahanam itu? Saya berharap semoga sosok yang tidak saya kenal dalam diri itu merupakan Yoga versi teramat buruk. Jadi, saya kini dapat mengucapkan selamat tinggal kepadanya demi menuju karakter yang, mungkin bagi orang lain masih amburadul, tapi sesungguhnya telah ber-evolusi, lebih baik.

--

Gambar saya comot dari: https://pixabay.com/id/photos/perpisahan-3258939/

6 Comments

  1. Semoga lekas membaik, Yog. Pulihlah saat sudah siap, bukan saat mereka bilang harus.

    ReplyDelete
  2. Udah lama banget gak main ke sini, kaget langsung disuguhi tulisan dark gini :(

    Semangat kak Yoga! Lekas membaik untuk segala-galanya

    ReplyDelete
  3. yoga i feel this chaos condition

    soalnya aku pernah merasa berada di titik terendah juga

    ya lebih tepatnya beberapa tahun lalu saat berhubungan dengan ngasuh 2 bayi sekaligus dan segala berdarah darahnya aku karena ada deh masa masa beratnya... tapi bener yog kadang rasa kacau itu susah diungkapkan, takut digosipin orang di grup grup tertutup lah, takut dikomen orang lah, dan yak paling jengkel adalah adanya budaya screenshoot yang menjadikan kenelangsaan orang lain sebagai ajang gibah...makanya waktu pingin keluar dari rasa kacau itu dulu aku gimana ya, pokonya ga pa pa dulu deh tuangkan segala keresahan yang ada ntah dengan cara nangis, nulis walau mungkin di ujung sana ada orang lain yang menertawakan atau ngenyek, atau apa pun deh...karena kita pun harus menyelamatkan diri kita sendiri dulu...lambat laun aku pun sekarang uda normalan lagi, seenggaknya pas riweh dengan segala sesuatunya perkara ngurus anak aku udah lebih kalem, dan btul salah satu yang paling ngaruh adalah aku juga uda ga mainan banyak media sosial, persetan deh dibilang apa ma orang..makanya akhirnya aku bisa melewati masa masa dulu sering kacau sendiri jadi paling ga sedikit lebih baik dari dulu dimana aku banyakan mikir sesuatu terlalu jauh...sekarang bisa berpikir dengan lebih enteng dan lilahitaala

    insyaalloh semua lekas berlalu ya yoga ☺

    ReplyDelete
  4. It’s ok mas, it’s ok not to be ok.
    It’s ok kalau blog ini bisa menjadi tempat berkeluh kesah dan melepaskan sejumput stresmu. Karena kamu berhak melakukan itu. I hope you’ll be fine and keep writing your thoughts and feelings here

    ReplyDelete
  5. Aku agak lega pas baca bagian, kalo tulisan ini sudah terpublish di blog ato sosmed, itu akhirnya kesedihannya sudah berlalu. Aku berharap memang bener2 sudah berlalu :)

    Ga ada masalah kamu mau menulis segala marah, sedih , galau ato apapun yang kamu rasakan di blog Yog. Kalo memang itu bisa menyalurkan semua uneg2, perasaan bisa jadi lega, mental jd berkurang tekanannya, lakuin aja. Ini blog mu, ga usah peduli kata2 orang :). Mending kalo mereka mau kasih solusi.

    Semoga semua yg bikin cemas dan risau ini cepet berlalu ya Yog. Tetep semangaaat, dan tulis apapun yg kamu mau :). Setidaknya kalo memang ga bisa membantu, tp dukungan dari temen2 yg mau membaca di blog ini, bisa bikin kamu kuat :)

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.