Warisan dari Kakek

Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam sebuah sayembara menulis yang berujung tak memperoleh satu pun hadiah alias gagal.



--
Kau pertama kali melihat sosok itu secara nyata di kamar indekosmu tepat setelah empat puluh hari kematian kakekmu. Ia berwujud seperti seorang pertapa yang telah berusia ratusan—atau mungkin ribuan—tahun. Ia memelihara jenggot lebat berwarna putih dan panjangnya sampai menutupi leher bagian depan. Ia juga mengenakan pakaian berbentuk jubah, celana, dan sorban serba putih. Melihat penampilannya yang memancarkan aura berbeda, kau menyimpulkan ia bukanlah seorang manusia. Mungkinkah ia sesosok jin? Namun, bagaimana caranya kau kini tiba-tiba dapat melihat makhluk gaib? Sejak kecil hingga kini berusia 23 tahun, seingatmu kau tak pernah sekali pun melihat hantu dan sejenisnya. 

Mulanya, sosok itu cuma mendatangimu lewat mimpi dalam beberapa hari terakhir setiap kali kau ketiduran dan lupa menunaikan salat Isya, sebelum akhirnya ia memperkenalkan diri sebagai sosok yang akan menjagamu. Yang membuatmu heran, mengapa waktu saat kau terbangun itu selalu sama? Setiap pukul 02.15. Jika tak salah ingat, itu adalah waktu kakekmu mengembuskan napas terakhirnya. Kau pun berpikir, apakah semua ini ada hubungannya dengan Kakek? 


Dua hari sebelum kakekmu wafat, percisnya ketika kau sedang istirahat makan siang di kantin kantor, ibumu menelepon dan menyuruhmu balik ke kampung, Ponorogo, Jawa Timur. Ibumu berkata, anak maupun cucu dari kakekmu sudah hadir semuanya, kecuali dirimu seorang. Kau lalu menjelaskan bahwa tidak bisa pulang karena tak mungkin meminta cuti secara dadakan. Lagi pula, jatah cutimu tersisa dua hari lagi. Kau sengaja menyisakannya buat bulan Desember nanti jika ada hal-hal darurat sebelum tahun berganti dan memperoleh jatah cuti baru. 

“Heru, Ibu mohon pulanglah, Nak,” ujar ibumu di telepon dengan suara sendu. “Apakah kamu tak ingin melihat saat-saat terakhir kakekmu?” 

Kau bingung mesti menjawab pertanyaan itu dengan kalimat apa lagi. Kau merasa hubungan dengan kakekmu tidaklah dekat. Kenangan kalian hanya sedikit sewaktu kau masih bocah. Kau bahkan sudah lima tahun tidak kembali ke kampung selepas lulus sekolah dan sibuk bekerja di Jakarta. Seingatmu, terakhir kali kau berjumpa dengan Kakek ialah saat kelas dua SMA, percisnya ketika Mbak Rina—salah satu sepupumu—menikah. Mau tidak mau, kalian harus pulang sekeluarga demi menghadiri pesta perkawinannya. Syukurlah saat itu kau juga sedang liburan sekolah. 

Sesampainya di kampung, kau terkejut mendapati kakekmu yang sudah tak bisa bergerak maupun berbicara. Mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara erangan ataupun geraman sebab terkena penyakit strok. Selama ini kau sudah tahu kabarnya sedang sakit lewat telepon dari pamanmu, tapi tak pernah paham akan detailnya. Rupanya, penyakit itu telah menggerogoti tubuh kakekmu yang mulanya gempal, lantas berubah kurus. 

Sebagai anak sulung dari kakekmu dan juga masih tinggal di rumah yang sama, pamanmu yang selama ini bertugas merawatnya. Dia bilang, kakekmu selama dua bulan terakhir ini cuma bisa berbaring di tempat tidur. Buang air kecil maupun besar di kasur. Mau tak mau, suka tidak suka, dia mesti rela membersihkannya. Kau memuji ketangguhannya dalam hati, sebab kau sendiri tak kuat mencium aroma pesing dan busuk tersebut. Jadi, kau berusaha menjaga jarak dengannya dan memilih memperhatikannya dari kejauhan. 

Sehabis mengenang hal menyedihkan itu, akhirnya kau pun berkata, “Nanti sore aku kabari lagi ya, Bu. Habis ini aku coba izin cuti sama bos. Semoga saja boleh.” 

Ibumu langsung mengucapkan doa semoga nanti dapat kabar baik darimu, mengucapkan terima kasih, dan menutup teleponnya. 


Dengan memberikan alasan bahwa kakekmu sakit parah dan baru saja menerima telepon dari ibumu, kau mendapatkan izin cuti dan diperbolehkan pulang dua jam lebih awal dari jam pulang kantor yang sebenarnya. Begitu tiba di indekos, kau pun segera berbenah. Kau memesan tiket bus ekspres—Pahala Kencana—melalui aplikasi di ponsel, lalu menuju Terminal Kampung Rambutan dengan menaiki ojek daring. Berhubung saat ini belum memasuki jam pulang kantor, kondisi lalu lintas masih termasuk lancar dan kau pun bisa sampai tepat waktu. 

Dari beberapa tempat duduk di bus yang masih kosong, kau bingung mengapa memilih menempati kursi di sebelah kiri bagian agak tengah, percisnya berjarak dua-tiga bangku dari letak roda bagian belakang. Mungkin karena alam bawah sadarmu menerapkan perkataan Agus—salah seorang teman kantor yang gemar naik bus. Posisi duduk di situ katanya nyaman dan bisa menghindari rasa mual. Kalaupun tempat duduk itu penuh, sebisa mungkin jangan duduk di kursi yang pas di bawahnya roda. Kepalamu nanti akan mudah pusing ketika bus terguncang. Kau memang termasuk orang yang gampang mabuk kala naik transportasi umum, kecuali kereta. Tapi, apakah kau betul-betul meyakini omongan Agus tersebut? Apa boleh buat, kau sudah telanjur duduk dan terlalu malas untuk pindah-pindah lagi. 

Tepat pada pukul empat sore bus pun berangkat meninggalkan Jakarta menuju Ponorogo. Selama di perjalanan itu kau lebih banyak tertidur karena sebelumnya telah menenggak dua butir Antimo. Kau memang berjaga-jaga agar tidak mabuk kendaraan meskipun telah menerapkan metode dari Agus. 

Kau sempat terbangun saat matahari menyemburkan semburat oranye dan langit perlahan-lahan berganti gelap. Namun, tak lama matamu langsung terpejam lagi lantaran efek obat yang masih terasa kuat. Kau kemudian kembali mendusin saat langit sudah semakin pekat dan kau merasa udara dari AC itu terlalu dingin bagi tubuhmu, menembus sweter dan kaos yang kaukenakan. Tapi yang sebenarnya terjadi, kau terbangun karena sebuah mimpi aneh. 

Kau bermimpi sedang berlatih pencak silat bersama beberapa kawan yang kau kenal. Pakaian kalian semuanya serba hitam, kecuali guru yang mengajarkannya, yakni seorang kakek-kakek berjubah putih. Kau berlatih tanding dengan salah seorang temanmu, lalu akhirnya terkena pukulan maut darinya hingga terjungkal. Saat kau hendak bangkit, kau terkejut mendapati kakek itu tiba-tiba berada di sebelahmu dan mengatakan, “Sebentar lagi waktunya akan tiba. Kau harus segera menguasai jurus-jurus itu.”

Kau tak ingin memikirkan mimpi tersebut, lebih-lebih menafsirkan apa maksud kalimat kakek itu, dan memilih mengecek arloji di pergelangan tangan kananmu. Waktu menunjukkan pukul 02.15. Tak disangka, bus telah bergerak sekitar 10 jam. Jika mengacu pada estimasi perjalanan yang kau lihat di jadwal bus itu, kau akan tiba di Terminal Seloaji, Ponorogo, sekitar dua jam lagi. 


Begitu tiba di Terminal Seloaji, kau memilih naik ojek menuju rumah kakekmu di Jalan Raya Ngrandu ketimbang meminta jemput salah seorang keluarga. Kau tak enak membangunkan mereka pagi-pagi buta begini. 

Kau memandangi kiri dan kanan jalan. Sudah lama sekali kau tidak melihat pemandangan menyegarkan mata begini. Jarak dari satu rumah ke rumah yang lain betul-betul berjauhan karena dipisahkan oleh kebun ataupun sawah. Sangat berbeda dengan kondisi perumahan di Jakarta yang berdempet-dempetan. Setelah puas memandanginya, kau mengamati peta di ponselmu. Motor yang kau tumpangi saat ini sedang melintas di Jalan Urip Sumoharjo. Tujuanmu masih cukup jauh dan lurus terus hingga Sumoroto, sebelum nantinya belok ke arah Jalan Raya Ngrandu. Berdasarkan petunjuk di peta, jika di depan nanti kau belok kiri, kau akan sampai di Alun-Alun Ponorogo. Itu adalah sebuah tempat yang pernah menjadi momen menggembirakan bersama kakekmu belasan tahun silam. 

Pada suatu sore menjelang bulan Suro, di Alun-Alun Ponorogo terdapat Festival Reog. Kau saat itu sedang liburan sekolah dan diajak pulang kampung oleh orang tuamu. Kakekmu lalu mengajakmu pergi ke sana dengan naik sepeda ontel untuk menyaksikannya. Berhubung kala itu kau masih terlalu kecil, kau tidak banyak mengingat dan kurang paham dengan segala pertunjukan tersebut. Kau saat itu hanya bisa menikmati irama musik yang dihasilkan dari perpaduan suara gendang, kenong, kempul, angklung, dan sompret. Bebunyian itu membuatmu menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan. 

Di tengah-tengah acara itu, kau bertanya kepada Kakek, “Topeng sebesar itu beratnya berapa, Kek?” 

Kakekmu menjawab bisa mencapai 50-60 kg. Dua kali lipat dari berat badanmu saat itu. Kau terpukau mendengarnya. Kau bahkan semakin takjub ketika mengetahui topeng reog sebesar itu cara memakainya cukup dengan digigit. Gigimu pun seketika langsung mengilu sewaktu mengenang bagian yang satu itu. 

Kau lalu menelusuri kembali ingatan masa kecilmu bersama Kakek. Sepulang dari Alun-Alun Ponorogo, kakekmu lantas mengajakmu mampir ke Pasar Sumoroto buat menyantap sate gule di warungnya Pak Seno.



Hawa dingin keparat menjelang waktu azan Subuh ini membuat perutmu lapar seketika. Kau pun teringat bahwa belum makan apa-apa sejak menaiki bus. Kau jadi ingin mengisi perutmu dengan sate gule. Apakah rasanya tetap mantap sebagaimana kau menikmatinya ketika bocah? Kau lalu meminta kepada tukang ojek itu nanti singgah dulu di sana. 

Sayangnya, tukang ojek itu langsung menanggapi kalau warungnya baru buka nanti pukul tujuh. Kau mencoba memastikannya dengan mencari informasi tersebut di internet. Ternyata perkataannya benar. Warung itu buka dari pukul 7 pagi sampai pukul 12 malam. 

Sialan, kau mengumpat dalam hati. Entah dapat mendengar suara hatimu atau berusaha mengobati kekecewaanmu, tukang ojek itu menyarankanmu untuk makan di Warung Nasi Tiwol Mbok Kus saja. Katanya, warung itu buka selama 24 jam. Kau pun langsung mengiyakannya dan mengajak dia makan bersama. Pendek cerita, kau sudah kenyang dan tiba di rumah kakekmu. 

Merasa lelah dalam perjalanan dan tak puas tidur dalam posisi duduk selama di bus, tentu membuatmu ingin lekas-lekas merebahkan diri ke kasur. Namun, kau kini mesti menyalami orang tua maupun saudara-saudaramu di ruang tengah yang sedang duduk-duduk menyarap pisang goreng dan minum kopi ataupun teh. Baguslah tidak semua orang berada di sana. Kau jadi tak perlu banyak berbasa-basi.

Kakekmu masih tertidur sangat pulas di kamarnya saat kau tengok. Beberapa sepupumu sepertinya juga belum bangun atau malas beranjak dari kamar yang pintunya tertutup. Kau kemudian masuk ke kamar orang tuamu dan mendapati adikmu yang juga masih terlelap. Kau pun kini rebahan di sampingnya. 

Kau ketiduran selama tiga jam, lalu terbangun saat mendengar suara orang-orang membaca surah Yasin. Kau terkejut dengan hal itu. Apakah ini memang sudah tanda-tanda kakekmu sebentar lagi akan meninggal? Kau lalu mendatangi kamar kakekmu. Sebagian keluargamu—termasuk kedua orang tuamu—sedang duduk memegang buku Yasin dan merapalkan ayat-ayat. Mereka membacanya secara berganti-gantian. Proses itu berlangsung terus-menerus hingga jeda makan siang. Sesudahnya, pembacaan surah Yasin berlanjut kembali hingga hari berubah malam dan kian pekat. Pada pukul 12 malam, napas kakekmu sudah semakin berat. 

Sejak tadi kau memilih tidak ikutan membaca Yasin karena kemampuan mengajimu masih kurang lancar. Kau cuma bisa memperhatikan kakekmu dari dekat pintu. Saat kau menatap wajah kakekmu, mata kalian akhirnya bertemu. Sorot matanya sangatlah dingin dan menusukmu tajam. Matanya itu seakan-akan berkata kepadamu: Kemarilah cucuku. 

Kau terlalu takut untuk menghampirinya. Dia pun tiba-tiba menggeram keras. Beberapa orang di sekitarnya, termasuk ibumu, terperanjat. Sadar bahwa kau yang menyebabkan kakekmu mengerang seperti itu, ibumu lalu menyuruhmu untuk berada di samping Kakek. Kau tak punya pilihan lain selain mendekatinya dan duduk di samping tempat tidurnya. 

Dari jarak sedekat itu, bau pesing dan kecut tentu saja langsung meninju-ninju hidungmu. Tapi, kau saat ini seperti bisa mencium sesuatu yang lain. Seolah-olah kau dapat menghirup aroma kematian. Apakah kematiannya memang sudah dekat? 

Ini pertama kalinya kau menyaksikan proses sakratulmaut. Kakekmu mulai megap-megap. Kau tak kuat melihatnya seperti itu sehingga memilih untuk menunduk. Saat itulah sekonyong-konyong tangan kiri kakekmu dapat bergerak, lalu mengusap-usap rambutmu. Kau jelas kaget kakekmu bisa tiba-tiba bergerak, padahal sebelum-sebelumnya cuma mampu menggeram. Beberapa orang di ruangan itu juga sama terkejutnya sampai mengucapkan astagfirullah berulang-ulang kali. Selepas hal itu terjadi, kakekmu tersenyum dan tampak lega. Kini desah napasnya mulai semakin jarang. Sekitar satu setengah jam kemudian, tepatnya pada pukul 02.15, kakekmu mengembuskan napas terakhirnya. 


Apakah ketika tangan kakekmu mengusap-usap rambutmu pada saat-saat terakhirnya itu adalah proses mentransfer energi atau semacam kekuatan gaib? Dia memberikanmu sebuah warisan berupa jin pelindung berwujud kakek pertapa? Tapi, apa yang membuatmu dipilih olehnya? Dari tiga orang anak dan tujuh orang cucu, mengapa harus dirimu yang memperolehnya? Tak ingin menebak-nebak, kau lalu memutuskan memberanikan diri untuk bertanya kepada sosok kakek pertapa itu. Dia membenarkan segala asumsimu sebelumnya. 

“Tapi, kenapa aku yang dipilih oleh kakek?” ujarmu. 

“Bukan dia yang memilihmu, melainkan aku.” 

“Bagaimana mungkin? Sejak kapan kau memilihku?” 

Kakek itu tertawa. “Karena kau telah berhasil melewati ujiannya.” 

“Ujian apa?” 

Kakek pertapa itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia lantas memberi tahu jawaban itu lewat sebuah perjalanan gaib yang menyerupai sebuah mimpi. 

Ada suatu kejadian saat kau kelas 2 SMA, sepulangnya dari kampung begitu mengetahui kakekmu sakit strok, yang sempat terlupa olehmu. Begitu merapikan barang-barang dan mengeluarkan pakaian kotor, di dalam tas ibumu tahu-tahu terdapat salah satu keris berwarna emas milik kakekmu. Kalian sekeluarga bingung mengapa keris tersebut bisa berada di sana. Walaupun kalian memahami kalau Kakek mengoleksi banyak keris, lantas siapa yang menaruhnya ke dalam situ ketika dia sendiri tak dapat menggerakkan tubuhnya? Jika tak salah ingat, berbagai benda pusaka milik kakekmu telah tersimpan rapi di ruangan khususnya. Sudah lama sekali tak pernah diutak-atik, kecuali untuk dibersihkan dan dimandikan kembang tujuh rupa oleh pamanmu setiap malam satu Suro. Apakah keris itu pamanmu yang menaruhnya, atau bisa pindah sendiri dari tempatnya semula? 

Ibumu pun segera menelepon pamanmu buat mengonfirmasikan hal itu. Pamanmu menjawab tak tahu apa-apa. Ibumu tak punya pilihan lain selain menyimpannya di lemari pakaian paling atas. 

Empat jam kemudian, bibimu yang tinggal di Bogor menelepon. Dia mengatakan hal yang sama bahwa di tasnya terdapat sebuah keris berwarna emas. Mulanya, kalian tak ingin berpikir yang aneh-aneh. Tapi begitu selama satu minggu ayah dan adikmu tiba-tiba demam, lalu ibumu juga merasa ada tanda-tanda mau sakit, ibumu menyimpulkan kalau keris itulah penyebabnya. Ibumu terus menelepon ke bibimu, yang rupanya juga mengalami hal ganjil. Mereka sekeluarga mengalami demam dan diare. Rupanya kondisi mereka jauh lebih buruk daripada keluargamu. Saat itulah ibumu berniat mengembalikan keris itu ke kampung pada keesokan harinya. Anehnya, keris itu tiba-tiba lenyap dengan sendirinya. Begitu pula ketika ibumu bertanya kepada bibimu. 

“Saat itu, hanya kaulah yang tidak terpengaruh oleh keris itu,” ujar si kakek pertapa sembari mengelus-elus jenggotnya.

Kau baru ingat. Kala itu tubuhmu memang baik-baik saja, bahkan merasa sangat sehat. 

“Kau tidak sakit sebagaimana keluargamu. Sejak itu, kau sudah dipilih olehku,” katanya lagi. 

Kau tak mampu berkata-kata. 


Kau terbangun dengan kaos lepek karena keringat dingin. Kau membatin, sial, aku mimpi buruk lagi. Kau menoleh ke arah jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 02.15. Kau pun bertanya-tanya, hal ganjil itu kenapa terjadi lagi? Kau mengalihkan pandanganmu ke sekitar dan mendapati sosok kakek pertapa itu di pojokan kamar indekosmu. Jadi, semua itu benar adanya? Kakek pertapa itu bukanlah mimpi belaka? Maka, mulai malam itu, kau betul-betul membenci kakekmu yang memberikan kekuatannya lewat usapan di kepala. Kau lantas merenung, seandainya saat itu aku tidak datang menjenguk Kakek di saat-saat terakhirnya, apakah aku tidak perlu mendapatkan perlindungan dari sesosok kakek pertapa? Namun, bagaimana kalau kau memang ditakdirkan untuk menerima warisan itu? Saking lelahnya memikirkan hal yang sulit dipahami oleh nalar, kau pun berusaha tidur lagi dan berharap semua yang terjadi hanyalah ilusi.


2019

--

Gambar diambil dari: https://pixabay.com/photos/man-child-baby-grandfather-grandpa-3552247/
https://tongseng-dan-sate-gule-kambing-ponorogo.business.site/

11 Comments

  1. Serem banget gak sih dikasih warisan seorang kakek pertapa haha.Jadi ingat ceritanya KKN di desa penari, si Nur nya kan juga dilindungi oleh sesosok nenek-nenek.

    Atau jangan2 Heru ini teman kuliahnya Nur?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak tau sih seram atau tidaknya jika betulan terjadi. Saya cuma berusaha menulis sebaik-baiknya sebagaimana cerpen horor yang pernah saya baca. Kalau menimbulkan suatu efek ke pembaca, ya syukurlah percobaan pertama saya enggak gagal-gagal amat.

      Delete
  2. Ini entah pujian atau bukan, tapi kok pas baca justru saya malah ngerasa melankolia, padahal kan ini niatnya cerpen horor. Saya sendiri bukan penggemar horor, dan cuma sedikit baca fiksi horor (palingan dari curhat mistis di thread Kaskus).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama kok, bukan penggemar horor. Saya cuma pernah baca lewat thread Kaskus dan Twitter. Kayaknya buku juga cuma baca Poe dan Abdullah Harahap, terus yang proyek Eka, Intan, dan Ugo.

      Mungkin karena minim referensi akan tulisan horor ini jadi enggak bisa memberikan efek mencekam ataupun ngeri pas bikin cerpen. Justru sedih. Haha.

      Delete
  3. Kalau enggak datang, si kakek enggak bakalan mati kali. Haha. Sering denger cerita gitu, si orang ini ga mau mati kalau belum ketemu si ini atua si itu. Mending kalau orang yang dia mau temui itu bisa datang atau mau menyempatkan diri datang. Kalau enggak kan repot banget itu ngurusnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ceritanya memang dibikin dari mitos begituan, Man.

      Delete
  4. Aduh, pantesan gagal ya. Kalimat itu kecolongan ada pengulangannya. Makasih koreksinya, May. Haha.

    ReplyDelete
  5. Pernah denger dari cerita orang-orang, keris yang ada "penunggunya" memang katanya bisa pindah tempat sendiri gitu. Terbang malem-malem dan bersinar——kata sepupuku dulu, begini. Bener apa enggaknya, saya kurang paham, belum pernah lihat dg mata kepala sendiri.

    Misal di bus, saya lebih seneng duduk di kursi belakang sendiri kalau enggak ya depan sendiri. Biar bisa melihat jalan depan. Kalau di tengah-tengah kan sering kehalang sama kursi depannya tu, nah, jujur, itu sering nambah bikin pusing dan pengen mabuk *selain goncangan dari ban, tentu saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Referensi bisa pindah sendiri juga saya dengar dari perkataan orang-orang atau cerita di internet. Saya belum pernah lihat sendiri.

      Masih kurang paham juga sama persoalan mabuk kendaraan ini, apakah tempat duduk betulan bisa berpengaruh. Yang saya tahu sih, jangan makan terlalu kenyang sebelum naik kendaraan buat yang gampang mabukan.

      Delete
  6. Aku ngebayangin kalo sampe ada semacam makhluk halus yg menjaga kita gitu, serem ga yaaa rasanya :p. Kalo bisa jgn sampe kitanya bisa melihat sih. Aku bersyukur ga punya indera keenam gitu. G yakin apa bakal bisa kuat kalo sampe mampu melihat makhluk astral :D.

    Btw ttg makhluk penjaga ,aku sendiri ga percaya hal klenik sbnrnya, Krn takut dianggab menyekutukan Allah.tapi pas dulu saat masih jd teller , salah satu nasabahmu pernah bilang gini, "kamu ada pelindungnya. Jagain kamu trus"

    Trus dia cuma senyum abis itu pergi. :D . Aku LBH ke penasaran sih drpd takut pas denger. Bisa jd tuh nasabah omdo sekedar bluffing ato nakutin. Tp seandainya bener, aku ga mau ambil pusing.yg ptg ga gangguin aku hahahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Saya juga enggak akan siap kalau tiba-tiba melihat hal mistis.

      Iya, karena kan kita enggak tahu apakah ucapan orang itu iseng atau sungguhan. Yang penting mah minta perlindungannya tetap sama Allah.

      Kalau ada yang bilang begitu kepada saya, berusaha cuek aja. Selama tak ada hal-hal aneh yang terjadi.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.