Disforia Pengusik Kenangan

Disforia Pengusik Kenangan

Mengapa wajah-wajah penyesalan terkadang kembali hadir ketika lupa telah selesai menyapu bersih lantai kenangan? Sudahkah ia benar-benar melaksanakan tugasnya?

Aku tak punya bukti apa-apa selain harus menebak-nebak ini semua kesalahan siapa. Apakah ini salah ingatan yang terlalu kejam dan sanggup mengembalikan segala noda yang terhapus itu? Atau ini kesalahan mimpi yang ceroboh dan justru lalai membersihkan sudut-sudut pentingnya, sehingga debu masih tersisa. Sampai-sampai ia dapat menggerakkan massa. Mengajak duri-duri, pecahan beling, serta yang lain supaya berkumpul lagi dan menyentuh wilayah hati. Lantas mulai menusuk, menempel hingga busuk. Membuat diriku penuh luka kutuk.

Mungkin sakit itu sebetulnya sudah sembuh. Namun sebagaimana virus yang pandai mencari celah dalam kondisi lemah, tidak ada jaminan bahwa suatu hari setitik nila bisa mendatangkan kambuh. Seperti yang terjadi malam ini.

/2018







Sajak yang Sakit 

Pengkhianatanmu sudah bertalu-talu 
dan kau tak lagi berselimut malu. 

Biarlah setia berubah getir, 
tak lagi manis seperti janji terdahulu. 

Apakah hati yang telanjur pilu 
dapat mengubah sajak menjadi kelu? 

Lalu perlahan sajak itu sesak, 
kambuh, hingga tak pernah sembuh. 


/2018


Jika Kau Mencintai Orang Lain

Secepatnya tubuhku hendak kembali
menjadi batik tanpa kain.
Sebab pelukmu telah menjelma candu heroin.

Aku tak bisa menggantikan kasih sayangmu
dengan menghirup bubuk-bubuk kokain.

Aku harap keputusanmu adalah kelakar
atau kau sedang bermain-main.

Tapi jika memang itu benar,
akankah takdirku ditentukan olehmu
dengan lemparan koin?

Kau nanti akan bertanya, “Angka atau gambar?” 

Lalu kujawab lirih, “Terluka dan hambar.”

/2017

10 Comments

  1. keren, yog!

    enggak nyoba kirim ke media kayak revius atau basabasi? per kirim biasanya memang lima judul, sih, tapi punya banyak stok, kan?

    ReplyDelete
  2. Metaforanya keren-keren. Sepertinya saya harus sering baca tulisan kaya gini, biar makin menambah kosa kata.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya pujianmu berlebihan, tapi terima kasih buat apresiasinya.

      Delete
  3. "Kau adalah apa yang kau tulis"

    ReplyDelete
  4. Sesakit itu kah yog rasanya? Gak bisa kah rasanya beralih jadi menghangatkan atau membahagia? Iya sih, kenangan pahit pun akan pahit juga rasanya kalau diingat. Apalagi teringat pas ada lantunan musik tau tau ke stel dengan sendirinya. Pikiran yang tadinya normal tau tau beralih jadi kenangan. Disforia :"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak ingat lagi rasanya, itu saya kan menampilkan puisi lawas. Bukan baru ditulis.

      Delete
  5. Aku pernah ngalamin nih yg kyk gini.
    Sakit emang.. tapi sekarang udah biasa.
    Ya lama juga sih.. tahunan.
    Tiap malem nangis mulu :(
    Tapi sekarang udah gak.

    Aku bingung deh.
    Puisi sebagus ini ditolak..
    apalagi kalo yg bikin aku.. hahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya udah, jangan nangis tiap malam lagi. Capek. :(

      Apa yang menurut kamu bagus, belum tentu bagus di mata orang lain, Ran. Persoalan ditolak juga bisa jadi karena temanya klise. Hahaha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.