Tidak Ada Turki Hari Ini

“KAU yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang.”

Aku baru saja membaca buku puisi karya Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini. Entahlah, kenapa aku begitu suka dengan puisi-puisi yang diciptakan Mas Aan itu. Apalagi di bagian “Kau yang dingin di kenang.” Hm ... rasa dingin itu. Ya, buatku kenangan memang terasa dingin. Apalagi kenangan bersama seorang perempuan. Perempuan yang ... ah, nanti sajalah aku ceritanya.

Ada yang lebih dingin dari sebuah kenangan tentang perempuan itu. Tahukah kau apa itu? Kutub Utara dan Kutub Selatan? Ya, tentu saja hal itu benar. Namun, bukanlah itu jawabannya. Lagian, aku masih belum percaya kalau di sana dingin. Aku belum pernah merasakannya secara langsung, sebab kupikir Turki juga lebih dingin dari kenangan bersama perempuan itu.



Sudah hampir tiga bulan aku berada di Turki. Nggak terasa waktu berlari begitu cepat. Aku sendiri tidak sanggup mengejarnya. Aku masih merasa begini-begini saja. Aku bahkan masih sulit melupakan perempuan itu. Uh, lagi-lagi perempuan itu. Maaf, aku khilaf. Lupakan sejenak soal dia. Mari kembali bicarakan Turki.

Pertama kali aku datang ke sini, aku merasa Turki lebih dingin dari Puncak Bogor, Jawa Barat. Jaket merah marun yang kukenakan ini rasanya masih kurang tebal. Angin Desember begitu menusuk dan masuk ke tulang-tulangku. Di saat itu, aku langsung melihat ponsel untuk mengecek suhunya. Aku melihat angka 19 dengan huruf C di sampingnya. Yang berarti itu adalah 19 derajat Celcius. Jujur, aku nggak begitu suka udara dingin. Terlebih lagi nggak ada yang bisa kupeluk saat ini. Menyebalkan sekali!

Lalu, pada malam harinya cuaca di sini bahkan mencapai 14 derajat Celcius. Yang artinya: dingin banget, bangsat! Entahlah, kenapa aku bisa merasakan dingin sebegitu dahsyatnya. Padahal, di Turki nggak ada alay-alay yang suka menari “cuci-jemur-cuci-jemur” yang dahsyat sekali itu pada setiap pagi.

Hari-hariku selama di Turki sebenarnya sangat indah kalau dibandingkan dengan Indonesia. Di sini, aku tidak lagi melihat kemacetan yang tak berkesudahan setiap jam-jam berangkat dan pulang kerja seperti di Jakarta. Lalu lintas di Turki begitu lancar. Selain itu, banyak hal baru yang bisa aku lakukan di sini. Aku bisa bertemu teman-teman baru, aku bisa mencicipi aneka makanan baru, dan aku bisa menemukan perempuan ....

Ah, sial! Ternyata aku masih sulit melupakan perempuan itu. Aku tidak bisa menemukan perempuan baru di sini. Hatiku tidak dapat berdusta. Aku masih mencintainya. Meski aku sudah berusaha melupakannya, tapi tetap saja dia—perempuan itu—begitu dingin di kenang.

Sekali lagi maaf kalau aku tidak fokus dan malah membahas perempuan itu lagi. Aku akan berjanji menceritakannya nanti. Sekarang, aku ingin bercerita mengenai keadaan di Turki saja.

Pada malam pertama aku menginap di asrama daerah Kardelen. Suasana asramanya tidak begitu berbeda dengan asrama yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur—asrama yang aku tinggali selama kuliah di Jakarta. Semua itu karena beberapa temanku dari Jakarta (yang juga terpilih dalam program belajar ke Turki) menginap bersamaku. Yang membedakan hanyalah di sini ada tambahan orang-orang Turki dan negara lain entah apa, kasurnya sedikit lebih besar, serta udaranya lebih dingin. Itu saja. Tidak ada yang spesial.

Atau itu hanya perasaan sementaraku saja? Sebab aku belum terbiasa dengan keadaan di Turki? Makanya, aku sama sekali tidak bisa melihat hal yang spesial di sini? Lalu cuma bisa membanding-bandingkan keadaannya dengan negara Indonesia?
 
Sejujurnya, aku memang rindu dengan Indonesia, tepatnya Jakarta. Oleh karena itu, aku mulai mengingat-ingat kenangan sebelum pergi ke Turki. Aku kangen dengan keluargaku dan rumah, yang mana adalah tempatku bernaung selama hidup di dunia ini. Kemudian aku kangen bisa bertemu dengan teman-teman bloger wilayah Jabodetabek.

Aku masih ingat jelas sewaktu aku dan teman-teman kopdar ke Taman Mini Indonesia Indah pada Februari 2016. Saat itu, tidak disangka-sangka kami kedatangan tamu seorang bloger dari Pontianak, Hawadis—pemilik blog howhaw.com.



Lalu, beberapa bulan setelahnya aku dan beberapa teman bloger juga sempat bertemu dengan bidadari. Um, kami tidak kopdar di surga sayangnya, sebab bidadari yang ini masih berstatus magang, yakni Deva. Selain wawasan yang bertambah, menjadi bloger ternyata juga menambah lingkaran pertemananku.



Selain dengan teman-teman, aku pun rindu dengan kulinernya. Dari mulai ketoprak, gado-gado, hingga cilok. Uh, makanan dengan bumbu sambal kacang yang sungguh mantap di lidah memang Indonesia juaranya. Apalagi aku paling nggak bisa melupakan makanan bernama: Nasi Padang. Aku tiba-tiba membayangkan nasi putihnya yang berada di tengah piring. Ayam bakar atau rendang berada di sampingnya. Tetesan kuah rendangnya itu pun menghiasi nasi putih menjadi agak cokelat. Ditambah siraman beberapa jenis kuah, lalu lalapan daun singkong. Kemudian jangan lupakan bagian terakhirnya: sambal hijau yang pedasnya maknyus.

Di tengah-tengah aku merindukan beberapa hal yang ada di Indonesia, tentunya ingatanku akan otomatis tertuju kepada perempuan itu. Aku masih ingat betul kala melupakan dirinya yang sikapnya mendadak berubah. Aku waktu itu jadi sering nonton bioskop sendirian demi membunuh kesepian. Dalam sehari, mungkin aku bisa menonton 2-3 film. Tidak ada lagi pesan dan kabar darinya entah kenapa sungguh membuatku nelangsa. Menghabiskan waktu dengan menonton bioskop adalah cara yang kupilih demi memudarkan segala hal tentangnya.

Ah, baiklah. Mungkin sudah saatnya aku mencerita­kan dia.

***

Nama perempuan itu adalah Wulansari. Aku pertama kali mengenalnya hanya lewat blog. Aku suka dengan cerita-cerita gesrek yang dia tuliskan di blognya. Baru kali ini aku menemukan perempuan yang lucu seperti dia. Dia tidak malu menceritakan aib-aibnya di blog. Selain itu, tentu saja karena dia berwajah manis. Namun sayang, dia berada jauh sekali. Ya, dia tinggal di Pekanbaru. Bagiku, itu cukup jauh jaraknya dari Jakarta.

Terkadang, aku masih tak mengerti akan sebuah cinta. Kenapa aku bisa jatuh cinta kepadanya? Padahal, aku belum pernah bertemu dengan Wulan. Aku sadar, digital love memang terdengar goblok. Kami cuma bisa mengobrol via chat atau telepon. Mentok-mentok palingan juga video call. Rasanya akan berbeda dengan pertemuan langsung. Namun, kalau sudah urusan hati, logika bisa berbuat apa? Logika nggak berguna lagi. Persetan dengan logika dan jarak, aku cinta Wulan!

Rasa itu pun semakin menggebu-gebu. Aku tidak mengerti hubungan ini namanya apa? Apakah kami, aku dan Wulan, sudah berpacaran? Meskipun aku tidak pernah meminta dia menjadi pacarnya, tapi kami berdua sudah cukup bahagia dan saling memanggil “sayang”. Kurasa, semakin dewasanya seseorang, tanggal jadian dan tembak-menembak itu nggak penting lagi. Yang penting kami bisa berkomitmen dan memilih terus bersama sampai menikah nanti. Sampai punya anak. Sampai renta. Sampai kami berdua mati dan kisah itu berakhir bahagia. Duh, kenapa aku jadi berkhayal terlalu jauh begini?

Mendadak aku mulai kepikiran untuk menemui Wulan. Namun, untuk membeli tiket pesawat ke sana pun aku merasa tak mampu. Mungkin uang tabunganku cukup untuk pergi, tapi untuk balik ke Jakarta-nya lagi bagaimana? Apa aku harus mengemis di Pekanbaru? Nggak mungkin. Itu ide konyol sekali! Mengemis di sana mah pasti cuma dapet receh. Ya, benar-benar receh. Bukan receh berupa dolar sejumlah $3.800. Oleh karena itu, di suatu hari aku mencoba berbicara dengan ayahku.

*

“Yah, Darma mau ketemu sama temen di Pekanbaru. Boleh, ya?” tanyaku pada suatu malam ketika ayahku sedang menonton televisi.

Ayahku hanya menoleh sebentar, lalu kembali fokus menyaksikan berita kriminal. Aku mendengarnya samar-samar kalau berita itu tentang korban yang dimutilasi. 

“Boleh nggak, Yah?” tanyaku sekali lagi.

“Kamu kira tiket pesawat itu nggak mahal?” jawab ayahku seraya mematikan televisi. “Jangan buang-buang duit sembarangan!”

“Tapi, Yah ... Darma ada tabungan, kok.”

“Emang penting banget apa? Temen kamu aja yang suruh ke sini!” ujar ayahku semakin sewot.

“Dia di sana kan kerja. Kayaknya nggak mungkin juga dia bisa ke sini.”

“Alah, pokoknya nggak boleh kamu ke sana!”

Setelah diomeli habis-habisan oleh ayahku, akhirnya aku harus mengatakan niat sebenar­nya ke Pekanbaru. Aku pun mengatakan yang lebih jujur, “Darma cinta sama dia soalnya, Yah.”

Keluar juga kalimat sialan yang penuh kejujuran itu. Ayahku terdiam. Menatap mataku lama. Entah apa yang Ayah lihat dari mataku. Yang pasti mataku sih nggak jereng. Nggak ada beleknya juga. Oh, mataku pasti terlihat binar dan mengatakan kejujuran. Kejujuran seseorang yang jatuh cinta.

“Hm ...,” ayahku bergumam.

Aku masih menunduk seraya menunggu responsnya.

“Kalau gitu, Ayah temani kamu ke sana,” ujar ayahku. “Kamu kalau dibiarin pergi sendirian bisa hilang. Diculik. Terus dimutilasi. Kemudian organ-organ tubuhmu dijual. Harga ginjal itu bisa 500 juta, Darma! Kamu nggak lihat berita kejahatan barusan? Ayah nggak mau kamu kenapa-kenapa,” lanjut ayahku sambil memegang pundakku dengan erat.

Air mataku tumpah. Aku segera memeluk ayahku. Entah harus berterima kasih seperti apa. Aku nggak menyangka, niat untuk menemui Wulan bisa kesampaian. Ayahku setelah itu langsung memesan tiket pesawat secara online.

Beberapa hari lagi, aku akan bisa mengobrol langsung dengan Wulan. Aku bisa melihat wajah manisnya secara langsung. Aku bisa mendengar tawa renyahnya secara lang­sung. Nggak ada lagi jarak yang memisahkan kami. Oh, bahagianya!

*

Di Pekanbaru, nggak begitu berbeda jauh sama Jakarta. Kendaraan di sini juga sama banyaknya dan cukup macet. Banyak orang yang jualan di sini. Minimarket seperti Alfamart atau Indomart juga ada di sini. Kota ini tidak ketinggalan zaman seperti dugaanku sebelumnya. Paling yang membedakannya, di Pekanbaru nggak ada Monas seperti di Jakarta. Oke, itu mah aku aja yang ngawur.

Pertama kali aku bertemu Wulan, aku deg-degan bukan main. Wajahnya sama seperti di foto. Aslinya malah lebih manis. Fotonya nggak editan atau memakai banyak filter. Tidak seperti pengalaman-pengalamanku sebelumnya. Di foto sih cakep banget mirip boneka Barbie. Eh, giliran ketemuan langsung, dianya kayak boneka jenglot. Hm, ngomong-ngomong jenglot itu termasuk boneka bukan, sih?

Lupakan jenglot, kembali lagi ke Wulan.

Aku berkenalan dengan kedua orang tua Wulan. Mereka menyambut aku dan ayahku dengan hangat dan baik. Ini semua rasanya seperti mimpi. Aku tidak menyangka kalau aku berada jauh sekali dari Jakarta. Di sini jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta. Kami yang biasanya hanya bertukar cerita menggunakan Line karena terhalang jarak, lalu kini aku malah bisa bercerita di hadapannya dan duduk ber­duaan.

“Gila lu, Beh (panggilan spesial Wulan untukku). Gue kaget pas lu ngirimin foto tiket pesawat itu. Lu beneran dateng ke sini ternyata.”

Aku hanya tersenyum. Aku juga nggak tau sama keputusan gila ini. Kenapa bisa-bisanya memilih nekat menemui Wulan atas nama cinta? Padahal, aku sebelumnya juga nggak tau apakah Wulan itu nyata. Bisa saja, kan, Wulan itu sebenarnya cowok? Dia hanya menggunakan foto yang dia dapat dari Google. Syukurnya, dia perempuan asli. Dia memang nyata. Nyata sekali. 

Nggak banyak yang bisa aku dan Wulan lakukan selama di Pekanbaru. Aku kebanyakan hanya ngobrol-ngobrol seputar dunia blog. Dia di sana juga sibuk dengan pekerjaannya. Pada hari Minggu, barulah aku diajak Wulan olahraga pagi. Ya, kalau di Jakarta seperti CFD (Car Free Day) gitu deh. Selama olahraga, aku melihat banyak sekali perempuan cantik. Dedek-dedek gemes Pekanbaru boleh juga. Nggak kalah cantik sama perempuan Jakarta. Pantas saja, aku bisa jatuh cinta sama perawan Pekanbaru ini.

“Ah, cemen lu, Beh! Baru lari bentar udah istirahat mulu,” ledek Wulan kepadaku.

“Ya, maklum masih capek. Perjalanan Jakarta ke sini kan begitu jauh,” jawabku ngeles.

Wulan tertawa mendengar jawabanku. Mungkin di hatinya, dia begitu bahagia karena ada laki-laki bodoh yang rela datang jauh-jauh cuma untuk menemuinya. Sejauh yang kutahu, bodoh dan tulus itu memang beda tipis. Entahlah aku termasuk yang mana.

Setelah capek olahraga dan diajak Wulan muter-muter daerah Pekanbaru yang asing sekali buatku ini, nggak terasa besok malam aku harus kembali ke Jakarta. Aku harus kembali dipisahkan oleh jarak. Aku bakal merindukan momen ini. Kenangan yang nggak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Kenangan ini terlalu indah dan manis. Sampai-sampai aku jadi takut kena kencing manis.


Sehabis kejadian bahagia itu, entah kenapa ada yang berbeda dengan Wulan. Dua minggu setelah aku menemuinya, dia bersikap tidak seperti biasanya. Chat dariku nggak pernah ada balasan. Teleponku juga tidak pernah diangkat. Aku nggak mengerti kenapa malah jadi seperti ini, padahal seminggu pertama aku kembali ke Jakarta, dia menunjukkan kalau dirinya itu bahagia sekali. Terlihat jelas dari tulisan di blognya ketika menceritakan kisahku yang rela datang untuk menemuinya. Aku merasa kalau dia tambah sayang kepadaku. Namun, sekarang … semuanya terasa sia-sia.

Apa salahku sampai dia tidak mau berinteraksi lagi denganku? Apa aku melakukan kesalahan fatal? Tapi aku merasa tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Aku sampai saat ini sama sekali tidak tahu apa kesalahanku itu. Apa dia kecewa karena aku di kenyataan tidak sebaik yang ia pikir sebelum kami bertemu? Rasanya kalau begini aku lebih baik tidak perlu bertemu dengannya secara langsung. Biarlah kami tetap berinteraksi maya. Yang penting, dia selalu ada dan rajin bertukar kabar denganku.

Sayangnya, hal itu sudah terjadi. Apa yang terjadi sekarang, ya, mau nggak mau mesti kuterima. Meskipun sekarang dia sudah berbeda. Dia bukan lagi Wulan yang aku kenal. Entahlah kenapa dia menjauhiku. Tapi, tolonglah untuk memberikan alasan kenapa harus pergi dari hidupku. Aku bukan jemuran yang digantung sampai kering begini. Aku manusia. Aku punya perasaan. Jangan buat aku berharap banyak. Jangan siksa aku terus-terusan seperti ini!

***

Taik! Sialan! Bangsat! Aku jadi teringat semua momen itu. Pipiku juga mendadak basah sehabis mengenang Wulan. Sejujurnya, itu adalah momen terindah dalam hidupku. Itu adalah kali pertama aku pergi jauh. Menyeberangi pulau menaiki pesawat demi bertemu seseorang yang kusayang. Dan kali ini, aku malah berada lebih jauh lagi. Aku tidak lagi pergi ke luar pulau. Aku sudah keluar dari negara Indonesia. Aku berada lebih jauh dari Wulan.

Sedang asyik-asyiknya mengenang masa lalu, suara temanku membuyarkan lamunan itu.

“Dar, busnya udah mau berangkat. Buruan siap-siap!” panggil Agus, teman sekamarku.

“Ah, ganggu orang aja lu,” kataku. Syukurnya posisi dudukku sedang membelakanginya. Kan nggak lucu kalau aku ketahuan lagi menangis begini.

“Buruan gih, lu mau ditinggal?”

“Iya-iya, sabar, jangan kebanyakan bacot dah.”

Aku segera mengambil tas di kamarku dan siap-siap menuju bus. Tidak lupa juga untuk menghapus air mata yang jatuh ke pipi. Aku tidak mau terlihat cemen olehnya. Jadi, aku hari ini rencananya berangkat menuju Hagia Sofia bersama teman-teman yang lain dan para guru. Lumayanlah, semoga piknik ini bisa menghibur diriku.

Namun, sesampainya di sana, ternyata kami semua tidak diajak masuk ke dalam. Kami hanya melihatnya dari luar. Bermain-main di halamannya. Sialan! Kecewa sekali aku nggak bisa masuk ke museum yang dari dulu aku impi-impikan ini. Kami semua akhirnya tetap berada di luar Hagia Sofia sampai malam hari.

Suasananya pada malam hari begitu memesona. Aku melihat air mancur warna-warni di taman yang masih satu area dengan Hagia Sofia. Cantik sekali air mancur itu. Lumayanlah, warna-warni air mancur itu bisa untuk mewarnai hidupku yang akhir-akhir ini terlalu hitam dan cenderung gelap.

Malamnya, kami semua menginap di Ankara. Kami kira-kira akan tinggal di sini selama sebulan. Sedihnya, baru seminggu pertama di Ankara, tiba-tiba Agus malah jatuh sakit. Dia sakit usus buntu karena kebanyakan makan mi instan sewaktu di Jakarta. Setiap hari libur, mau tak mau akhirnya aku harus menjenguknya. Aku lupa nama rumah sakitnya. Karena namanya memang begitu ribet dan sulit dihafal. Di Ankara ini, aku sekamar bersama orang-orang Muhajirin, baik dari negara Indonesia maupun Turki. Di kamar ini kami tidur ramai-ramai sekitar belasan orang, yang tentu saja laki-laki semua. Tak ada lubang, hanya batangan tumpul. Membosankan!

Intinya, sih, orang Indonesia di Ankara ini sudah kukenal semuanya seperti pertama kali menginap di Kardelen. Dari yang selama ini aku perhatikan, kadang aku masih nggak mengerti sama mereka semua yang sok-sokan olahraga malam di kamar. Entah itu push up, sit up, atau angkat beban. Sok keren sekali mereka. Kebanyakan gaya! Palingan mah kalau di kamar mandi mereka semua olahraga tangan. Ya, apalagi kalau bukan merancap?

Merancap memang nikmat. Aku juga suka olahraga tangan itu. Seminggu bisa dua kali aku melakukannya. Seperti malam ini, misalnya. Di asrama yang ada di kota Ankara, di balik selimut tebal ini, aku mulai merancap. Setelah keluar dan celana dalamku basah, aku pun lemas dan tertidur pulas.


Aku baru saja bertemu dengan cewek Turki di mobil bernama Dolmos. Itu adalah sejenis angkot, tapi tempat duduknya sangat bagus semacam bus TransJakarta. Kupikir, perempuan itu masih seumuran denganku. Wajah dan pipinya begitu meng­gemaskan. Alisnya tebal secara natural tanpa harus melukis alis seperti cewek-cewek kekinian. Dan yang terpenting, ia mengenakan jilbab berwarna abu-abu, warna kesukaanku. Tentu saja tipe favoritku adalah perempuan ber­jilbab.

Tapi sayang, aku tidak bisa mengajaknya berkenalan karena belum lancar berbahasa Turki. Aku masih kesulitan menghafalnya. Lagi pula, aku memang terhitung baru sebentar berada di Turki. Terus, bahasa Inggris juga masih belum lancar. Rasanya tidak sopan juga berkenalan dengan orang asing hanya bermodalkan bahasa tarzan.

Siang itu, aku dan teman-temanku, dan tentu saja didampingi juga oleh para guru, rencananya sedang dalam perjalanan menuju Restoran Cina. Banyak sekali pemandangan baru yang kulihat dari jendela Dolmos ini. Bangunan-bangunan di Turki bentuknya cukup unik. Terkadang, kalau beruntung bisa melihat balon udara di angkasa.

Sesampainya di restoran itu, aku melihat banyak sekali makanan yang namanya aneh dan harganya cukup mahal. Akhirnya, pilihanku jatuh kepada nasi goreng yang harganya paling terjangkau. Jauh-jauh ke Turki, aku hanya makan nasi goreng. Yah, beginilah nasib ke Turki untuk jadi pelajar. Padahal, nasi goreng di Jakarta juga banyak. Rasa nasi goreng di sini paling gitu-gitu aja. Nggak banyak perbedaan. Justru lebih enak di Jakarta kalau boleh kutebak. Coba aja nasi goreng di Turki ini kalau dimakan dapat menghapus dosa-dosaku selama di Indonesia. Oke, harapanku barusan tolol sekali.

Sehabis makan, kami dibiarkan bebas mau ke mana saja oleh para guru. Namun, aku nggak tau harus ke mana. Aku tidak punya tujuan. Di sini, aku belum tahu tempat apa saja yang asyik untuk dijelajahi. Beberapa temanku mengajak untuk ke halaman Hagia Sophia lagi. Tapi, aku langsung menolaknya. 

Aku sedang merasa kosong. Makanya, sekarang ini aku lebih memilih untuk pulang ke asrama dan kembali menaiki Dolmos seorang diri. Di perjalanan pulang menuju asrama ini, aku mendadak benar-benar rindu sama Indonesia. Aku pun menatap nanar ke luar jendela. Aku tidak begitu memperhatikan pemandangannya karena pikiran ini membawaku jauh ke negara asalku. Aku rindu dengan orang tuaku. Aku berharap mobil ini membawaku pulang ke Jakarta. Tujuan Dolmos ini adalah Terminal Blok M, Jakarta Selatan.

Ya, khayalan gila ini mendadak kambuh lagi. Aku nggak tau kenapa rasanya ingin segera kembali ke Indonesia. Terkadang banyak ide gila di dalam kepalaku. Bagaimana kalau aku melakukan perbuatan jahat di sini, ya? Supaya aku dideportasi dari Turki. Namun, kalau memang benar itu aku akan dideportasi dan dapat kembali ke Jakarta. Kalau aku malah masuk penjara Turki, nanti gimana? Menyedihkan sekali pasti. Di dalam penjara, bisa-bisa aku disodomi. Ya, di Turki juga ada yang homo, kan?

Mungkin aku harus meluruskan kembali niatku berada di sini. Aku kan di sini untuk belajar agama. Aku nggak boleh mengecewakan orang tuaku. Aku mau membuat mereka bangga. Mungkin aku juga bisa mencari jodoh di sini. Bagiku, perempuan di Turki memang tidak secantik perempuan di Indonesia. Entahlah, mungkin memang seleraku yang aneh begini.

Tapi yang jelas, aku harus bisa melupakan Wulan. Aku tak ingin berharap lagi kepada dia. Aku akan menunjukkan kepada dia, oh tidak ... aku tidak perlu menunjukkan apa-apa. Aku hanya perlu membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku mampu mengikhlaskannya. Kenangan akan dirinya memang begitu dingin, tapi Turki jauh lebih dingin. Dan aku pasti sanggup melawan kedua rasa dingin itu.

Lagian, aku harus betah di sini. Meskipun orang-orang di sini masih terasa asing. Meskipun aku merasa tidak ada Turki kemarin, karena aku kemarin-kemarin selalu mengingat masa lalu dan tidak bisa fokus pada hari ini. Meskipun tidak ada Turki hari ini, sebab aku masih berusaha melupakan kenangan yang ada di Indonesia sampai saat ini. Dan tentunya melupakan Wulan.

Namun, aku percaya kalau besok masih ada Turki. Aku sungguh percaya. Hari esok akan lebih baik dan bahagia. Setelah aku merenung sepanjang perjalanan sambil melihat jendela Dolmos ini, aku mulai merasa mampu bertahan di sini selama tiga tahun. Tiga tahun tidaklah lama. Itu hanya sebentar. 

Lagian, lama atau sebentar itu hanyalah soal waktu. Hanya soal perasaanku. Aku merasa bahagia atau sedih selama tiga tahun itu juga tergantung pada diriku sendiri. Bukan tergantung pada Wulan. Bukan juga pada orang lain. Aku pikir, diriku ini hanya perlu beradaptasi. Aku cuma perlu melihat sesuatu hal dari sudut pandang lain. Aku juga harus mulai mencintai dan memfokuskan diri atas apa yang sekarang telah menjadi kehidupanku. Maka, mulai besok aku akan menaklukkan Turki.

--

PS: Tulisan ini gue bikin dan didedikasikan untuk Darma Kusumah, seorang teman yang sedang menempuh jalan hidupnya di negara Turki. Kisah ini sesungguhnya fiksi, ya meskipun ada beberapa bagian yang terinspirasi dari kejadian nyata.

Tulisan ini pertama kali ditulis pada 10 Desember 2016, yang akhirnya gue jadikan karya berbentuk e-book, sebuah proyek bersama WIRDY. Lalu, ketika lagi iseng membaca ulang, gue pikir kok tulisan ini jelek banget. Tulisannya mungkin bisa dikatakan sampah. Padahal, ini ditulisnya juga belum genap setahun. Tapi gue langsung merasa perlu banyak perbaikan di beberapa bagian. Akhirnya, gue pun mulai membuang atau mengganti beberapa bagian yang nggak sreg dibaca. Maka, jadilah cerita baru yang seperti ini. Semoga orang yang sebelumnya sudah pernah membaca bisa menemukan adanya perubahan dan rasa yang berbeda. Ya, setidaknya bisa lebih baik dari tulisan sebelumnya. Sampah masih bisa didaur ulang, kan? Semoga kamu bisa lebih menikmati ceritanya di tulisan yang sudah gue edit ini.

35 Comments

  1. Jadi ini kisah yang terinspirasi dari bukunya Aan Mansyur?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca ulang lagi coba. :p Tapi kalau Bang Mukhsin cuma baca kalimat pembukanya aja, ya mungkin bisa menyimpulkan seperti itu. Hehe.

      Delete
  2. Saya kira cewek Turki itu namanya Dolmos, ternyata itu nama angkot

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Aneh juga kalau Dolmos jadi nama perempuan.

      Delete
  3. mas darma, kalo main ke Pekanbaru, nanti saya traktir es krim aice deh wkkwkwkwk

    bagus mas tulisannya, detail dan jelas suasana, karakter dan percakapannya..

    terus... saya jadi kangen ngumpul2 blogger sama teman nih T.T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba baca komentar ini, Dar.

      Saya pikir ini masih terlalu panjang dan kurang padat, Mas. Deskripsi tentang Turki juga masih kurang banget. Padahal udah coba diedit dari tulisan sebelumnya yang lebih jelek dari tulisan ini. :( Fokusnya lebih ke cerita orang yang susah adaptasi di tempat baru juga, sih. Haha.

      Delete
  4. Kenapa harus ada adegan merancap, sih? Kan jadi nggak keren kalau dibikin headline, "Pria Ini Jauh-Jauh ke Turki hanya untuk Merancap Dua Kali Seminggu"

    Kesehatan lututmu itu lho, bro...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun, adegan jorok yang buat lelucon masih luput dari pengeditan ternyata. Pas waktu pertama kali bikin juga bingung kenapa mesti ada hal beginian. Haha. Saya emang bercandaannya mesum. :')

      Iya, ya. Kasihan, kan, dengkulnya Darma kopong gitu. :(

      Delete
  5. May, ini gue bikinnya cerita fiksi, loh. :|

    ReplyDelete
  6. Gue jadi bernostalgia kembali habis baca ini hahahaa.

    Btw, mau ngasih pesan aja nih. Gaboleh tidur pake celana dalam yg basah. Nanti masuk angin.
    Tq

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ciyeee~ Tapi kalau basahnya itu hangat, gimana?

      Delete
  7. aduh nyesek
    jadi inget Elif
    eh emang kadang tulisan lama kalo dibaca jadi aneh
    pingin ngedit lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan aneh lagi, tapi ngerasa jeleknya kebangetan. Haha.

      Delete
  8. Gue yakin kalo Darma suka meracap, itu bagain dari fiksi, ya kan?! YA KAN!
    yang suka meracap saya rasa si penulisnya
    muahahahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, beginilah risiko menuliskan cerita. Ketika ada adegan jorok, dianggap pengalaman penulisnya. :))

      Delete
  9. Kisah nyata yang di fiksikan? :D :p

    ReplyDelete
  10. Awesome

    d(u,u)b

    Kirain tadi awalnya ini fiksi. Terus di tengah-tengah liat foto-fotonya jadi ngeh kalau ini non-fiksi. Lah sambunganya fiksi lagi?

    Hmmmmmm #BingungSendiri

    Hahahahha
    Belum pernah baca versi sebelumnya sih, but this one is good

    P.S.
    Untuk ke depannya mungkin jangan pernah bilang karya kita itu sampah lagi ya, yoga. Hargai karya sejelek apapun rasanya pas dibaca ulang di kemudian hari.

    Masih inget banget dulu pas lagi seminar kepenulisan pernah dinasehatin sama mbak W.Ariestanti (editornya Raditya dika) dan sekaligus penulis buku-buku traveling best seller, bahwa sejelek-jeleknya karya lama kita, itu nggak boleh dibilang sampah. Karna kalau kita sendiri nggak enghargai karya kita gimana orang lain akan menghargai. Dan saat itu baru mikir, eh bener juga ya. Gitu wkwkwkwk

    Rendah hati boleh, rendah diri jangan ya ga.
    Bilang aja "Belum terlalu bagus" atau "Masih butuh banyak revisi" kan jatohnya sama, tapi kesannya lebih berharga ^^

    Keep it up!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan ini fiksi, kok. Fotonya buat mendukung aja, sih. Hahaha. Setelah baca ini, saya tiba-tiba masih merasa jelek lagi. Kayaknya nggak akan pernah habis rasa jeleknya, kecuali ada editor yang memberi tahu kalau itu sudah cukup baik. :(

      Sebetulnya saya menghargai karya ini, Mas Aul. Cuma emang saya kadang terlalu jahat sama karya sendiri. Tega dengan bilang tulisan lama sampah, tapi berkat itu saya berusaha untuk menulis lebih baik lagi. Wqwq. Dan, dalam benak saya kata "sampah" itu pun bisa bermanfaat karena bisa didaur ulang. :D

      Eniwei, makasih sudah mengingatkan saya. Semoga tidak rendah diri lagi. :)

      Delete
  11. Ayahnya darma drama banget dah ah, kirain ada iklannya pas beli tiket online di traveloka wkwkwk

    Aduh bener tuh, kenapa bisa gitu sih wulan tega bener sama darma coba jelasin, kan kali aja kalo diomongin bisa sama-sama dicari solusinya wkwkwk

    Oh ya bang yoga, bang darma di turki di ankara atau dimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya nggak lagi ngiklan. Ehehe.

      Yah, ini kan cerita dari sudut pandang Darma. Nggak tau gimana sudut pandang Wulan.

      Kurang tahu lagi kabarnya deh. Lupa~

      Delete
  12. oh jadi perempuan itu jauh yaa di pekanbaru?

    btw, pernah nginep di asrama rawamangun, asrama apa tuh?
    sunan giri bukan? hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kan sudah tertulis, Mbak. Sayangnya saya lupa. Nanti coba saya tanya si Darma deh.

      Delete
  13. Karya lama yang di Daur ulang memang kadang menjadikan lebih keren

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kira-kira perlu berapa kali daur ulang biar jadi bener-bener keren?

      Delete
  14. Baca ini lagi-lagi bikin mikir kalau kamu memang pernah kerasukan Darma. Dulu pas kita bagi-bagi draf alias saling diskusiin draf tulisan buat ebook, aku senyam-senyum kagum trenyuh baca ini. Benar-benar nge-Darma bet. Kayak Darma yang nulis.

    Cuman aku lupa-lupa ingat sih, yang soal merancap emang udah ada apa baru ditambahin sekarang ya, Yogs? Eh kayaknya emang udah ada sih ya. Kalau gitu, berarti memang jokes merancap tak akan pudar lucunya bagiku. Masih bikin ngakak aja anjir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, emang pas menuliskan cerita ini, saya berusaha masuk ke karakter orang lain, yakni Darma. Entah masih ada bagian diri saya yang ikut serta atau nggak. :|

      Udah ada dari lama, kok. Mungkin ada yang diperbaiki aja kalimatnya. Hahaha. Komedi mesum masih ada penikmatnya nih. Ehe~

      Delete
  15. Pertama kali baca, yakin banget ini pengalaman. Ditengah2, kaget, ternyata fiksi. Gue kalo dengar Turki jadi pengen kesana, banyak penulis..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penulis Turki emang siapa aja? Saya malah nggak tahu. Ehe.

      Delete
  16. Walo kamu bilang ini cerita masih jelek, tp aku bisa nikmatin. Malah jujur ya yog, nth napa baca fiksi2mu, aku kok ya slalu mikir ini kisah nyatamu hahahaha :p.

    Biasanya kalo baca cerita yg masih menggantung, aku suka nyambungin sendiri. Yg pasti jd happy ending lah :D. Sayang kamu ga jelasin kenapa wulan tiba2 menjauh.. :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebagian mungkin berasal dari kisah nyata, Mbak Fanny. Tapi banyak juga yang aku otak-atik dan jadilah fiksi. :D

      Ehehe. Biar itu menjadi rahasia Darma aja.

      Delete
  17. Anjaayyy, aku malah fokus ke kalimat "bodoh dan tulus itu memang beda tipis". Hahaha, oh mbak wulan. Pantes aja lu ditinggal pergi si wulan, mana mau wulan punya cowok yang tidur pakai celana dalam basah.. Ckck

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang begitu kelihatannya, kan? Kala jatuh cinta, suka nggak ngerti itu ketulusan atau kebodohan.

      Tapi ini fiksi, Mbak. :(

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.