Malam Tahun Baru

Bagiku, malam tahun baru kali ini terasa sama saja seperti malam-malam yang lain, kecuali malam lailatul qadar. Tentu saja karena malam itu malam yang terbaik dari 1.000 bulan. Malam tahun baru ini, aku tidak pergi ke mana-mana. Masih berbaring di kasur seraya memandangi langit-langit kamar. Berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya.

Aku pun mencoba mengenang jauh ke belakang.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ketika masih berusia 11 tahun, aku merasa semangat sekali merayakan tahun baru. Seusai salat Isya, aku langsung duduk anteng di depan televisi karena banyak acara TV yang menarik. Padahal, biasanya aku akan bermain bersama teman-teman sebaya.

Namun, kali itu tidak. Meskipun teman-teman berusaha mengajakku bermain, tapi aku tetap memilih menyaksikan acara TV sambil menunggu tanggal 1 Januari. Bahkan, kalau aku tidak salah ingat, saat itu beberapa stasiun televisi juga menampilkan band-band favoritku di masa itu: Peterpan, Iwan Fals, Slank, Nidji, dan lainnya. Aku merasa sangat nyaman menunggu tahun baru dengan cara seperti itu daripada bermain bersama teman-temanku.

Lucunya, rasa kantuk malah mengalahkanku. Begitu membuka mata, jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Tanda hari sudah berganti. Ya, aku ketiduran. Karena saat itu kira-kira aku masih duduk di kelas 6 SD yang terbiasa tidur pukul sembilan malam. Aku rupanya telah gagal untuk menikmati detik-detik pergantian tahun.

Begitu masuk SMP, aku memiliki cara lain untuk menikmati tahun baru. Berdiam diri di rumah sambil menonton TV tidak lagi menarik buatku. Aku bersama teman-teman menikmati malam tahun baru dengan konvoi menyewa metromini atau kopaja. Seru sekali rasanya keliling Jakarta ramai-ramai naik metromini atau kopaja. Apalagi ada beberapa temanku yang sampai duduk di atapnya. Mereka tidak peduli lagi akan bahaya. Hanya kesenangan atau kebahagiaan yang ada di pikiran mereka. Sayang sekali, dulu aku terlalu cemen untuk seperti mereka.

Memasuki tingkat SMA, aku tidak lagi bersama teman-temanku. Aku malam tahun baruan bersama pacar. Naik motor berduaan ke beberapa daerah di Jakarta sampai bensin tiris. Kami berdua mengobrol tentang masa depan selama di motor. Kemudian di tengah-tengah perjalanan, aku melihat beberapa pasangan yang berhenti di trotoar fly over. Aku membatin, Cih. Norak banget mereka pacaran di fly over.

“Eh, sebentar lagi udah mau jam 12 nih. Berhenti kayak mereka aja, yuk!” ajak si pacar tiba-tiba.

“Seriusan?” tanyaku.

“Iya.”

Ini pacar ngapa ketularan alay, sih?

Daripada dia ngambek, mau nggak mau aku pun ikutan berkumpul dan melihat ledakan warna-warni kembang api di langit bersama mereka.

sumber: Pixabay

Ternyata diriku juga ikutan alay. Jijik sekali rasanya mengingat itu. Aku telah menjilat ludah sendiri.

Barulah saat kuliah aku kembali kumpul bersama teman-teman. Merayakan tahun baru dengan main PES (Pro Evolution Soccer) dan bakar-bakar. Membakar sosis, ikan, ayam, dan jagung. Begitulah caraku membakar waktu. Saat itu, aku tidak lagi bersama pacar. Karena dia telah selingkuh. Selingkuh dua kali pula. Iya, itu semua karena bisa-bisanya aku diajak balikan sama mantan yang telah berkhianat. Mudah sekali aku percaya dengan janji manisnya. Bangsat emang!

Ups, maaf emosi.

Skip aja skip.

Lalu, pada pergantian tahun 2013 menuju 2014, aku merayakan tahun baru dengan bermain poker bersama beberapa teman kantor di gerbong kereta. Yoi, kala itu aku sedang berada di perjalanan menuju Yogyakarta. Inilah momen pertama dalam hidupku, bisa malam tahun baruan di kereta.


***

Setelah mengingat beberapa peristiwa di masa lalu itu, aku masih tetap tidur-tiduran di kasur. Malas sekali rasanya beranjak dari kamar yang terasa gerah ini. Lalu, kucoba mendinginkan suhu ruangan dengan menyalakan kipas angin di tombol nomor dua.

Sejujurnya, malam ini aku benar-benar bingung mau ke mana. Aku merasa hampa sekali. Aku mendadak nggak ngerti lagi sama diriku saat ini. Semuanya terasa aneh. Kalau dipikir-pikir, di tahun 2016 banyak sekali masalah. Titik terendah selama hidupku sepertinya juga jatuh pada tahun ini. Kalau nggak salah sekitar bulan Mei sampai Juli. Terlihat jelas dari tidak adanya tulisan di blog pada bulan itu. Aku lupa betapa pentingnya menumpahkan isi kepala ke dalam tulisan. Padahal, menulis adalah terapi untuk kesehatan jiwa. Sedangkan, di kala itu jiwaku penuh dengan benci dan penyesalan.

Aku merenungi buruknya masa lalu: tahun 2012 saat pertama kali diselingkuhi pacar; lalu tahun 2013 ketika adikku meninggal; setelah itu tahun 2014 dikhianatin sama pacar (btw, ini orang yang berbeda dengan tahun 2012), dan akhirnya memilih resign dari kantor karena berbagai alasan; dan juga tahun 2015 saat melawan penyesalan telah resign karena orangtua yang terus-terusan mengungkit hal itu, apalagi aku merasa nggak siap sama krisis keuangan. Namun, kalau dipikirkan kembali, ternyata itu semua gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tahun 2016.

Tahun inilah aku mengalami depresi berkepanjangan. Bodohnya lagi, aku salah memilih bacaan. Aku membaca buku Norwegian Wood (Haruki Murakami). Setelah membaca buku itu, hidupku semakin gak keruan. Hidup semakin kosong. Nggak tau lagi harus melakukan apa pun selain menyesalkan pilihan-pilihan yang menurutku salah. Entahlah kalau mengingat masa-masa itu rasanya hidupku buruk sekali, ataukah itu masih pantas disebut mendingan?

Memang, sih, aku berhasil bangkit dari keterpurukan. Namun, terkadang aku mengibaratkan diriku di saat itu sebagai orang gak berguna. Kalau saja sampai saat ini aku gagal menerima diri dan berdamai dengan kenyataan, aku pasti sudah menjadi sampah yang bau sekali dan membusuk.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, malam ini memang benar-benar hampa. Gak ada jagung, sosis, ikan, atau ayam bakar yang bisa kusantap. Nggak ada minuman bersoda yang bisa kuteguk untuk sebuah perayaan. Tidak ada teman yang mengajakku keluar. Nggak ada kekasih yang menemani di sisi, sebab kami lagi LDR-an. Nggak ada acara televisi yang bisa kunikmati lagi, sebab aku memang sudah hampir gak pernah menonton televisi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Yang ada di malam tahun baru ini hanyalah perenungan. Aku mencoba bermuhasabah. Apa yang harus kucapai pada tahun 2017? Apa saja yang harus kubenahi setelah melihat banyak kegagalan di tahun ini?

Apakah aku bisa mengurangi begadang? Apakah aku mulai bisa menghargai waktu? Me-manage waktu dengan baik dan tidak lagi menunda-nunda segala sesuatu? Bisakah perasaan yang menyesakkan rongga dadaku akhir-akhir ini hilang? Ketika aku ingin menangisi hidup, kenapa rasanya sulit sekali? Apa air mataku telah habis? Apa aku sudah gak perlu lagi merasa lemah akan kehidupan yang memang sengaja dirancang keras ini?

Sumpah, aku tak mengerti. Aku hanya berharap malam ini segera berlalu. Aku lelah. Aku ingin tidur. Aku ingin besok kembali segar dan dapat terbangun dengan kobaran api semangat yang takkan pernah padam.

Melihat jam yang masih menunjukkan pukul 23.05, aku berusaha menikmati malam tahun baru ini dengan membuka Youtube. Aku mengetikkan “Rusa Militan – Black Sun”, lalu kuputar videonya. Hmm, tapi aku hanya mendengarkan musiknya tanpa menonton video itu. Aku memejamkan mata. Di dalam gelap itu, aku justru melihat sebuah jalan yang terang. Tentang banyaknya impian yang ingin kuwujudkan. Kupikir, tahun depan masih bisa melakukan banyak hal. Aku dapat memperbaikinya. Harapan akan selalu ada. Hope is never lost. Lalu, aku mencoba membuka mata. Sambil menikmati alunan musik itu, aku mencoba menuliskan segala keresahanku ini.

Selamat tinggal, 2016. Terima kasih atas segalanya. :)

PS: Maaf, tulisan ini tidak ada kolom komentarnya. Kenapa? Pikirkan sendiri! Ehehe. Bercanda, kok. Aku cuma ingin menulis tanpa perlu dikomentari. Sekali lagi, maaf untuk keputusan ini. Ukhuk.

Diketik pada 31 Desember 2016, di kamarku tercinta dengan lampu yang sengaja kupadamkan.