Selain menyenangkan, menulis itu juga menyebalkan. Mungkin gue selalu merasa bahagia setiap kali berhasil curhat lewat tulisan. Sebab hal itu sungguh bikin lega. Namun, sebelum bisa merasa lega begitu, pastinya ada rasa malas dan takut yang menghalanginya.
Kalau boleh jujur, gue kerap malas untuk memulai. Dari mulai membuka laptop, memikirkan kalimat pembuka yang menarik, dan menentukan judul. Kemudian, gue juga takut sama hasil tulisannya; nggak enak dibaca, yang baca sedikit, atau pembaca tidak mendapatkan manfaat dari tulisan itu.
Kala udah nyalain laptop dan pengin buka aplikasi Microsoft Word, gue malah melirik ke shortcut Warcraft, Plant vs Zombie, atau Sally Salon (kenapa permainan feminin ini belum juga gue uninstall, sih?). Gue jadi berpikir untuk main games dulu supaya nanti nulisnya lebih rileks. Sedihnya, gue malah keterusan main dan batal menulis.
Begitu berhasil menutup games dan Microsoft Word pun sudah terbuka, gue suka bingung harus memulai cerita dari mana. Kalimat pembuka sebetulnya cuma pancingan supaya tulisan dapat mengalir hingga berhasil menuangkan gagasan atau keresahan itu. Masalahnya, kalau pembukaan udah nggak enak dibaca, kalimat-kalimat selanjutnya pun sering gue hapus lagi. Kalau merasa sayang untuk dihapus, palingan gue pindahin ke dokumen baru dengan nama “Sampah”. Berharap suatu hari sampah-sampah itu bisa didaur ulang jadi tulisan lainnya.
Terus, gue ini termasuk orang yang kesusahan menulis kalau harus membuat judul terlebih dahulu. Akhirnya, waktu gue untuk update blog pun tertunda, sebab nggak tahu harus ngasih judul apa untuk tulisan yang sudah selesai itu. Seandainya boleh nggak pakai judul, mungkin draf-draf itu nggak akan terlalu menumpuk karena gue tinggal publikasi. Tapi, kalau nggak ketemu-ketemu judulnya, gue juga takut tulisan gue itu bakalan terlalu acak ketika diedit dan dibaca ulang. Paragraf yang satu dengan paragraf lainnya bisa-bisa sama sekali nggak ada keterkaitan.
Ya, Allah ... kenapa gue ribet amat, sih, mau menulis aja? Kayaknya orang lain nggak begini-begini amat—atau malah banyak yang begini juga?
O iya, kalau boleh jujur lagi, gue sebenarnya benci menulis. Sebab menulis bagi gue adalah sebuah kejujuran. Gue sering terlalu jujur di setiap curhatan. Rasanya semua terketik begitu saja di setiap tangan gue menari-nari di atas tuts laptop. Seperti sekarang misalnya, kepala gue mulai terasa penuh akan persoalan dalam menulis.