Tidak Ingin Mengulangi Kesalahan Ayah

Mungkin pilihan orangtua itu sebenarnya bagus dan pastinya dilakukan yang terbaik untuk anaknya. Namun, dalam sudut pandang si anak, apakah itu juga bagus dan benar-benar yang terbaik?

Misalnya orangtua yang memilihkan (atau bahkan memaksakan) jurusan kuliah anak perempuannya untuk mengambil Kedokteran. Karena orangtua ini ingin anaknya dapat meneruskan profesinya, yaitu seorang dokter. Sayangnya, anak itu tidak suka dengan dunia kedokteran. Anak itu geli atau takut melihat darah. Anak itu lebih suka jurusan Hubungan Internasional karena hobinya adalah jalan-jalan (traveling). Kalau anak itu tetap dipaksakan untuk mengambil jurusan Kedokteran, takutnya ia tidak bahagia dalam menjalani perkuliahannya. Anak itu jadi sering bolos kuliah, lalu saat tugas akhir semakin kebingungan, atau bahkan berujung DO (Drop Out).

***

Hal seperti itu pun terjadi dalam hidup gue. Dari gue masih kecil, gue merasa orangtua—lebih tepatnya ayah gue—selalu mengarahkan gue ke pilihan yang beliau mau. Iya, gue harus menuruti segala pilihan Bokap. Sejak gue masih SD, Bokap sudah menyarankan atau menyuruh gue ketika lulus nanti masuk pesantren aja ketimbang masuk SMP umum. Gue yang mendengar hal itu pun dengan tegasnya langsung mengatakan, “Ogah!”

Bokap mulai menceramahi gue dengan pergaulan anak SMP yang mulai nggak bener. Beliau juga mulai menceritakan kenakalan-kenakalan yang telah gue perbuat, di antaranya: bukannya berangkat ngaji malah ke rental PlayStation—biasa disingkat PS; main bola nggak inget waktu, kalau belum azan Magrib nggak akan pulang; sering membantah nasihat orangtua dan juga sering meninggalkan salat.

Gue pun mulai berjanji untuk berubah dan nggak akan nakal lagi kalau diizinkan masuk SMP umum dan nggak jadi masuk pesantren (iya, gue tau ini bullshit banget). Syukurnya, Nyokap membela gue dengan pendapatnya.

Nyokap waktu itu bilang, “Jangan dipaksa gitu kalo anaknya gak mau. Lihat noh anaknya Pak Agus (nama disamarkan), keluar pesantren malah kayak orang stres. Keberatan ilmu malah nggak kuat.”

Gue pada waktu itu bahagia sekali karena batal masuk pesantren. Seolah-olah gue merasa terbebas dari vonis penjara seumur hidup. Muahaha lebay anjir. Namun, kebahagiaan itu ternyata hanyalah sesaat. Gue emang nggak jadi masuk pesantren, tapi gue nggak dibolehin masuk SMP yang gue pengin. Bokap berkata, “Kamu NEM segitu sayang banget kalau nggak masuk SMP favorit. Udah SMP N 111 aja, ya.”

Hmm. Gue sadar, sih, waktu itu NEM gue emang paling tinggi di sekolah. Terus kenapa? Apa orang dengan NEM tertinggi wajib masuk SMP yang favorit? Gue rasa nggak. Sedihnya, mau nggak mau gue harus sekolah di SMP favorit itu. Ya, daripada gue masuk pesantren. Nggak ada pilihan lain.

Begitu gue masuk di SMP itu, ternyata bayarannya cukup mahal. Orangtua jadi harus lebih bekerja keras lagi untuk bisa menyekolahkan dan membiayai hidup gue. Lebih parahnya lagi, gue jadi minder ketika berteman dengan anak-anak di SMP itu. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang tajir, uang saku sekolahnya aja ada yang sampai 50 hingga 100 ribu. Asli, pada zaman ini (sekitar 2006-2009) duit segitu mah banyak banget. Lah, gue? Uang jajan gue hanya Rp7.000,00 hahaha. Cuma cukup untuk sekali makan dan transportasi (naik angkot).

Kadang gue merasa nyesel sama pilihan Bokap. Kenapa gue jadi semakin ngerepotin orangtua gitu? Iya, soalnya gue merasa standar nilai di sekolah itu ketinggian. Nilai KKM-nya kebanyakan adalah 75, kemudian untuk pelajaran TIK (Teknik Informatika dan Komputer) itu 81. Buseh. Tinggi amat standar nilainya. Gue yang kecerdasannya di bawah standar alias nggak pinter-pinter amat ini pun merasa nggak ada apa-apanya di sekolah. Gue yang dibilang pintar karena mendapatkan peringkat 1 atau 2 saat SD, di SMP malah hampir nggak naik kelas karena banyak yang remedial.

Namun, gue nggak boleh mengecewakan orangtua. Beliau sudah membiayai gue mati-matian, gue pun harus belajar dengan mati-matian. Nggak boleh menyerah sama standar KKM itu. Sampai akhirnya gue bisa beradaptasi sama keadaan di sekolah itu, baik teman-teman yang hidupnya mewah ataupun nilai-nilai yang begitu wah. Alhamdulillah gue bisa naik kelas dan lulus dengan nilai yang cukup baik.

Ceritanya tidak hanya berhenti di sini. Pilihan-pilihan Bokap masih banyak lagi. Begitu lulus SMP, gue masih harus dipaksa mengikuti kemauan beliau. Jujur, gue emang masih bingung waktu itu mau masuk SMA mana. Yang jelas gue tau satu hal: gue pengin masuk ke jurusan Bahasa Indonesia. Celakanya, sekolah yang ada jurusan ini langka banget. Sekalipun ada, itu jauh banget dari rumah. Beda domisili pula. Yah mau gimana, gue nggak bisa mewujudkan harapan itu karena peraturan pada saat itu sekolahnya harus sesuai domisili. Harapan gue pun sirna.

Lagi merenung akan pilihan mau masuk SMA mana, Bokap dan Nyokap mengajak gue berdiskusi.

“Udahlah, kamu masuk SMK aja, ya. SMA nanti harus kuliah lagi. Biaya mahal,” ujar Bokap.
“Iya, Le. Mendingan SMK, nanti kamu bisa langsung kerja setelah lulus. Terus bisa bantu-bantu orangtua deh,” tambah Nyokap.

Gue nggak tau lagi harus ngomong apa. Kali ini, Nyokap juga mendukung pilihan Bokap. Yowes, gue yang memang bingung ini pun mengiyakan keputusan itu. Gue segera mendaftar di SMK negeri yang jaraknya deket banget dari rumah (kira-kira cuma 10 menit kalo jalan kaki). Begitu sampai di sana, gue bingung sama jurusannya. Di sekolah itu ada 5 jurusan: Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Pariwisata, Pemasaran, dan Seni.

Pertama gue mau milih jurusan Akuntansi, tapi NEM gue yang pas-pasan itu nggak cukup. Lalu, Administrasi Perkantoran dan Pariwisata memberikan syarat tinggi badan untuk laki-laki 163 cm, sedangkan untuk perempuan 158 cm. Gue waktu itu tingginya hanya 161 cm (iya gue dulu pendek), nggak akan bisa lolos. Masa iya gue harus nyamar jadi cewek dan pake rok, atau malah transgender hanya demi jurusan tersebut? YA, KAGAKLAH. BIAYA OPERASI MAHAL ANJIR!

Akhirnya, pilihan gue tinggal dua; kalau nggak Pemasaran, ya Seni. Namun, gue mulai berpikir kalau masuk jurusan Seni. Gue nggak paham sama sekali soal seni. Satu-satunya seni yang gue bisa hanyalah membuat gambar atau nama sendiri dengan air seni. Iya, melukis dengan aer kencing. Wahaha. Kacau!

Pemasaran, itulah pilihan gue. Sebenernya gue juga nggak begitu ngerti soal pemasaran ini. Temen-temen gue yang SMA pun mulai meledek gue ketika lulus nanti akan jadi tukang sayur, tukang cendol, dan sekeren-kerennya cuma jadi sales. Iya, sales yang berpakaian rapi terus keliling rumah jualan panci atau alat masak.

Cih. Pikiran mereka sempit sekali soal pemasaran. Pemasaran itu luas woy! Padahal, gue pada saat itu juga nggak tau bakal jadi apa nantinya. Menyedihkan. Dengan susah payah gue jalani masa-masa di SMK ini. Sumpah, gue nggak nyangka banget kalau pergaulan di SMP sama SMK ini beda banget. Temen-temen gue di SMK ini pada liar dan nakal banget. Ditambahin brutal dan membuat semua orang menjadi gempar cocok tuh jadi Kera Sakti.

Mereka bener-bener nggak peduli sama PR (pekerjaan rumah). Setiap kali ada PR, mereka hampir nggak pernah mengerjakannya. Pokoknya, anak-anak yang bandel ini sudah terbiasa dengan kelakuannya itu. Kalau belum mengerjakan PR, mereka tinggal berangkat pagi, lalu meminjam buku ke temen yang sudah mengerjakan PR itu. Iya, para anak nakal ini menyalin jawaban teman yang pintar.

Lucunya, begitu kelas 12 gue mulai menikmati sekolah di SMK ini. Gue terkadang atau sesekali juga ketularan temen-temen yang pada males itu untuk mengerjakan PR di sekolahan. Namun, gue gak bisa seperti itu terus. Gue mulai berpikir dan merenung kalau sebentar lagi bakalan lulus. Temen-temen yang males itu pun juga udah berubah. Mereka mulai rajin. Sifat kekanak-kanakan sewaktu kelas 10 dan 11 perlahan mulai hilang. Kemudian jurusan dan temen-temen yang dulunya sempat gue remehkan ini ternyata nggak buruk-buruk amat. Gue suka tingkah mereka yang berisik dan ceplas-ceplos. Gue malah jadi anak yang suka bercerita dan berani ngomong. Padahal mah sebelumnya gue itu pemalu abis. Waktu kelas 10 pas disuruh maju ke depan kelas aja gemeteran. Saat kelas 12, gue udah mulai jago. Bahkan gue sepertinya cocok kalo jadi tukang prospek MLM.

***

Sampai akhirnya waktu itu pun tiba. Gue sudah lulus dan mulai menentukan pilihan hidup mau ke mana. Gue sudah memantapkan diri untuk tidak lagi mendengarkan atau mengikuti pilihan Bokap. Sudah 17 tahun usia gue. Gue sudah bisa memilih jalan hidup sendiri.

Yeah, akhirnya gue pun memilih untuk bekerja setelah lulus. Kampretnya, dua bulan setelah kelulusan gue nggak kunjung dapet kerja. Udah belasan perusahaan yang menolak gue. Gini amat anjis cari kerja. Astagfirullah.

Di saat gue galau akan pilihan ini yang pengin mencoba kerja dan mencari uang sendiri, tapi entah kenapa nggak diterima-terima ini, Bokap kembali menceramahi gue. Dan ujung-ujungnya gue disuruh kuliah. Gue semakin nggak ngerti sama jalan pikiran Bokap. Dulu pas SMP mau ke SMA, gue mendingan masuk SMK aja, katanya biar ketika lulus bisa langsung kerja dan bantu orangtua karena kalau kuliah itu butuh biaya banyak. Giliran udah lulus, gue kok disuruh kuliah. Kan konyol.

Syukurnya dua minggu setelah itu gue diterima kerja di Pusat Pengolahan Data Dokumen Perpajakan. Nggak nyangka banget, seorang Yoga yang lulusan Pemasaran ini malah kerja di perpajakan sebagai data entry. Pilihan hidup gue untuk bekerja ini pun membuahkan hasil.

Namun, dari semua pilihan Bokap yang telah gue ceritakan. Ada satu kisah yang bikin gue belajar banyak dan nggak pengin mengulangi kesalahannya. Itu semua terjadi ketika gue kelas 11 SMK.

***

Saat kelas 11, yang namanya duit itu mah udah seperti gali lubang tutup lubang. Baru dapet pemasukan, langsung deh pengeluaran lagi. Waktu itu, keadaannya terjadi saat gue UTS. Di mana pihak sekolah mewajibkan gue untuk segera melunasi uang gedung yang senilai 1,5 juta. Kalau nggak salah, gue sudah membayar sekitar 700 ribu. Jadi, masih kurang 800 ribu lagi.

Gue dan beberapa teman yang lain nggak boleh mengikuti UTS kalau belum bayaran (seharga 100 ribu setiap bulannya) dan mencicil uang gedung itu. Siswa yang belum bayaran harus memanggil orangtuanya untuk memberikan alasan kenapa belum membayar dan tentunya agar gue bisa ikut UTS.

Pagi itu rasanya tidak dingin seperti biasanya, gue merasa gerah sekali sama peraturan sekolah yang membuat ribet ini. Di saat teman-teman lain sedang mengerjakan soal UTS, gue masih saja berada di luar kelas sedang menelepon orangtua supaya datang ke sekolah untuk mengurus masalah ini.

Setelah menunggu sekitar 20-an menit, akhirnya gue mendapatkan kartu sementara untuk mengikuti UTS. Bokap dengan muka lesu pun mengeluh ke gue, “Bulan kemarin baru bayar 500 ribu, sekarang udah cicil 200 ribu lagi. Tau gitu mah bayarnya nanti aja kalau udah ditagih.”

Gue hanya bergeming. Nggak tau harus jawab apa.

“Ya udah, kerjain UTS yang bener dan jangan lupa berdoa,” kata Bokap, lalu meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah.

Gue pun segera ke kelas untuk mengikuti UTS.

***

Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian kerabat jauh Bokap datang ke rumah. Oiya, sebut saja Pak Bambang. Awalnya kami sekeluarga mengira kalau Pak Bambang ini main ke rumah untuk silaturahmi. Sayangnya bukan itu. Pak Bambang memiliki maksud terselubung.

“Anda mau punya rumah mewah? Pengin punya mobil BMW? Atau ingin punya kapal pesiar? Gampang! Hanya tinggal bergabung bersama saya, Anda bisa langsung mendapatkannya dalam waktu 2 tahun. Salam sukses dan sejahtera!”

Muahaha. Kagak-kagak. Nggak gitu, kok. Itu cuma bercanda.

Jadi, Pak Bambang emang sebenarnya mempunyai tujuan lain selain silaturahmi, dia menawarkan asuransi kesehatan untuk kami sekeluarga. FYI, Bokap gue menderita asma sejak gue SMP (ini kalo gak salah sekitar tahun 2007). Entah karena tidak enak menolak tawaran kerabat atau memang bepikir jangka panjang akan risiko itu, Bokap pun memilih untuk berasuransi.

Gue yang saat itu memang mempelajari tentang asuransi di sekolah (walaupun nggak tau banyak), merasa senang karena Bokap sudah menentukan pilihan yang tepat. Tapi ya, rasa senang itu pudar seketika setelah berjalan 6 bulan. Bokap merasa dirinya baik-baik saja dan sehat. Asmanya nggak pernah kambuh lagi. Oleh karena itu, beliau akhirnya bilang ke keluarga (sebenarnya cuma ke gue dan Nyokap, karena adik gue nggak diajak berdiskusi. Dia masih SD dan nggak ngerti apa-apa).

“Kayaknya asuransi ini malah buang-buang duit deh. Bisa cairnya juga masih lama. Ayah juga sehat-sehat aja nih. Nggak akan kepakai duitnya. Mending duitnya dipakai buat kebutuhan lain. Yoga juga sebentar lagi kelas 12, pasti banyak biaya.”

“Ya, terserah Ayah aja,” respons Nyokap yang memang nggak terlalu mengerti pentingnya asuransi.

“Ya udah,” jawab gue pasrah. Padahal di dalam hati merasa keberatan.

Akhirnya, Bokap menghubungi Pak Bambang untuk mundur dari asuransi itu. Bokap mengikhlaskan uang yang sudah masuk. Pak Bambang juga bingung harus menyarankan seperti apa. Pilihan Bokap sudah bulat seperti tahu yang digoreng dadakan dan sedang ngetren saat ini.

Sedihnya, yang namanya musibah nggak pernah ada yang tau. Dua bulan setelah berhenti dari asuransi itu, Bokap malah masuk rumah sakit. Asmanya kambuh dan udah parah banget. Mungkin karena banyak beban pikiran. Dari mulai biaya sekolah gue yang bikin pusing, kebutuhan keluarga, dan pikiran-pikiran yang lain entah apa.


Keadaan waktu itu gawat dan kacau banget. Gue belum bayaran sekolah dan harus cicil uang gedung, biaya rumah sakit mahalnya bukan main, dan tanggal tua belum gajian. Kami sekeluarga pun bingung. Panik banget rasanya. Akhirnya, Nyokap menjual semua perhiasannya (gelang, kalung, dan cincin) itu demi membiayai sekolah gue dan membayar rumah sakit. Perhiasan emas yang tadinya banyak itu, hampir tak bersisa kecuali cincin perkawinan.

Asli, gue sedih banget sama kejadian itu. Gue nggak tahu lagi harus apa. Mau nangis aja rasanya karena merasa nggak berguna dan nggak bisa bantu apa pun selain doa. Gue merasa nyusahin banget. Gue pengin buru-buru lulus dan cari kerja rasanya biar bisa mengurangi beban keluarga. Gue juga merasa kesal sama pilihan Bokap yang berhenti dari asuransi itu. Coba aja waktu itu tetep lanjut, pasti asuransi itu akan ada gunanya. Ya, gue berpikir asuransi itu nggak buang-buang duit. Itu penting banget untuk mengatasi risiko-risiko yang nggak pernah kita duga di kemudian hari.

Alhamdulillah yang namanya kesulitan itu pasti datang kemudahan. Sekitar seminggu dirawat, akhirnya Bokap boleh pulang dan bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala. Bayaran sekolah gue dan uang gedung itu juga udah lunas. Gue nggak perlu lagi ribet-ribet ketika UTS ataupun UAS.


***

Ngomong-ngomong soal pentingnya asuransi, gue jadi inget sama seminar yang waktu itu gue ikuti pada tanggal 15 Oktober 2016. Seminar Yuk Atur Uangmu diselenggarakan oleh Sinarmas MSIG Life. Seminar yang dimulai pada pagi hari sekitar pukul 10 ini bertempatkan di Gedung Telkom Menara Multimedia, Kebon Sirih. Serius deh, gue bersyukur banget bisa ikut seminar ini. Karena seminarnya telah memberikan gue wawasan akan perencanaan keuangan yang lebih mendalam. 

Acaranya ini beneran seru banget. Berbeda dengan seminar-seminar yang biasanya bikin ngantuk. Mbak yang berbaju dan berkerudung merah (karena gue lupa namanya) juga melakukan presentasi dengan sangat menarik soal perencanaan keuangan. Gue pun mendengarkan mbak-mbak baju merah ini.

Yang baju merah jangan sampe lolos

Katanya, investasi dan asuransi di masa depan itu penting sekali. Karena kita itu nggak bisa bekerja selamanya. Akan tiba masanya kita menjadi tua dan pensiun. Kita hidup di dunia tuh nggak cuma untuk hari ini aja. Kita perlu memikirkan hari esok atau masa depan. Karena yang namanya sumber dana itu terbatas, tapi kebutuhan dan keinginan manusia tidak terbatas.

Maka dari itu, kita perlu banget membuat perencanaan keuangan. Kita harus menabung untuk kebutuhan jangka pendek, berinvestasi untuk kebutuhan jangka panjang, dan asuransi untuk mengantisipasi risiko keuangan.

Tiga hal ini penting sekali. Menabung itu berguna kalau ada hal-hal yang darurat. Menabung bisa dengan membuat tabungan harian atau deposito. Kalau investasi, tujuannya untuk pertumbuhan aset dan penghasilan pasif (passive income). Kita bisa berinvestasi dengan saham, obligasi, atau reksadana. Bisa juga dengan mengoleksi emas batangan, bisnis properti, dll. Lalu, asuransi itu tujuannya untuk mengantisipasi risiko kematian, risiko kesehatan, risiko harta benda, dan risiko-risiko lainnya. Kita bisa memilih produk asuransi seperti: asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kendaraan, de el el.

Mbak Chika menjelaskan permainannya


Selain materi itu, kami yang ikut seminar juga diajak bermain game. Permainannya mirip banget sama monopoli, cuma permainan ini mengenai perencanaan keuangan: Smart Money. Kami akan mendapatkan peran dengan profesi yang berbeda-beda. Lalu, setiap pemain harus bisa melunasi utang-utangnya dan menjadi kaya seolah-olah sedang mengatur keuangan di kehidupan nyata. Kalau di monopoli ada kesempatan dan dana umum, di permainan ini namanya berbeda. Sayang sekali gue lupa nama sebutannya itu. Lalu, yang dibeli bukanlah negara atau perusahaan listrik dan air seperti permainan monopoli pada umumnya. Di sini, kami membelinya bisnis usaha, saham, dan sejenisnya yang merupakan sebuah investasi dan asuransi. Berkat permainan ini, kami jadi belajar untuk mengalahkan rasa takut dan lebih berani mengambil risiko. Pokoknya asoy banget deh!



Oiya, kembali lagi ke asuransi. Salah satu produk asuransi yang bagus adalah Sinarmas MSIG Life ini. Kenapa Sinarmas? Ya, karena sudah didirikan sejak tanggal 14 April 1985. Kemudian Sinarmas MSIG Life ini adalah anak perusahaan dari PT Sinar Mas Multiartha Tbk. Satu dari enam pilar bisnis Sinar Mas yang menyediakan layanan finansial yang terpadu dan menyeluruh; meliputi perbankan, asuransi, pembiayaan, pasar modal, manajemen aset, jasa administrasi saham, keamanan, perdagangan, serta industri dan teknologi informasi.

Perkembangan Sinarmas MSIG Life didukung oleh kondisi keuangan yang sangat baik, inovasi produk, dan layanan nasabah serta kepemilikan jaringan bisnis yang luas. Hingga tahun 2014, Sinarmas MSIG Life ini telah melayani lebih dari 790.000 nasabah individu dan kelompok di 69 kota. Tersebar di 113 kantor pemasaran dan 10.500 tim marketing. Jadi, Sinarmas MSIG Life ini recommended deh untuk berasuransi.

Gue jadi teringat sama pilihan Bokap dulu ketika SMK yang rasanya agak mengecewakan itu. Gue juga sedih kalau mengingat masa-masa itu. Kenapa beliau berhenti berasuransi dan sampai sekarang juga tidak memikirkan hal itu lagi. Kenapa saat ini nggak memilih untuk asuransi lagi. Atau ya paling nggak investasi apa kek gitu. Entahlah gue kurang paham sama Bokap dan orang-orang yang menganggap asuransi itu buang-buang duit. Buang duit dari mananya coba? Itu kan juga buat kebaikan diri sendiri dalam mengantisipasi risiko di masa depan yang penuh dengan misteri. Sepertinya masih banyak orang yang kurang memedulikan hari esok. Mungkin pola pikir orang-orang itu selalu bilang, “Ah, buat makan aja susah. Ngapain segala asuransi.”

Padahal, kalau saja kita pintar dan bisa mengatur keuangan dengan baik. Gaji untuk kebutuhan hidup dalam sebulan itu pasti masih bersisa. Nah, sisanya itu bisa untuk menabung, investasi, atau asuransi. Lagian, sehat itu mahal tau. Namun kalau berasuransi, pasti sehat itu rasanya jadi lebih murah karena sudah menyiapkannya sejak dini.

Hm... gue pun merenungi hal itu terus-menerus. Tampaknya, gue nggak pengin mengulangi kesalahan Bokap di masa lalu. Gue nggak mau memaksakan anak gue nanti harus jadi apa. Gue harus bisa mendengarkan pendapat anak dan berdiskusi tanpa memaksakan. Tidak perlu mengatur-ngatur atau mengekang secara berlebihan. Selama pilihan dan jalan hidup anak gue itu di jalur yang positif, gue bakalan mendukungnya. Gue pengin dia sukses dengan impiannya sendiri, bukan karena pilihan atau paksaan dari orangtuanya. Gue juga nggak pengin kalau nanti anak gue jadi susah ikut UTS cuma karena belum bayaran sekolah atau kuliah. Gue nggak mau hal itu terulang kembali. Gue tidak ingin mengulangi kesalahan ayah gue itu.

Gue juga pengin nanti begitu udah kerja tetap untuk membuat perencanaan keuangan. Apalagi kalau kelak sudah menikah. Gue pasti akan berdiskusi dengan istri betapa pentingnya perencanaan keuangan untuk masa depan yang lebih baik. Jangan menyia-nyiakan waktu dan uang begitu saja. Harus menyiapkan bekal masa depan agar cerah dan terang benderang.

Yeah, maka dari itu gue mau bilang,





“Yuk, atur uangmu! Mari buat perencanaan keuangan sejak dini agar tidak kesulitan soal uang di hari tua.”

PS: Lagi-lagi kekuatan deadline memaksa gue untuk berpikir lebih kreatif.

72 Comments

  1. Sebenarnya di sekolah gue ada jurusan Bahasa, lho. Tapi nggak tau juga pas zaman itu udah ada atau belum. Terus, dulu masih bayar uang gedung ya? Alhamdulillah sekarang di Jakarta sekolah negeri gratis. :))

    KKM semuanya 75 baru ngerasain di SMA woy! Itu aja remedial terus. Lu udah ngerasain di SMP. Stres banget ngejarnya pasti. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Gue nggak tau sekolahmu, Rob. Iya, dulu masih bayaran. Sedih. :(

      Muahaha. Begitulah sekolah di SMP favorit. :))

      Delete

  2. Gue juga dulu wkt SMP sempet dikumpulin diruang piket sama beberapa murid lainnya karena belum bisa bayar uang gedung dan berakhir gak bisa ikut ujian (~>__<~)


    Pengalaman memang guru yang paling baik ya Yog (=^ ^=)
    Banyak kejadian yang ternyata berdampak positif untuk kedepannya dan bikin kita lebih bersyukur atas segala sesuatu yang udah kita dapat (=^ω^=)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih banget ya, Vir. Peraturan sekolah gitu amat cuma karena masalah biaya. :')

      Iya. Experience is the best teacher! \m/

      Delete
  3. Sedih pas baca bagian asma Ayah kamu kumat, Yog :( Dan sedih juga karena aku bodohnya ngirain yang MLM itu beneran. Eh ternyata kamu bercanda aja. Njir.

    Yang pilihan sekolah itu kok sama ya, njiiiir. Dulu waktu SMP juga aku masuk SMP 4 karena maunya orangtua. Padahal aku maunya SMP 10. Alasan beliau nyuruh aku di situ biar sama kayak dua kakakku katanya. Huhuhu. Asli aku waktu itu ogah-ogahan. Daftar masuknya aja pas hari terakhir. Nah pas lulus SMP juga gitu. Aku disuruh masuk SMA sih tapi. Nah aku maunya SMK. Aku keukeh dan akhirnya dibolehin. Huhuhu.

    Seminarnya asoy juga ya. Ada games-nya segala. Suasana jadi nggak bikin ngantuk dan nggak kaku. Yeaaaah. Yoga siap berkeluarga memakai jasa asuransi. YOGA SIAP NIKAH TAHUN 2017! YEAAAAH!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Bercanda buat bumbu aja itu, Cha. Dipaksa gitu nggak enak, ya? Alhamdulillah kalau kekeuh dan dibolehin. :))

      Woy ngapa jadi nikah itu? Wakakaka. Kampret.

      Delete
  4. Kalau saya dulu sekolah negeri di Cilegon gratis. Dulu juga saya masuk SMK biar cepet kerja. Tapi lulus SMK, saya malah takut kerja. Terus minta kuliah.

    Pas udah kerja, ternyata enak juga. Tau gitu, saya kerja sejak SD. Gaji yang saya dapetin sekarang, sebagian diinvestasikan ke asuransi jiwa. Sebisa mungkin saya nggak mundur setor bulanannya. Apalagi setelah baca kisah Ayah Anda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak ya, Ris. Di Jakarta mah pas zamanku masih sebagian bayar. :') Iya, kerja enak menghasilkan uang. Ya, asalkan bisa mengelolanya juga. :D

      Alhamdulillah. Bagus itu, Ris!

      Delete
  5. Jadi di asiransi klo di tengah jalan mundur, uang iuran awalnya hangus ya yog..
    Pfff ngomonhin orang tua emang bawaannya selalu sama, pengen berkaca2 karena segede apapun yg kita kasih blum cukup mrmbalas jasa mereka dah membesarkan kita yes

    Huh #melankolis

    Btw tapi gue masi agak2 skeri gitu yog klo tetiba orang yg jarang kontak muncul bgitu aja trus memprospek hahahaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya begitu deh, Mbak. Saya juga kurang tau. Tergantung ketentuan tiap asuransi. :D Iya, nggak akan bisa membalas semua jasanya. :')

      Wahaaha. Saya juga takut kok. :(

      Delete
  6. aku yang calon sarjana seni aja belum pernah loh bikin gambar pake air seni. kamu luar biasa yog :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahaha awkward banget komen nya..

      cewek kan gapunya selang nya :(

      gue jadi ngebayangin anjir

      Delete
    2. Hana: Wahaha. Kamu kan cewek, Han. XD
      Manap: Udah-udah. Pikiranmu jangan kotor gitu. :p

      Delete
  7. Pengalaman memang jadi guru yg berharga, semoga bisa ambil hikmah dari apa yg sudah di alami ya mas bro.
    Betewe kadang yg nawarin asuransi rada nyebelin suka ceriwis banget, cm memang manfaatnya buat cover hal yg tdk terduga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Semoga. :) Yang penting pas nawarin nggak maksa. Perlu belajar untuk lebih persuasif. :D

      Delete
  8. Ngak jadi jualan sayur ngak jadi jualan cendol, eh malah ujung2 nya jualan asuransi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Muahaha. Ini lomba, Mas Cum. :))

      Delete
    2. hahaha iya tau kok
      Btw sekarang ini gw malah pengen nyantren lho, mondok di pesantren memperdalam agama dan janji ngak nakal2 lagi hahaa

      Delete
  9. Bajingak. Kalau mau baca review film, ke blog saya aja, Mas-nya. Huahaha.

    ReplyDelete
  10. Memang kesel juga sih..
    Banyak hal dalam hidup yang harus kita lakuin walaupun kita gak suka (misalnya masuk jurusan yang dipilihin orang tua) dan enggak bisa diprediksi (Misalnya tiba-tiba sakit)..
    Yang penting yah kita menjalani apa yang harus kita jalani dengan sungguh-sungguh, ngambil keputusan dengan baik, dan menyiapkan masa depan(misalnya asuransi)..
    Eseeeh.. gua jadi sok bijak gitu yaah...
    Hahaha...
    anyway...
    gak ada yang sia-sia di dunia ene..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Licia. Emang begitulah hidup. Gapapa sok bijak, kok. Gak ada yang ngelarang. Iya, semua hal yang sudah terjadi bisa jadi pelajaran dan pengalaman. :D

      Delete
  11. permainan nya kaya gimana dah? jadi pengen main mainan nya

    biar lebih bisa mengerti tentang pengaturan keuangan :'(

    soalnya duit gajian gue selalu abis. buat bayar kuliah yang hanya 20% dan sisa nya habis entah kemana.. syedih :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba aja cari di Gramedia. Ada, kok. :)
      Sedih amat itu lu boros dalam keuangan. Mulai hemat dong. Bikin tabungan atau investasi. :D

      Delete
  12. Bayar gedung sekolah? Terus gedung sekolahnya bisa dibawa pulang dong
    .

    ReplyDelete
  13. Wah inspiratif sekali ceritamu mas yoga...
    dan lagi lagi berujung Lomba...
    Goodluck ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Masa deh itu inspiratif? Makasih, ya! Aamiin.

      Delete
  14. ini bang yoga ngingetin cerita aku banget dah yang masa smp smk itu. beda cuma ada miripnya. mama papa aku nggak pernah mengekang aku cuma kebetulan smp-smk aku masuk favorit. KKM tinggi, pengeluaran banyak, sampai jual perhiasan... huft, sedih kalo diinget mah.

    bapaknya bang yoga sekarang gimana kabarnya? asmanya masih suka kambuh nggak?
    aku juga awalnya mikir kayak gitu sih tapi da kumaha nyak, kan hidup siapa yang tahu. harus ada antisipasi.

    semoga berhasil lombanya bang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, emang sedih banget kalo nginget hal-hal kayak gitu. :')
      Alhamdulillah sehat. Sudah jarang banget. Semoga nggak kambuh-kambuh lagi. :)

      Aamiin. Makasih ya, Ris!

      Delete
  15. PUKPUKPUK Yoga,
    iya sedih banget rasanya kalo liat orang tua kita banting tulang buat kita, dan kadang kitanya suka nggak bersyukur gitu.
    sekarang udah gede, udah ngerasain gimana susahnya nyari uang.

    orang tua kita sebnernya cuma mau yang terbaik buat anaknya, ya, semua orang juga tau itu.

    dari dulu aku nggak pernah di kekang sama orang tua dalam hal pendidikan, ya dikekang dalam artian diatur-atur gitu. aku dibebasin mau sekolah sma atau smk, asal, tetep liat kondisi finansial keluarga.

    makanya aku lebih milih masuk smk, biar lulus langsung kerja, dan gak ngerepotin orang tua lagi.

    tapi aku pengin loh diperhatiin kayak gitu. nggak dibebasin, kadang suka bingung nentuin jalan hidup kalau nggak dituntun sama orang tua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Cari duit itu ternyata gak gampang. Susah banget muahaha. :( Iya, sadar sama keadaan, kan? :))

      Bukan bebasin juga, sih. Paling memberi saran, yang penting nggak memaksakan. :D

      Delete
  16. mengenai asuransi, bener juga sih. kenapa kita bayar terus? toh sekarang sehat-sehat aja.

    tapi balik lagi, kayak kejadian bapak kamu yog, musibah siapa yg tau kan. jadi menurut gue, asuransi itu lumayan penting sih.. :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Iya, kadang emang ada pikiran seperti itu.
      Emang penting banget, Yan. Banyak sedekah juga penting biar mengurangi sakit. :D

      Delete
  17. Kalau soal pilihan, ayah sama ibusih terserah anaknya setelah waktu itu maksa si aa masuk sma daripada stm. pas nyari kerja susah, si aa nyalah-nyalahin ayah sama ibu. akhirnya setelahitu semua pilihan dikasih ke anaknya. cuma sekarang, yang tinggal ibu doang, ibu makin kesini makin banyak ngelarangnya hahahaha....

    soal biaya mah orang tua pasti ngada-ngadain, ku kangen ayah :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Terus gimana rasanya dilarang-larang gitu? :p

      Iya, untuk anaknya mah orangtua berusaha untuk mengadakan uangnya. Sabar ya, Kak Lia. :')

      Delete
  18. Gua tau rasanya punya bapak yang kaya gitu. Asli, ngebetein banget. Sampe milih jurusan waktu itu aja gua masih ditentuin sama bokap, sampai akhirnya gua bisa ambil yg gua mau sekarang juga kudu berantem-berantem, atau ngambek dulu sama abi.

    Gua juga waktu itu pernah gara-gara belum bayar uang gedung terus ulangannya dipisah dari yang lain, tapi yang belum bayar uang gedung tempatnya lebih enak, pake AC dan lebih gampang nyontek, mana waktu itu pelajaran MTK seneng bangetlah. Tapi besoknya balik lagi ke kelas gara-gara umi udah ngadep ke TU.

    Asuransi, hmmm kayanya keluarga gua ga pake deh. Ga tau kenapa, abi juga ga ngasih tau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Anjis segala ngambek. Tapi enaklah, ya, bisa ngambek jadi cewek. Cowok mau ngambek aneh aja gitu. :(

      Serius sampe dibedain gitu? Wah, rasis tuh! (halah, Yog!)

      Mungkin beliau punya alasan.

      Delete
  19. buset, mahal amat ya sekolah lo. Di jakarta sekolah bayar? gue gratis dulu kayaknya. :|

    kalo masalah asuransi kadang ya gitu, kita nganggap remeh padahal ya asuransi itu ibarat investasi, di luar tabungan juga. Keluarga gue juga termasuk yang masih nganggap remeh asuransi sih, jadinya cuma ikut bpjs saja :))

    kenapa sinarmas? pertanyaan bagus! begitu dulu harusnya coy...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, zaman gue bayar, Yog. Tahun setelah gue lulus baru deh semua digratisin. Kadang kesel anjir. :') Woalah. Ternyata orangtua lu juga begitu, ya. Samanya. :(

      Itu bukan gaya gue, Yog. Tokay lu! XD

      Delete
  20. Gue juga sekarang SMK, Yog. Mana bayarannya juga mahal lagi. Disisi lain juga, nilai di SMK gue ini tinggi banget. KKM semua Mata Pelajaran pun 80. Untungnya udah kelas 12 sih, dikit lagi lulus :D

    Asuransi itu yang buat kesehatan bukan sih? Kalo iya, keluarga gue sih kayaknya gak pake gituan, kayaknya tapi :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. Woalah. Parah banget sampe 80. Masih mending gue ya 75. Kalo gitu, tetap semangat, ya! :D

      Ada juga yang buat kematian, kendaraan, dan harta benda lainnya.

      Delete
  21. Yog, masalah diatur sama orangtua pun aku demikian. Mulai dari masuk SMP, SMA, sampe kuliah, itu Mamaku yg ngatur. Sedih sih rasanya, awalnya berontak, tapi lama-lama bisa nerima jugak. Malah bersyukur aku jadi punya skill lain yg In Shaa Allah berguna buat aku. :D

    Iya, asuransi kesehatan itu penting banget lah, selain BPJS. Kita dah tau kan ribetnya BPJS kayak apa, better asuransi deh. Soalnya rejeki kesehatan itu gak ada yg tau :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, gue masuk Pemasaran karena terpaksa pun alhamdulillah jadi lumayan belajar promosi dan ngerti soal harga-harga gitu. Gak ada yang salah akan sebuah pilihan. Kita jadi belajar sesuatu. :D

      Yaps. Bener banget, Kak Beb. :)

      Delete
  22. ya begitulah orang tua selalu ingin yang terbaik utk anak-anaknya.
    Jadi orang tua itu memang tdk ada sekolahannya tapi jd org tua itu harus punya ilmu.
    Hendaknya orang tua itu mengarahkan, me
    memberi pandangan, bukan memaksakan kehendak.
    Pd usia SMA kan sudah bisa diajak berdiskusi menurutku

    ok cerita yg menarik sangat bagus utk menjd tambahan info bg para ortu atau calon ortu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, harus bisa otodidak mengajari atau mendidik para anak-anaknya. Iya, sayangnya saya pas SMA masih suka dipaksa. :)

      Terima kasih sudah membaca dan bilang ini cerita menarik. :D

      Delete
  23. Gue juga masuk SMk karena disuruh orang tua. Kaka gue ambil jurusan jadi guru SD juga disuruh orang tua. Tapi insyallah apa yang di anjurin dan di ridoi orang tua itu berkah.
    Aku langsung dapet kerja. Mbak ku langsung lulus cpns.

    Kadang nyesel pas ngejalanin
    Tapi pas udah begini bersyukur alhamdulillah

    Wah iya
    Asuransi itu penting
    Aku gaikut asuransi apa apa lagi sih karena sama ayah udah di ikutin asuransi sejak kecil. Asuransi pendidikan kalo gasalah
    Nah kalau yg sekarang ini udah di cover sama kantor...

    Sedih emang kalau keluarga lagi butuh tapi kita gabisa kasih apa apa ya selain Doa :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, alhamdulillah ya kalo gitu, Da. Seneng dengernya. Nasib keluargamu baik. :))

      Iya, bersyukur itu harus penting banget.

      Orangtuamu keren banget, Da. Pilihan yang tepat itu sudah dilakukan ayahmu. Iya, cuma kekuatan doa yang bisa membantu. :(

      Delete
  24. Lah gue juga pas SMP segituan deh kayaknya KKM-nya. Dan hampir ga naik kelas. Muahahaha. SMP sih kan soalnya jaman main2 doang. :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Di. SMP emang kebanyakan main-mainnya. Apalagi itu pas kecanduan maen warnet. :D

      Delete
  25. Tadinya nggak pengen komen yang ini, Yog. Tapi yaudahlah dikomenin aja.

    Susah ya punya orang tua yang begitu tapi walau gimana pun ya itu orang tua kita, positifnya sih ya mikir aja itu yg terbaik. Klise sih ini.

    Alhamdulillah dari aku masih orok kayaknya udah dibebasin mau begimana, sampe-sampe pas masih kecil aku memilih makan dedaunan di depan rumah aja dibebasin.

    Akibat dari dedaunan itu jadi melepuh tuh bibir dan lidah. Nah, itu yang diobati orang tua saya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak perlu komen asal dibaca mah gak apa-apa. Klise banget. :))
      Jadi, sebenernya kamu itu kambing, sapi, atau kerbau, Mbum? Muahaha.

      Delete
  26. aku dari kecil malah selalu dikasih kebebasan dalam memilih sekolah namun ada embel nasehat juga sih.. btw good luck lombanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nasihat orangtua emang berguna banget dalam setiap keputusan kita. :D Makasih, ya!

      Delete
  27. sama nih kek gue. mendekati ujian, yang belum bayar pasti susah buat dapet nomor. Akhirnya orang tua yang ngomong ke guru buat minta ijinin anaknya ikut ujuan n akhirnya ikut ujian walopun masi ada utang. Sedih banget, kok gue bisa sampe segitunya merepotkan orang tua :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wih, ternyata keresahan gue banyak yang senasib atau mengalami ya. Sampai akhir hayat sepertinya kita bakal terus ngerepotin orangtua deh, Lam. Gak akan terbayar semua kebaikan dan jasa orangtua. :))

      Delete
  28. Kalau gue SMP semi bayar gitu. Uang bangunan cuma bayar setengahnya
    karena sekolah dpt dana dari pemerintah.

    Nah sekarang kuliah yang malah merasakan waswas takut gak bisa bayar tiap waktu ujian udah mepet. Gak ada bantuan dari pemerintah lagi kayak waktu SMP. Hahaha

    Btw, Semoga menang YOGAAAA
    kalau menang, kanmakan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, enak banget itu, Rin. :)) Ahaha. Ya, kuliahmu swasta yakali minta bantuan dari pemerintah. :p

      Siaap! Kalau juara 1, ya. Aamiin. Halah.

      Delete
  29. Kok gue gemes ya. Pas ikut asuransi, bokap lu alhamdulillah sehat. Abis 2 bln ga ikut lagi, malah sakit :( sedih euy.

    Btw, asuransi nilainya penting bgt ya. Apalagi buat jaga jaga semisal ada hal buruk yg kita alami di kedepannya.

    Semoga menang yog. Harus sih ini
    Hahahahaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih banget. Ya, penyakit memang gak ada yang tahu, kecuali Tuhan. Iya, nanti kalo udah kerja tetep bolehlah ini gue berasuransi.

      Ahaha. Harus, ya. Aamiin.

      Delete
  30. GILA, GILA BENER.

    Gak tau kenapa gw merasa ada kesamaan dengan cerita yg kamu tulis ini yog. Kalo kata icha sih relate gtu. Hbungan ayah dengan anaknya itu mmng trkadang kaku kadang juga gak jelas. Gw anak pertama laki2 dan jarang bnget bicara sama bpak.

    Semua pilihan tntang masa depan, dia juga yg pilihin. Sama yg sperti kmu bilang, mulai dari jurusan, sekolah bahkan karir. Walaupun pada akhirnya gw sadar kalo itu semua sejujurnya adalah untuk kebaikan kita sendiri.

    Tapi, mnurut gw, walaupun itu demi kebaikan kita sndiri. Harus diingatkan juga kepada mereka bahwa apa yg mnurut mereka gk penting, sangat penting bagi kita dan perlu untuk mereka tahu, bahwa zaman dulu sngat berbeda dengan zaman sekarang.

    Investasi seperti asuransi itu memang pnting, namanya juga investasi, hasilnya gk akan lngsung keliatan jadi gak bisa lngsung di dikte gk ada guna nya, karna stiap investasi masa depan itu semakin lama akan semakin menguntungkan. Sama halnya dengan asuransi. Harus dipersiapkan sedini mungkin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, berasa ada jarak gitu, Rey. Mungkin kalau anak cowok biasanya emang lebih dekat ke ibunya. :D
      Sayangnya, orangtua gak bener-bener paham sama apa yang diinginkan anaknya. Baik untuk anak, atau baik untuk orangtua? Meskipun maksud orangtua yang terbaik buat si anak, kan si anak belum tentu ngerasain hal yang sama. :))

      Nah, itu dia. Zaman udah berubah. Pola pikir orang dulu harus diperbaharui.

      Delete
  31. Komen ku akan berbeda dengan yang lain. Aku mau bilang : Ya Allah panjang sekali tulisannya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Yoga kan emang kayak gitu dari dulu. Curhat terus.

      Delete
  32. Hampir sama dengan pengalaman hidup saya nih cees. Bedanya cuman satu, saya gak nolak pas disuruh masuk Pesantren (SMP). Beranjak kuliah, saya gak 'menghiraukan' perintah bapak. Beliau pengen saya jadi guru, melanjutkan tradisi keluarga. Saya lebih milih masuk jurusan sosial.

    Aduh, akang Yoga emang paling bisa nih bikin tulisan yang campur kayak gini. Terenyuhnya ada, refleksi dirinya ada. Mantep.

    Oiya ngomong-ngomong, itu beneran masuk SMK ada syarat tinggi badan segala? Baru tahu euy.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oalah. Ceesku anak pesantren toh. Akhirnya pas masa kuliah bisa menentukan jalan hidup sendiri, ya. :D

      Akang Agia bisa aja deh. Makasih, ya! Cuma pengin membuat pembaca nyaman dengan tulisanku. :D

      Iya, ada. Aku baru tau juga pas dites itu. Dulu aku soalnya pendek. Huft. :(

      Delete
  33. Ciehh yang ikutan lomba nulis asuransi... Semoga menang yah. Mayan kan kalo menang, bisa buat modal kawin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas. Doakan aku supaya menang. Biar bisa buat modal nikah.

      Delete
  34. kadang perlu bantuan pihak sekolah untuk membantu memberikan pemahaman mengenai tipe orangtua yang seperti ini. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari orangtua kita ya *terus tiba-tiba flashback zaman dulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Banyak banget pengalaman orang dulu yang dijadikan pelajaran. :D

      Delete
  35. kereeen loh tulisanmu ;).. bisa halus banget pindah ke asuransinya.. eh tapi asuransi memang penting yog... bukan krn aku org bank, trs bilang gini.. mungkin kliatannya asuransi itu kyk ga berguna ya, apalagi itu baru menguntungkan setelah 6-10 thn... dibawah itu, jelas aja kita msih rugi besar... trs ada yg mikir, asuransi juga hanya menguntungkan buat ahli waris.. ada benernya sih..tapi sbrnnya ga kenapa2 juga kan kita persiapkan dana utk ahli waris kita, in case ada apa2 kejadian ama kita sendiri?

    aku trmasuk yg boros...susah nabung.. makanya asuransi buatku penting.. utk anakku setidaknya, jd kalo sampe ada kenapa2 ama aku dan suami, anak2 udh terjamin hidupnya :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya, Mbak. Aku cuma berusaha nulis yang menarik. Ehehe. Iya, aku juga mengerti kalau asuransi itu penting. Setidaknya buat jaminan hari tua juga. Entah itu buat anak atau cucu ya, kan. :D

      Keren deh, Mbak Fanny ini. :)

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.