Perihal Dua Tulisan Terakhir

Jika nggak mampu menuliskannya dalam bentuk narasi, cobalah tulis dalam bentuk puisi. Begitulah yang saya coba terapkan dari dulu. Ya, kemarinan saya sedang bingung mengisi blog ini dengan narasi. Makanya, dua tulisan terakhir di blog ini berbentuk puisi. Mungkin ada orang lain yang menganggapnya tulisan biasa, tapi seenggaknya bagi saya itu tetaplah puisi.

Buktinya, beberapa komentar yang masuk pada tulisan Aku Ditelan Puisi itu bermacam-macam. Ada banyak makna yang coba mereka mengerti dalam tulisan tersebut. Ada yang mengatakan itu ialah curhatan saya akan rasa putus asa, sendirian, kesepian, kegagalan, kelam, dan gelap. Ada juga yang menebak-nebak kalau saya pengin berhenti menulis puisi. Ada yang mengira saya mau resign jadi bloger dan pindah ke Youtube. Bisa jadi komentar-komentar itu ada benarnya, bisa juga salah. 

Tapi yang saya heran, kenapa nggak ada yang mengaitkannya tentang surat untuk sesuatu hal atau seseorang, tentang patah hati, atau bisa juga tentang putus cinta, ya? Kalau saya yang jadi pembaca, mungkin kata “kau” itu bisa ditujukan untuk teman, mantan kekasih, atau apalah itu. Terus, saya juga pasti berpikir, “puisi” di tulisan itu artinya apa? Apakah “puisi” yang penulis maksud itu dapat diartikan secara harfiah? Bagaimana kalau itu kiasan?

sumber: https://pixabay.com/id/lama-kayu-desktop-model-tahun-3150426/

Lagian, apa tulisan itu betul-betul tentang saya? Bukan tentang keadaan orang lain yang coba saya bayangkan? Kamu bebas memilih kemungkinan-kemungkinan tersebut. Mungkin puisi itu tentang diri saya sendiri. Saya mungkin memilih bersembunyi di belakang kata-kata karena malu untuk jujur. Mungkin juga itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Bisa saja saya habis mendengarkan lagu, membaca buku, menonton film, atau kegiatan lain apa itu, sehingga saya mendapatkan ide untuk menulis puisi. Siapa yang benar-benar tahu kebenarannya?

Alasan saya sengaja nggak mau menjawab komentar-komentarnya, sebab begitu puisi dilempar ke publik, penyairnya itu telah mati. Oleh karena itu, pembaca dapat dengan bebas menafsirkannya. Lalu kenapa saya malah membahas kedua tulisan tersebut? Karena pernah ada yang pernah bilang kalau puisi itu terlalu rumit. Sampai-sampai penyairnya sendiri sering nggak mengerti apa yang sudah ia tulis. Ya, saat membaca ulang kadang saya menemukan pemahaman yang berbeda seperti pertama kali saya menuliskannya. Itulah kekaguman saya akan sebuah puisi.

Lalu, saya pun mulai beralih membaca komentar yang masuk di tulisan Tentang Mati. Ada satu komentar yang mengingatkan saya akan ketakutan yang dulu pernah saya rasakan. Gigip Andreas, salah satu pembaca blog ini, berkomentar di luar topik yang saya tulis itu. Ia menanyakan bagaimana nasib blog yang sudah berdomain kalau bloger itu suatu hari nanti mati? Ia sendiri tentu saja paham kalau blog yang masa berlaku domainnya sudah habis itu nggak akan bisa diakses lagi, kecuali dirinya memiliki admin (baik itu keluarga, teman, kekasih, atau siapa pun itu) untuk mengubahnya kembali seperti semula. Misalnya blog ini yang sudah .com akan kembali menjadi blogspot. 

Pada tahun 2015, ketika pertama kali meniatkan diri untuk memasang domain, saya juga pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Sayangnya, saya mudah mengalihkan perhatian saya kepada kematian. Saya berusaha menyibukkan diri agar mengecoh kematian yang suatu hari pasti akan datang itu. Setiap kali saya ingat hal itu lagi, saya juga akan berkata kepada diri saya sekaligus berdoa kalau saya akan berumur panjang. Jadi, nggak perlulah sekarang-sekarang ini merisaukan tentang blog yang kelak nggak ada pengurusnya dan nggak bisa diakses.

Tapi setelah puisi yang membicarakan kematian itu saya publikasi, saya nggak bisa lepas dari bayang-bayang kematian itu. Saya pun mulai mencari cara bagaimana mengatasi persoalan blog yang Gigip Andreas ingatkan kembali kepada saya ini. Mungkin saya bisa saja memberitahu adik saya (bisa juga teman atau orang lain yang saya percaya) akan kata sandi akun ini. Kemudian saya berwasiat kepadanya kalau suatu hari saya meninggal, tolong kembalikan blog ini menjadi blogspot seperti sedia kala. Namun, saya entah mengapa belum juga melakukannya dan justru takut dikira akan meninggal beneran (Ya, Allah ... saya merinding ngetiknya). 

Jadilah saya memikirkan cara-cara yang lain. Mungkin saya bisa bisa membuat blog baru dan menyalin tulisan-tulisan yang ada di sini. Tapi, rasa malas akan bikin blog baru jauh melebihi ketakutan saya akan permasalahan ini. Selagi kepala sedang berdebat antara rasa malas bikin blog baru dan solusinya, syukurnya saya langsung ingat kalau memiliki blog lainnya yang dulu iseng-iseng pernah saya buat. Bagi yang belum tahu, selain blog ini, saya juga memiliki akun Blogspot lainnya, Tumblr, dan WordPress. 

Sedihnya, akun Blogspot lainnya itu malah lupa kata sandinya karena waktu itu saya coba menjadi seorang anonim. Nggak ada kontak email lainnya ataupun nomor telepon yang saya masukkan untuk memulihkan akun tersebut. Lalu, Tumblr telah diblokir pemerintah dan nggak bisa diakses lagi, kecuali menggunakan VPN. Maka, satu-satunya cara termudah ialah menggunakan WordPress. 

Oleh karena itu, pada pagi hari tadi saya coba iseng-iseng membuka akun WordPress dan mengetik lima paragraf tentang keresahan saya ini. Di antara paragraf tersebut, saya memikirkan sebuah solusi  terbaik bagi diri saya atas persoalan ini. Jika penasaran, kamu bisa membacanya di: Menyimpan Bagian Terbaiknya.

9 Comments

  1. Tapi kalau mempertimbangkan value yang kita dapet dari TLD (apalagi kalau ada tujuan Blog untuk uang—terutama iklan) emang lumayan sih. Lebih keliatan profesional atau "serius" untuk blogging. Dan terlihat keren. Ini penting.

    By the way, ide mindahin konten masterpiece ke platform lain yang lebih fleksibel kayaknya boleh juga. Cerpen2 dari Blog lama (iya, yang pake TLD) gue pindahin ke Wattpas ah. 😄😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, makanya saya pasang domain ini, kan. :) Lebih singkat juga tanpa embel-embel platform bawaan.

      Sayangnya, saya nggak mainan Wattpad, dan hampir nggak pernah baca di sana. :D

      Delete
  2. Saya juga pernah punya pemikiran seperti ini, gimana nantinya kalau saya udah gak ada gimana nasib blog saya dan juga medsos saya. Oiya bang, kenapa gak nyoba migrasi ada semua tulisannya ke dalam wordpress, kan di blogspot ada tuh fiturnya. Tinggal back up kemudian dimasukin ke wordpress deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak pengin sekaligus, Mas Bimo. Pengin sambil nostalgia baca ulang tulisan-tulisan lama. Ehehe. :D

      Delete
  3. Kadang iri sama yang misuh dengan nasib blognya pas kematian datang. Saya masih sibuk mencari how to be myself on my website. Huh! Sebelum mampir ke blog ini, saya habis hapusin blog lama dan blog baru. Udh nggak mau ribet sama gimana kalo bla bla bla..

    Melipir dulu ke tulisan km yang di alamat sebelah dulu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kamu bukannya udah ketemu ya, Din? Mengulas buku-buku gitu? Ehehe. Menurut saya, itu bisa dijadiin konten yang mendominasi blogmu.

      Delete
  4. Saya malah mengiaskan ditelan puisi kemaren itu sebagai saya sendiri. Yang mati ditelan sesuatu yg disebut puisi. Indah, bermakna bagi diri sendiri, tapi dianggap demeh bagi org lain. Makanya cuma bisa ngerenungi pas abis ngebacanya.


    Bicara ttg nasib blog, sebagai org yg pernah berpikir untuk mati, saya sudh punya rencana untuk blog. Bahkan bagaimana caranya mengabarkan pada teman2 blog klo saya sudah mati agar mereka tau kenapa blog saya sudah tak berpenghuni.

    Caranya, saya membuat satu artikel di blog yg berisi kalimat yg menjelaskan kalo saya sudah mati. Misal "kalo postingan ini muncul, berarti saya sudah mati". Setelah itu di publish dengan schedule. Saya pasang seminggu kemudian. Nah, di minggu depan, sebelum post itu terbit, saya schedule lagi ke minggu depannya. Jadi gak bakal kepublish. Tapi klo mati dan gak bisa dischedule ulang, ya muncul deh di blog.

    Perkara ada pewarisnya, saya merencanakan untuk menghubungi org lain yg menurut saya punya cara pikir yg mirip. Jd bisa terurus. Teman yg dipercaya lah setidaknya. Caranya sama. Hubungi dgn media yg bisa schedule pesan dan cancel. Tapi belom nemu apaan. Iai pesannya ttg amanah dan password.

    Saya terlalu serius memikirkan kematian diri sendiri. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Komentarmu betul-betul membuktikan kalau setiap pembaca punya tafsirnya sendiri, Haw. Entah bagaimana, selalu ada tulisan yang bisa relevan sama diri sendiri. Haha. :)

      Loh, boleh juga itu metodenya. Saya nggak kepikiran kayak gitu. Hahaha. Habisan males, sih. Termasuk jarang jadwalin sampe jauh hari. Biasanya paling sering jadwalin sehari sebelumnya. Lebih sering lagi, untuk beberapa jam ke depan aja. :D

      Kadang, kalo udah merenungi kematian emang gitu, sih. :(

      Delete
  5. Ketika sampai di postingan ini, blog saya sudah beberapa minggu nggak dikasih makan. Rasanya sedih sekaligus bingung harus menulis hal apa lagi yang bisa sekiranya membuat blog saya terisi "roh" dan jiwanya kembali.

    Asli pengen nulis deui hahaha

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.